HARI Minggu kemarin
teman-teman Palung, para anak tetangga, pada main ke rumah kami. Yah, rumah
Palung dan mamah plus bapaknya, he he. Ngapain saja? Ngegim di komputer punya
mamah yang lagi sibuk urus rumah sekalian bantu Ayu anak kelas 4 SD ngerjain
PR-nya.
Urusan
PR Ayu kelar, mamah lagi masak untuk makan siang, mendadak Palung bilang ingin
ngerujak. Mamah yang lagi ngulek bumbu untuk masakan bilang cobeknya dipakai
dulu, dan nyuruh ngerujak pepaya. Ada banyak buah pepaya yang gelendotan manja
di empat batang pohon pekarangan.
Ayu
yang semula berniat memanjat malah batal. Pohonnya terlalu jangkung. Jadi ambil
pepaya separuh matang yang kemarin dipetik bapak dan ditaruh dekat pintu. Ayu mengupas.
Mamah masak. Palung lanjutin ngegim bareng Izal, Deden, dan Abang. Adik Abang
yang masih batita jadi cuma jadi penonton Ayu yang memainkan pisau.
Ternyata
pepaya separuh matang yang berwarna kemerahan itu asyik dirujak. Keras namun
berasa manisnya. Mamah yang sudah selesai gunain cobek, mencuci dan
mengeringkannya; menyiapkan bahan bumbu: garam, asam, kencur, bawang putih, gula
aren, dan terasi. Menyuruh Deden yang bertugas mengulek agar petik saja cabai
rawit.
Lalu
apa yang terjadi dengan anak-anak yang menjadikan permainan barudak ngarujak di bale-bale depan
rumah? Mamah tidak mengawasinya. Yang jelas pada akhirnya mereka sukses membuat
rujak, sampai Palung tiba-tiba menyerbu dapur mengambil gelas dan air minum.
Olala,
Deden mengulek bumbunya kepedasan karena entah berapa banyak cabai rawit yang
dipetik lalu digerus. Ada-ada saja.
Bermain
bagi anak-anak adalah kegiatan yang menyenangkan. Barudak kampung tak pernah
kehilangan hal asyik untuk jadi bahan permainan secara murah meriah dan
sederhana. Merujak ramai-ramai adalah sarana untuk bersosialisasi sekaligus
menjalin solidaritas satu sama lain.
Bahannya
murah dan gampang didapat. Bumbu dari dapur dan buah pepaya dari pekarangan.
Pohon yang empat tahun silam mamah tanam kala pertama kali menempati rumah di
tanah milik desa ini.
Dunia
bermain anak kekinian tak melulu berupa gawai, dan beruntunglah barudak kampung
yang masih dekat dengan alam, mereka kurang mengenal sikap individualis. Palung
yang tergila-gila pada gim tetap main bareng teman-teman sebayanya, para anak
tetangga di tebing atas.
Main
apa? Ikuti musim. Sekarang ini yang tak kenal musim-musiman alias ada sepanjang
masa adalah adu kelereng. Palung kerap kalah main kelereng jika melawan ibu-ibu
yang iseng pingin ikut main. Dan mamah jelas tak bisa bantu Palung karena kala kecil kalah melulu juga.
Sampai
pada akhirnya Palung mahir seiring waktu, meski masih kalah jika melawan para
ibu. Duh, ibu-ibu.
Dan
acara ngerujak bareng itu tetap menjadi favorit di kalangan para tetangga dekat
rumah. Lebih asyik ramai-ramai daripada sendirian ngerujaknya. Mantap rasanya
jika berpedas-pedas bareng. Dan tak banyak modal yang dibutuhkan untuk menjalin
keakraban sekaligus rasa kesetiakawanan sosial secara positif. Hanya perangkat
untuk merujak, bumbu, dan buahnya.
Saya
bersyukur tinggal di kampung. Kala di Bandung juga kerap merujak dengan
teman-teman sepermainan. Bahannya beli. Dan di kampung bahannya kadang dari apa
yang disediakan alam pada hasil yang kita tanam.
Saya
bersyukur Palung tumbuh di kampung, beroleh keahlian dalam bergaul secara
sederhana. Bisa menikmati momen manis berupa merujak ramai-ramai dengan teman
sepermainannya, di kala anak seusianya ada yang lebih tenggelam dalam gawai dan
lupa hakikat bersosialisasi secara sehat dan menyenangkan.
Ketika
saya kecil di kampung, ada hal manis dalam ngerujak, bisa merasakan bagaimana
serunya ngerujak di tabung bambu apus kecil. Isinya cuma garam, cabai rawit,
gula, terasi, mangga muda, jambu batu, atau bahkan cukup buah asam muda dengan
daunnya yang juga muda.
Saya
lupa apa namanya, namun rupanya Kang Gol A Gong dalam novel Pasukan Matahari, menyegarkan ingatan
karena beliau pun punya kenangan hampir serupa. Namanya bambu locok. Tabung kecil
itu ibarat tempat ngerujak portabel, dengan buah berikut bumbu yang ditumbuk
dengan kayu kecil dari bambu pula, atau bahkan kayu pohon (di kampung saya).
Lalu kayunya dijilati.
Cara
mainnya seru, kumpul bareng teman-teman lalu ngelocok bareng. Bahan didapat
dari hasil berbagi. Inilah cara ngerujak portabel yang unik. Sekarang hal itu
tidak terdapat lagi. Saya pernah menyuruh bapak Palung untuk bikin jika ada
waktu senggang, agar Palung bisa merasakan bagaimana sensasinya.
Siang
panas gini bahas ngerujak bikin saya jadi kabita sendiri. Kabita? Itu bahasa Sunda untuk ngiler pada makanan atau sesuatu.
Tapi tak seru jika ngerujak sendirian. Ha ha.
Hasil
rujak yang kemarin dibikin anak-anak, semoga saja akan membekas dalam ingatan
menjadi kenangan kala mereka telah meninggalkan masa kanaknya. Ada momen
tertentu yang sangat sayang jika kita lewatkan: kebersamaan dengan teman
sebaya.
Palung
juga kerap diajak pesta rujak oleh tetangga bersama anak-anak lainnya, dan
masing-masing udunan alias patungan
bawa bahannya sendiri.
Jangan
lupa ngerujak, ya, kapan saja jika kumpul bareng teman atau saudara. Kombinasi
bumbu pedas dengan aneka rupa buah berikut pelahapnya adalah hal menakjubkan.
Betapa pedas bisa menjaga perdamaian dan kesatuan.
Bagi
orang tua yang anaknya terlalu asyik dengan gawai, mungkin sekali-kali perlu
ajak anak tetangga atau teman-teman anak untuk ngerujak ramai-ramai. Ini bisa
jadi sarana bermain sekaligus edukasi tanpa paksaan.
Selamat
ngerujak. Selamat siang.
Panas-panas
gini ngerujak, yuk.
Salam
rujak.
Cipeujeuh, 8 Mei 2018
#Rujak #Pepaya #Barudak #PermainanTradisional #Kebersamaan #Kampung #Parenting
~Foto hasil jepret
asal-asalan pakai kamera ponsel Andromax Prime
Enak nih tinggal di kampung, masih banyak permainan tradisional ya. Anak-anakku mainnya game di hape terus sampe rusak hapenya.
BalasHapusYah, meski Palung main gim komputerdi rumah atau PS di rental, masih bisa main apa saja dengan teman-temannya. Lingkungan terbuka membuatnya demikian. kalau di kota mah sekarang serba terkotak-kotak.
HapusSemoga anak-anak Mak Leyla bisa punya alternatif permainan lain yang asyik. Anak zaman sekarang mah lupa permainan masa kita karena mereka tak tahu.
Wah.... kalau baca kata permainan tradisional, saya sepertinya masuk golongan anak yang masa kecilnya bahagia, banget loh... sebab suka bermain dengan mainan tradisional.
BalasHapusGenerasi yang bahagia karena bisa mengeksplorasi alam, ya, Kang. Bermain dengan cara murah dan mudah. Belum bersentuhan dengan teknologi itu baik, lebih sehat dan berdaya juang alami.
Hapusjadi pengen ngerujak juga. jadi inget dulu sering rujakan mangga di bawah pohon mangga rumah mbah.. ahhhh masa kecil yang tidak bisa dilupakan
BalasHapusMari ngerujak, Mbak. Sedap dan bikin kita senang karena pedas merangsang semangat.
HapusMasa kecil kenal rujak lebih mengesankan karena lidah kita masih murni daya pengecapannya.
Mbaaaa, ngiler saya mah bacanya.
BalasHapusSaya suka banget pepaya mengkal.
Kalau di Manado dibuat gohu.
Saya lupa cara bikinnya, yang jelas dicampur cuka kalau gak salah.
Jadinya asem-asem kriuk renyah gitu rasanya :D
Enak ya kalau punya pohon buah di samping rumah.
Dulu di Jombang kami pernah tinggal di rumah kontrakan yang halamannya lumayan luas.
Langsung deh hobi tanam menanam saya bangkit, saya tanamin pepaya.
Eh pepayanya jangkung banget dan setelah lama menunggu baru ketahuan.
Pepayanya gak berbuah dong, cuman berbunga aja, hiks.
Jadinya di bikin sayur aja.
Udah gitu gak tahu cara masaknya pula.
Jadinya pahiiittt hahahaha.
Kalau libur yang masak si pak suami, meski pahit tapi dibikin pedas, jadinya masih enak rasanya.
terus, setelah kami balik ke Surabaya, eh si pepaya lainnya berbuah dong.
Beteh gak sih hahahaha