KETIKA buku kategori best seller
difilmkan, pembaca fanatik buku tersebut harus siap menerima kenyataan bahwa
filmnya akan menyorot hal lain yang berbeda dari isi buku. Dan itulah yang
terjadi dengan Forrest Gump! (Dalam film diperankan oleh Tom
Hanks.)
Saya
membaca novel Forrest Gump (Gramedia,
1995) 6 Juni 1997, menonton filmnya yang tayang di stasiun TV swasta beberapa
tahun kemudian. Dan kemarin selesai menonton ulang filmnya secara utuh tanpa
sensor, ditransliterasikan oleh Rizal Adam. Kali ini saya berupaya berdamai
dengan kenyataan yang mengecewakan kala dulu menonton film Gump.
Dulu
saya tak bisa senyum apalagi tertawa kala menonton film Gump. Saya telanjur
kecewa dengan pembayangan awal. Sekarang saya coba berdamai pada mau pembuat
filmnya, dengan spontan tersenyum dan tertawa pada beberapa adegan. Mereka
cenderung menyorot aspek kesejarahan, dari artis (Elvis Presley dan John
Lennon), gaya hidup masa lalu yang dibenturkan, perang Vietnam, isu rasial,
beragam presiden Amerika berikut insiden penembakan, dan hal-hal lainnya yang
akan terlalu spoiler kalau saya
bahas.
Lari
bisa dianggap unik, lari bukan tindakan pengecut kalau dilakukan Gump. Ia lari
karena teringat pesan Jenny Curran (diperankan oleh Robin Wright) sebelum
dikirim jadi serdadu untuk ikut bertempur di Vietnam. Mulanya kala kecil, Gump
yang selalu diganggu anak lain disuruh Jenny Curran untuk lari agar terhindar
dari gangguan, pun kala remaja, hingga dewasa.
BACA JUGA: “Leave No Trace”, Perjalanan Menghindari Keramaian
BACA JUGA: “Leave No Trace”, Perjalanan Menghindari Keramaian
Saat
di medan perang, Gump yang semula lari bersama rekan lainnya karena ingin
menyelamatkan diri, lari ke posisi semula untuk menyelamatkan Bubba temannya
yang selalu bicara soal udang dan mengajak Gump bisnis udang jika kelak masa
dinas militernya selesai.
Gump
malah bolak-balik lari menyelamatkan rekan lain karena di tengah perjalanan
selalu menemukan yang terluka parah. Menggotongnya ke tempat aman di tepi
sungai. Termasuk Letnan Dan (yang dalam buku bukan pimpinannya), lalu Bubba
yang sayangnya meninggal karena terluka parah.
Gump
yang selalu lari karena dikejar-kejar para anak bengal, lalu lari karena jadi
atlet football, berakhir sebagai
pahlawan yang beroleh medali kehormatan karena larinya menyelamatkan banyak
orang.
Pada
akhirnya, setelah ditinggal Jenny pergi tanpa salam perpisahan di rumah besar
Gump (dalam buku, rumah itu terbakar karena kecerobohan Miss French yang kos di
sana kala Gump sedang hilang di Kepulauan Pasifik karena misi astronaut gagal),
Gump yang merasa hampa mengenakan sepatu lari merek Nike hadiah dari Jenny.
Pada mulanya ia hanya ingin lari ke ujung terjauh dari rumahnya, lalu terus
lari ke ujung terjauh kotanya, lalu lari lagi ke ujung paling jauh setelahnya
karena merasa tanggung dan ingin berlari.
Gump
yang ingin lari saja malah dijadikan berita, ditanya macam-macam oleh para
reporter tentang alasannya lari sampai keliling Amerika. Bagaimana
menjelaskannya? Seorang idiot beroleh satir paling dahsyat karena lari tanpa
sebab. Ia lari di depan, diikuti banyak orang yang lari begitu saja sepertinya.
Dan saat ia ingin berhenti karena merasa lelah, para pengikutnya kebingungan.
Saat
lari pun, di perjalanan, ia berjumpa dengan banyak orang yang minta tolong
memberi ide bagi produknya. Dari film inilah, kita kenal sahibul hikayat asal
mula kalimat shit happen yang populer
sampai sekarang, kalimat dari pengusaha stiker. Lalu ikon smiley itu hasil cetakan wajah Gump di kaus, sebelumnya Gump dan
pengusaha kaus kecipratan lumpur. Si pengusaha yang tak bisa menggambar dan tak punya kamera
menawarkan kaus kuningnya untuk mengelap wajah Gump. Gump yang brewokan
mengelap wajahnya dengan cara menekan kaus sehingga meninggalkan cetakan wajah
bulat dengan dua mata dan senyum.
Anda
boleh percaya atau tidak pada sahibul hikayat yang dituturkan dalam film ini,
yang jelas dalam buku tidak diungkapkan hal itu. Tak ada adegan Gump yang lari
cara demikian. Yah, itu barangkali semacam iklan dari produsen sepatu yang
turut mensponsori pembuatan filmnya. Lihat saja atribut lari Gump, kausnya saja
ada yang Nike!
Pun
pertemuannya dengan Jenny lagi, berbeda sekali dengan buku.
Jika
Anda belum baca bukunya, mungkin Anda tak akan merasakan kedahsyatan imajinasi
Winston Groom, sang novelis Forrest Gump.
Saya sarankan Anda baca agar tahu bahwa bukunya lebih gila-gilaan, satirnya
tidak menyorot lari melulu sebagai kelebihan pengadegan.
Dalam
buku, kita akan ikut bertualang bersama Gump. Entah sebagai pemain harmonika, mahasiswa
di Universitas Alabama yang bego pada mata pelajaran biasa sebaliknya sangat jenius
pada matematika dan fisika; main pingpong ke Cina dan jumpa Mao Zedong yang
karikatural; ikut latihan pentas teater King
Lear di Universitas Harvard; diajak demo yang berbuah ricuh, dikirim ke
luar angkasa sebagai seorang idiot savant
bareng seorang wanita dan seekor orang utan jantan bernama Sue (yang konyolnya
satu-satunya astronot berpengalaman karena pernah dikirim misi percobaan), lantas roketnya jatuh di Kepulauan
Pasifik, terdampar bersama suku terasing di sana (para kanibal dan pigmi); jadi
jagoan catur karena dilatih kepala suku kanibal; main film bareng Raquel Welch,
lantas jadi pegulat konyol; berakhir sukses sebagai pengusaha udang sekaligus calon
presiden gagal.
Namun
dalam film, ada sisi menarik sekaligus manusiawi yang dibidik. Dialog Letnan
Dan yang cacat tentang veteran perang kala dikhotbahi pendeta soal Tuhan. Dan
yang skeptis karena beratnya kenyataan hidup menolak imanensi pada Tuhan, dan
Gump menyadari lewat badailah Tuhan telah datang menjawab skeptisme mereka
hingga bangkit karena satu-satunya kapal yang selamat dari Badai Carmen.
Dan
Jenny Curran, dalam buku ia punya ibu dan bukan korban pelecehan ayah
kandungnya. Dalam film, Jenny kecil dan saudarinya kerap diperlakukan tak
senonoh oleh sang ayah karena tak punya ibu. Ia menghabiskan waktu lebih lama
dengan Gump kecil, bermain di atas pohon tua. Sampai ia diselamatkan polisi dan
dikirim untuk tinggal dengan neneknya. Pada akhirnya, hidup Jenny seolah lari
melulu karena hilang tuju. Menjadi pencandu narkoba, memiliki kehidupan
kacau-balau, dan jadi korban kekerasan dari pacarnya. Ada aspek trauma yang
dibidik dalam film secara lebih detail. Meski pada akhirnya Jenny memiliki
kehidupan yang baik dan punya anak, Forrest Gump Junior.
Bagaimanapun,
menjadi orang cacat dan korban kekerasan seksual menimbulkan dampak mendalam
bagi kejiwaan pelakon. Namun Gump, sebagai orang ber-IQ 70 mampu hidup
baik-baik saja dan kaya makna sekaligus pengalaman luar biasa. Filosofinya
tentang lari terispirasi dari ucapan mendiang ibunya, “Kau harus lupakan masa lalu sebelum maju menuju masa depan.”
Forrest Gump
pada hakikatnya menampar kita. Siapa yang bebal?
Bagi
Gump, bodoh adalah jika bertindak bodoh!
Cipeujeuh, 3 Februari 2018
#Film #Buku #ForrestGump
#WinstonGroom #Gramedia #Lari #Nike #Review #TomHanks #RobinWright #Film1994
~Foto hasil capture dari film “Forrest Gump”
Wah gimana nich kalau isi filmnya berbeda dengan apa yang tertulis dibuku ? sama seru yach...
BalasHapusAda kurangnya, Kang. Meski fokus yang dituju berbeda tetap saja kekurangan demikian bisa menambah wawasan pembaca dan penonton filmnya.
HapusHiihihi seperti waktu saya menonton Harry Potter, Kak (duh, Harpot jauh banget di bawah dari Forest Gump :D tapi tak apa ya). Durasi filem, pesan sponsor, dan lain sebagainya, tidak bisa mewakili keseluruhan dari sebuah buku. Makanya kalau sudah baca bukunya terus nonton filemnya, sudah yakin bakal tidak puas sama filemnya wkwkwk :D ulasan yang kereeeeeeen, Kak!
BalasHapusTerima kasih, Neng Tuteh. Soalnya saya dulu tak punya pengalaman bahwa nonton film akan beda dari buku yang telah dibaca, maksud saya pengalaman dari orang lain. Makanya kaget dan kecewa. Ya, sudah. Nikmati saja. Filmnya tetap keren menurut saya.
HapusKeren mbak. Saya baca ulasannya sudah membuat imajinasi melayang kemana-mana. Seperti ini memang sering terjadi ya, kayak buku yang difilmkan, hasilnya sering tidak sesuai ekspektasi. Saya pernah denger juga curhatan teman yang dulu suka banget sama sandiwara radio Saur Sepuh. Saat dibuat serialnya di TV, justru berubah semua imajinasi. hihihi
BalasHapusUlasannya lengkap sekali. Film ini diangkat dari novel dan juga berdasarkan sejarah serta tokoh di masa lalu. Tentunya ketika diangkat ke layar lebar ada benturan kepentingan antara isi novel dan keinginan sang sutradara agar filmnya bisa lebih komersial dan kekinian.
BalasHapusBiasanya memang pasti berbeda antara novel dan filmnya, sang sutradara mungkin saja ingin mengangkat isu yang mungkin populer saat itu, dan juga agar ceritanya lebih dimengerti oleh penonton kali ya
BalasHapusKisah Forrest Gump ini sebenarnya memberi inspirasi tantang bagaimana semua manusia memiliki peluang untuk berhasil dengan segala apa yang menjadi potensinya.. sangat inspiratif..
BalasHapusIni seperti menyimak cerita perbedaan antara dari segi novel dan film. Bagaimanapun cerita dalam novel lebih panjang yang tidak mungkin dapat diceritakan seluruhnya dalam film. Kadang cerita yang terlalu panjang di novel dan ingin diangkat ke dalam layar lebar, harus memilih cerita tokoh siapa yang akan diangkat dan dititikberatkan. Dan kecewanya ada beberapa adegan dalam novel yang pembaca tunggu-tunggu nyatanya tidak tampil di film.
BalasHapusHihi,, btw aku gak pernah baca novelnya ataupun nonton filmnya. Tapi dari sini aku bisa membayangkan seperti apa ceritanya.
Makasih.
saya sering teh baca buku dan imaginasi saya sudah kuat tentang tulisan itu, ketika difilmkan hasilnya sangat berbeda dengan yang ditayangkan, sangat mengecewakan biasanya, karena rasanya tidak ada yang lebih bagus dari imajinasi kita saat membaca sebuah novel.
BalasHapusBegitulah risiko ketika sebuah karya diadaptasi dalam medium yang berbeda. Karena mediumnya berbeda, maka menyesuaikan.
BalasHapusKalau novel, tulisan dan pembaca berimajinasi berdasarkan tulisan itu. Tiap orang menangkapnya bisa beda-beda. Kalau film, dia punya keterbatasan waktu dan cara penyampaian dalam bentuk audio-visual.
Soal ini, saya pernah ngobrol sama Ninit Yunita penulis novel yang difilmkan berjudul Test Pack. Katanya, tiap orang beda-beda. Ada penulis yang idealis banget, filmnya harus plek ketiplek dengan novelnya. Ada juga yang fleksibel karena tahu teknis medium yang berbeda itu. Karena saya pas kuliah pernah belajar sinematografi, soal teknis ini saya paham.
Saya pernah nonton sebuah film--lupa apa judulnya--yang filmnya dibikin plek ketiplek dengan novelnya. Jatuhnya justru membosankan.
Namun selain soal teknis, memang ada unsur-unsur lainnya yang memang bisa mempengaruhi perpindahan medium sebuah karya. Misalnya sponsor, kepentingan produser, kepentingan balik modal dan baliknya modal investasi. Nah yang begini-begini, kalau garapnya tidak halus, malah bisa merusak film. Pernah juga nih, nonton film hasil adaptasi yang kebanyakan pengaruh bisnisnya gini. Cuma, karena udah lama, maap Teh, lupa judulnya. Jadi agak jelek filmnya.
Film yang menurut saya lumayan OK hasil adaptasi dari novel itu salah satunya Bumi Manusia. Saya kasih kategori lumayan. Lumayan bagus. Namun ya mungkin karena durasi, tak semua dalam kisah novel Bumi Manusia bisa tersampaikan di versi filmnya.
Lagian, ini novel yang dianggap kiri banget pada masa itu. Padahal sama sekali enggak. Justru karena baca novel ini, saya jadi makin cinta sama negeri ini. Saya dulu bacanya juga sempat sembunyi-sembunyi. Wkwkwk...