DAN sekarang Desember, jika itu membuatmu senang, hari-hari
yang basah dan berhujan. Di pegunungan kabut kental menghampar, menyelubung
segala benda-benda dan rupa: ada batas pandang yang barangkali membuatmu tak
berdaya!
Kehijauan
berselimut kelabu yang suram, seolah perdesaan lenyap ditelan kemuraman. Terkadang angin menjelma badai,
dan diselang-seling petir. Dunia terasa gemuruh sekaligus dingin. Ada yang
ketakutan, gemetar merutuk musim. Ada juga yang tersenyum, mensyukuri berkah
tetesan air.
Sur-el dari
Facebook yang kau kirim di bulan November menghantuiku sampai sekarang.
Hadiah untuk miladku yang jatuh di bulan Dzulhijjah. Aku menemukannya
terselip sebagai timeline di inbox Yahoo!-ku. Berbulan-bulan aku
tidak ke warnet. Ponselku terkadang kugunakan untuk nge-net. Hanya
kadang jika ingin. Aku sempat mengerutkan kening. Lintasan pikiran membuatku
takjub: betapa kau masih mengingat eksistensi rival!
Dan aku
tertawa. Senang karena bahagia.
Ya,
setelah sekian lama. Setelah anakmu dua dan anakku baru satu. Ke mana saja
waktu berpacu? Kita raib ditelan kemasing-masingan. Tetap berkarya agar apa?
Agar ada, mungkin saja.
Aku ada
di sini. Masih terpencil di sudut kampung. Tak bisa ke mana-mana sepertimu,
Sang Pengembara. Berusaha menyebarkan karya ke media. Beberapa dimuat. Lebih
sering ditolak. Lucu dan membosankan. Seperti tidak ada kemajuan, setelah
bertahun-tahun ikrar diucapkan.
Kau
masih mengingat dojo?
Apa
yang kuingat tentang dojo? Dunia remaja yang menyenangkan kala aku
berusaha mengubah hal mustahil menjadi mungkin. Bahwa hidup adalah gerak, maka
aku bergerak mengikuti tekad: untuk tak menyerah!
Namun
aku tak berpikir bahwa dalam arena itu hanya ada satu pemenang, lainnya
pecundang. Kalah atau menang bagiku tak masalah. Mengingat dojo adalah tempat agar jangan menyerah; sebab berkali-kali aku
ingin menyerah. Untuk berhenti latihan karate lagi!
Bagaimana
aku berhenti dari kesenangan kecil yang bagiku sangat mewah, sama seperti
halnya bisa sekolah?
Memperhatikan arahan Simpai (kakak tingkatan sabuk) atau Sensei (guru)
agar aku bisa seirama dengan mereka. Meski sehabis
latihan, terkadang otot lengan dan kakiku lebam meninju dan menendang udara yang memusar.
Pengembaraanku
tak berhenti, aku mencari Simpai dan Sensei lain untuk berguru ilmu
baru pada dunia pilihan yang kuyakini. Namun kau bukan Simpai itu
bagiku. Kau adalah rival. Kawan bertarung abadi untuk hidup dan mati di
kedalaman hakikat kata-kata. Aku tak punya kalimat paling baik atau bijaksana.
Menjadi
samurai?
Ya, aku
tahu Musashi, Miyamoto Musashi atau Shimmen Takezo,
dalam novel Musashi karya Eiji
Yoshikawa. Aku suka film tentang
samurai. Bagiku keren sekali. Ilmu bermain pedang dan baju jubah kebesaran
mereka yang berlapis-lapis menjuntai.
Film
samurai yang paling lekat di benak adalah “Watchout
Crimson Bat”, 1 dan 2. Tentang seorang gadis samurai buta yang bertarung dengan pedangnya, ibarat kelelewar di kegelapan melawan para bandit dan
bajingan. Ia hebat. Cantik dan pemberani. Aku mengaguminya. Sendiri menghadapi
kegelapan dunia.
Bisakah
kaubayangkan? Aku tidak tahu apakah kau bisa. Kepekaan yang kumiliki akan film
itu hanya karena telingaku tak berfungsi. Berkebalikan dengannya, yang
telinganya setajam kelelewar.
Aku
tidak cukup peka untuk meraba-raba di kegelapan. Dan jika aku adalah samurai,
aku samurai murtad yang telah lama kehilangan pedangnya. Pedang untuk puisi.
Kau
lelaki skizof pencinta puisi. Apakah juga penjelmaan dari Takuan Soho? Guru
Musashi. Dengan hormat kuakui
kekalahanku ini. Segala tabik untuk upaya tanpa henti demi menggali momen
puitik: Kau Sebagai Ronin
(samurai
tak bertuan) atau Shugyosa (samurai
pengembara)!
Terimalah
tabikku ini. Aku sedang menjelajah semesta prosa. Hal yang kuupayakan demi
menyambung kehidupan, membantu suami (yang cuma buruh tani) dari segi ma’isyah
agar beroleh honor menulis dari mana saja. Esai atau cerpen. Dari sastra sampai
pop. Aku tak mau munafik. Aku menyukai keduanya. Dan hal yang populer itu
terpaksa kulakoni sebab dunia real tak selalu dalam tatanan ideal.
Jalan
kita mungkin berseberangan. Namun pertempuran belum usai. Setelah buku puisimu
terbit, kuharap ada karya-karya lain yang menyusul kemudian. Dari
tanganmu. Mungkin juga dari tanganku. Aku belum bisa menerbitkan buku secara
tunggal atas namaku, kumcer yang sudah lama kupersiapkan kala hamil Palung,
sejak tahun 2008. Kendala penerbitan di negeri ini macam-macam. Dan aku belum
bisa mengikuti selera pasar, ha ha.
Berbahagialah,
wahai Sang Ronin....
Di
bulan Muharam, semoga segala berkah bersinar. Seumpama guyuran air yang
menciumi bumi, tiada henti. Salam untuk karibmu, Sang Puisi!
Cipeujeuh, 8 Desember 2012
#Surat #Kenangan #Rival #Samurai #JalanPedang #Penulis
#Prosa #Sastra #Karate #Desember #UjiantoSadewa
~Gambar
hasil paint sendiri
berarti suratnya bukan untuk saya yach, hehehe....
BalasHapusOhy Mbak Niagahoster kasih harga murah utk beli domain yg ujungnya dot com,77 ribu,biasanya ngk segitu.belilah sekarang jng tunggu tahun depan biar DA PA nya bisa naik dan bisa digunakan utk cari job placement.
Bukan atuh, Kang. Semoga saya bisa bikin ulasan tentang blog Akang. Sekarang kinerja saya bergantung jaringan stabil. Sampai lelah kala mencoba dan disable melulu sambungan hotspot ponsel ke komputer.
HapusSayang saya belum ada rezeki untuk beli domainnya. Telat tahu. Sikonnya tak pas, tuh. Harus fokus pada tanaman jagung dulu.
Makasih sudah ngabarin, Kang. :)
Bagus sekali sastranya, kak.
BalasHapusIni kalau dibuat novel pasti akan tambah bagus alur ceritanya.
Kusimak, ini merupakan dua kisah manusia yang pernah punya hubungan khusus kemudian terpisah setelahnya.
Malu, Mas. Hubungan khusus bagaimana atuh, hanya korespondensi surat lalu berakhir begitu saja dengan perselisihan dan kekecewaan yang saya dapat.
HapusUf, gak pengen bikin noel untuk mengabadikan itu, he he.