Kamis, 20 Desember 2018

“Forrest Gump”, Sisi Satir Lari



KETIKA buku kategori best seller difilmkan, pembaca fanatik buku tersebut harus siap menerima kenyataan bahwa filmnya akan menyorot hal lain yang berbeda dari isi buku. Dan itulah yang terjadi dengan Forrest Gump! (Dalam film diperankan oleh Tom Hanks.)

Saya membaca novel Forrest Gump (Gramedia, 1995) 6 Juni 1997, menonton filmnya yang tayang di stasiun TV swasta beberapa tahun kemudian. Dan kemarin selesai menonton ulang filmnya secara utuh tanpa sensor, ditransliterasikan oleh Rizal Adam. Kali ini saya berupaya berdamai dengan kenyataan yang mengecewakan kala dulu menonton film Gump.



Dulu saya tak bisa senyum apalagi tertawa kala menonton film Gump. Saya telanjur kecewa dengan pembayangan awal. Sekarang saya coba berdamai pada mau pembuat filmnya, dengan spontan tersenyum dan tertawa pada beberapa adegan. Mereka cenderung menyorot aspek kesejarahan, dari artis (Elvis Presley dan John Lennon), gaya hidup masa lalu yang dibenturkan, perang Vietnam, isu rasial, beragam presiden Amerika berikut insiden penembakan, dan hal-hal lainnya yang akan terlalu spoiler kalau saya bahas.



Lari bisa dianggap unik, lari bukan tindakan pengecut kalau dilakukan Gump. Ia lari karena teringat pesan Jenny Curran (diperankan oleh Robin Wright) sebelum dikirim jadi serdadu untuk ikut bertempur di Vietnam. Mulanya kala kecil, Gump yang selalu diganggu anak lain disuruh Jenny Curran untuk lari agar terhindar dari gangguan, pun kala remaja, hingga dewasa.

BACA JUGA: “Leave No Trace”, Perjalanan Menghindari Keramaian 
Saat di medan perang, Gump yang semula lari bersama rekan lainnya karena ingin menyelamatkan diri, lari ke posisi semula untuk menyelamatkan Bubba temannya yang selalu bicara soal udang dan mengajak Gump bisnis udang jika kelak masa dinas militernya selesai. 



Gump malah bolak-balik lari menyelamatkan rekan lain karena di tengah perjalanan selalu menemukan yang terluka parah. Menggotongnya ke tempat aman di tepi sungai. Termasuk Letnan Dan (yang dalam buku bukan pimpinannya), lalu Bubba yang sayangnya meninggal karena terluka parah.
Gump yang selalu lari karena dikejar-kejar para anak bengal, lalu lari karena jadi atlet football, berakhir sebagai pahlawan yang beroleh medali kehormatan karena larinya menyelamatkan banyak orang.



Pada akhirnya, setelah ditinggal Jenny pergi tanpa salam perpisahan di rumah besar Gump (dalam buku, rumah itu terbakar karena kecerobohan Miss French yang kos di sana kala Gump sedang hilang di Kepulauan Pasifik karena misi astronaut gagal), Gump yang merasa hampa mengenakan sepatu lari merek Nike hadiah dari Jenny. Pada mulanya ia hanya ingin lari ke ujung terjauh dari rumahnya, lalu terus lari ke ujung terjauh kotanya, lalu lari lagi ke ujung paling jauh setelahnya karena merasa tanggung dan ingin berlari.



Gump yang ingin lari saja malah dijadikan berita, ditanya macam-macam oleh para reporter tentang alasannya lari sampai keliling Amerika. Bagaimana menjelaskannya? Seorang idiot beroleh satir paling dahsyat karena lari tanpa sebab. Ia lari di depan, diikuti banyak orang yang lari begitu saja sepertinya. Dan saat ia ingin berhenti karena merasa lelah, para pengikutnya kebingungan.



Saat lari pun, di perjalanan, ia berjumpa dengan banyak orang yang minta tolong memberi ide bagi produknya. Dari film inilah, kita kenal sahibul hikayat asal mula kalimat shit happen yang populer sampai sekarang, kalimat dari pengusaha stiker. Lalu ikon smiley itu hasil cetakan wajah Gump di kaus, sebelumnya Gump dan pengusaha kaus kecipratan lumpur. Si pengusaha  yang tak bisa menggambar dan tak punya kamera menawarkan kaus kuningnya untuk mengelap wajah Gump. Gump yang brewokan mengelap wajahnya dengan cara menekan kaus sehingga meninggalkan cetakan wajah bulat dengan dua mata dan senyum.   



Anda boleh percaya atau tidak pada sahibul hikayat yang dituturkan dalam film ini, yang jelas dalam buku tidak diungkapkan hal itu. Tak ada adegan Gump yang lari cara demikian. Yah, itu barangkali semacam iklan dari produsen sepatu yang turut mensponsori pembuatan filmnya. Lihat saja atribut lari Gump, kausnya saja ada yang Nike!
Pun pertemuannya dengan Jenny lagi, berbeda sekali dengan buku. 





Jika Anda belum baca bukunya, mungkin Anda tak akan merasakan kedahsyatan imajinasi Winston Groom, sang novelis Forrest Gump. Saya sarankan Anda baca agar tahu bahwa bukunya lebih gila-gilaan, satirnya tidak menyorot lari melulu sebagai kelebihan pengadegan.


Dalam buku, kita akan ikut bertualang bersama Gump. Entah sebagai pemain harmonika, mahasiswa di Universitas Alabama yang bego pada mata pelajaran biasa sebaliknya sangat jenius pada matematika dan fisika; main pingpong ke Cina dan jumpa Mao Zedong yang karikatural; ikut latihan pentas teater King Lear di Universitas Harvard; diajak demo yang berbuah ricuh, dikirim ke luar angkasa sebagai seorang idiot savant bareng seorang wanita dan seekor orang utan jantan bernama Sue (yang konyolnya satu-satunya astronot berpengalaman karena pernah dikirim misi percobaan), lantas roketnya jatuh di Kepulauan Pasifik, terdampar bersama suku terasing di sana (para kanibal dan pigmi); jadi jagoan catur karena dilatih kepala suku kanibal; main film bareng Raquel Welch, lantas jadi pegulat konyol; berakhir sukses sebagai pengusaha udang sekaligus calon presiden gagal. 



Namun dalam film, ada sisi menarik sekaligus manusiawi yang dibidik. Dialog Letnan Dan yang cacat tentang veteran perang kala dikhotbahi pendeta soal Tuhan. Dan yang skeptis karena beratnya kenyataan hidup menolak imanensi pada Tuhan, dan Gump menyadari lewat badailah Tuhan telah datang menjawab skeptisme mereka hingga bangkit karena satu-satunya kapal yang selamat dari Badai Carmen.

 

Dan Jenny Curran, dalam buku ia punya ibu dan bukan korban pelecehan ayah kandungnya. Dalam film, Jenny kecil dan saudarinya kerap diperlakukan tak senonoh oleh sang ayah karena tak punya ibu. Ia menghabiskan waktu lebih lama dengan Gump kecil, bermain di atas pohon tua. Sampai ia diselamatkan polisi dan dikirim untuk tinggal dengan neneknya. Pada akhirnya, hidup Jenny seolah lari melulu karena hilang tuju. Menjadi pencandu narkoba, memiliki kehidupan kacau-balau, dan jadi korban kekerasan dari pacarnya. Ada aspek trauma yang dibidik dalam film secara lebih detail. Meski pada akhirnya Jenny memiliki kehidupan yang baik dan punya anak, Forrest Gump Junior.



Bagaimanapun, menjadi orang cacat dan korban kekerasan seksual menimbulkan dampak mendalam bagi kejiwaan pelakon. Namun Gump, sebagai orang ber-IQ 70 mampu hidup baik-baik saja dan kaya makna sekaligus pengalaman luar biasa. Filosofinya tentang lari terispirasi dari ucapan mendiang ibunya, “Kau harus lupakan masa lalu sebelum maju menuju masa depan.”
Forrest Gump pada hakikatnya menampar kita. Siapa yang bebal?
Bagi Gump, bodoh adalah jika bertindak bodoh!
Cipeujeuh, 3 Februari 2018
#Film #Buku #ForrestGump #WinstonGroom #Gramedia #Lari #Nike #Review #TomHanks #RobinWright #Film1994
~Foto hasil capture dari film Forrest Gump

11 komentar:

  1. Wah gimana nich kalau isi filmnya berbeda dengan apa yang tertulis dibuku ? sama seru yach...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada kurangnya, Kang. Meski fokus yang dituju berbeda tetap saja kekurangan demikian bisa menambah wawasan pembaca dan penonton filmnya.

      Hapus
  2. Hiihihi seperti waktu saya menonton Harry Potter, Kak (duh, Harpot jauh banget di bawah dari Forest Gump :D tapi tak apa ya). Durasi filem, pesan sponsor, dan lain sebagainya, tidak bisa mewakili keseluruhan dari sebuah buku. Makanya kalau sudah baca bukunya terus nonton filemnya, sudah yakin bakal tidak puas sama filemnya wkwkwk :D ulasan yang kereeeeeeen, Kak!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Neng Tuteh. Soalnya saya dulu tak punya pengalaman bahwa nonton film akan beda dari buku yang telah dibaca, maksud saya pengalaman dari orang lain. Makanya kaget dan kecewa. Ya, sudah. Nikmati saja. Filmnya tetap keren menurut saya.

      Hapus
  3. Keren mbak. Saya baca ulasannya sudah membuat imajinasi melayang kemana-mana. Seperti ini memang sering terjadi ya, kayak buku yang difilmkan, hasilnya sering tidak sesuai ekspektasi. Saya pernah denger juga curhatan teman yang dulu suka banget sama sandiwara radio Saur Sepuh. Saat dibuat serialnya di TV, justru berubah semua imajinasi. hihihi

    BalasHapus
  4. Ulasannya lengkap sekali. Film ini diangkat dari novel dan juga berdasarkan sejarah serta tokoh di masa lalu. Tentunya ketika diangkat ke layar lebar ada benturan kepentingan antara isi novel dan keinginan sang sutradara agar filmnya bisa lebih komersial dan kekinian.

    BalasHapus
  5. Biasanya memang pasti berbeda antara novel dan filmnya, sang sutradara mungkin saja ingin mengangkat isu yang mungkin populer saat itu, dan juga agar ceritanya lebih dimengerti oleh penonton kali ya

    BalasHapus
  6. Kisah Forrest Gump ini sebenarnya memberi inspirasi tantang bagaimana semua manusia memiliki peluang untuk berhasil dengan segala apa yang menjadi potensinya.. sangat inspiratif..

    BalasHapus
  7. Ini seperti menyimak cerita perbedaan antara dari segi novel dan film. Bagaimanapun cerita dalam novel lebih panjang yang tidak mungkin dapat diceritakan seluruhnya dalam film. Kadang cerita yang terlalu panjang di novel dan ingin diangkat ke dalam layar lebar, harus memilih cerita tokoh siapa yang akan diangkat dan dititikberatkan. Dan kecewanya ada beberapa adegan dalam novel yang pembaca tunggu-tunggu nyatanya tidak tampil di film.

    Hihi,, btw aku gak pernah baca novelnya ataupun nonton filmnya. Tapi dari sini aku bisa membayangkan seperti apa ceritanya.

    Makasih.

    BalasHapus
  8. saya sering teh baca buku dan imaginasi saya sudah kuat tentang tulisan itu, ketika difilmkan hasilnya sangat berbeda dengan yang ditayangkan, sangat mengecewakan biasanya, karena rasanya tidak ada yang lebih bagus dari imajinasi kita saat membaca sebuah novel.

    BalasHapus
  9. Begitulah risiko ketika sebuah karya diadaptasi dalam medium yang berbeda. Karena mediumnya berbeda, maka menyesuaikan.

    Kalau novel, tulisan dan pembaca berimajinasi berdasarkan tulisan itu. Tiap orang menangkapnya bisa beda-beda. Kalau film, dia punya keterbatasan waktu dan cara penyampaian dalam bentuk audio-visual.

    Soal ini, saya pernah ngobrol sama Ninit Yunita penulis novel yang difilmkan berjudul Test Pack. Katanya, tiap orang beda-beda. Ada penulis yang idealis banget, filmnya harus plek ketiplek dengan novelnya. Ada juga yang fleksibel karena tahu teknis medium yang berbeda itu. Karena saya pas kuliah pernah belajar sinematografi, soal teknis ini saya paham.

    Saya pernah nonton sebuah film--lupa apa judulnya--yang filmnya dibikin plek ketiplek dengan novelnya. Jatuhnya justru membosankan.

    Namun selain soal teknis, memang ada unsur-unsur lainnya yang memang bisa mempengaruhi perpindahan medium sebuah karya. Misalnya sponsor, kepentingan produser, kepentingan balik modal dan baliknya modal investasi. Nah yang begini-begini, kalau garapnya tidak halus, malah bisa merusak film. Pernah juga nih, nonton film hasil adaptasi yang kebanyakan pengaruh bisnisnya gini. Cuma, karena udah lama, maap Teh, lupa judulnya. Jadi agak jelek filmnya.

    Film yang menurut saya lumayan OK hasil adaptasi dari novel itu salah satunya Bumi Manusia. Saya kasih kategori lumayan. Lumayan bagus. Namun ya mungkin karena durasi, tak semua dalam kisah novel Bumi Manusia bisa tersampaikan di versi filmnya.

    Lagian, ini novel yang dianggap kiri banget pada masa itu. Padahal sama sekali enggak. Justru karena baca novel ini, saya jadi makin cinta sama negeri ini. Saya dulu bacanya juga sempat sembunyi-sembunyi. Wkwkwk...

    BalasHapus

Terima kasih sudah singgah, silakan tinggalkan jejak komentar sebagai tanda persahabatan agar saya bisa lakukan kunjungan balik. Komentar sebaiknya relevan dengan isi tulisan. Nama komentator tidak langsung mengarah ke URL pos blog agar tidak menambah beban jumlah link pemilik blog ini. Jangan sertakan link hidup dan mati, apalagi iklan karena termasuk spam.Terima kasih banyak. Salam. @rohyatisofjan

Disabilitas Mengelola Komunitas

Arti disabilitas adalah keterbatasan aktivitas dan partisipasi akibat  ketidakmampuan mental atau fisik. Hal itu bisa menjadi stigma dalam m...