Senin, 03 Desember 2018

Naik Sado dan Makan Bakso di Alun-alun Limbangan



PALUNG paling senang jika naik sado. Kala bayi saja dan masih enen, doi sudah pintar menunjuki setiap sado yang lewat di jalan raya kecamatan dengan takjub. Menepuk muka Mamah yang menggendongnya pakai aisan, lantas bilang sambil tangannya menunjuk segenap semangat khas bayi yang baru belajar bicara, “Sado! Sado!” Dan segera menggerakkan bokongnya atas-bawah di aisan, seakan ingin menandak-nandak.

Mamah cuma bisa mengiyakan saja, dunia bayi Palung adalah hal-hal baru yang menakjubkan. Melihat hewan yang aneh bentuknya karena besar dan sanggup menarik beban yang ditumpangi manusia. Dan Palung hafal bahwa itu kuda. Setiap melihat sado mungkin yang ingin dikatakannya adalah kuda, namun kudanya mengangkut semacam kendaraan yang ditumpangi manusia maka Palung tahu bahwa itu sado.
Bayiku yang manis dan cerdas, betapa jauhnya berubah dengan sekarang. Manja dan malas belajar, anak lelaki 8 tahun yang lebih suka main di luar ketimbang baca buku pelajaran. Mamah kangen Palung yang dulu, yang lucu dan gemesin; yang selalu ingin tahu; yang bakal menunjuk-nunjuk sesuatu dengan merengut kala menginginkannya; yang selalu ingin naik sado lagi meski sudah tiba di tempat tujuan. Ah….
Mamah punya banyak kenangan tentang sado, dan Palung menambah nilai kenangannya jadi lebih indah sekaligus semarak. Mamah senang bisa bersado dengan Palung meski kurang merasakan sensasi jalanan tenang seperti kala SMU dulu kerap bersado sebagai sarana transportasi ke sekolah di Jalan Lapangan Pasopati.



Palung dan Mamah rasanya menempuh perjalanan bersado dengan singkat. Jalanan seperti biasa, Jumat jelang asar ini, padat merayap. Kami naik sado dengan mamang yang rasanya sudah lama jadi sais sejak zaman Mamah masih sekolah.
Naiknya di dekat pasar tempat sado mangkal. Sebelumnya sudah naik sado yang lagi nunggu penumpang, namun Mamah terpaksa turun karena ada ibu-ibu carter sado untuk mengantar pulang rombongan keluarganya dari puskesmas sebelah pasar.
Sado yang Mamah dan Palung tumpangi sudah mengangkut seorang bapak berikut beberapa galon aqua. Mamah memilih turun di dekat Monggor, seberang POM bensin kala bapak itu bersama galon aqua-nya turun. Soalnya Mamah tak ingin ngerepotin pemakai jalan lain karena sado harus menyeberang lagi ke sisi kanan arah menuju timur. 



Mamah pengen jalan-jalan sebentar melewati sebelah dalam Jalan Mongor. Masuk gang yang dulu kerap Mamah lewati sebagai jalan pintas, dan ngomong pada Palung bahwa dulu sering lewat tempat ini. Mamah ingin menunjukkan hal-hal lama yang barangkali baru bagi Palung. Setiap jalan ada ceritanya, dan Mamah bilang punya teman sekolah yang rumahnya di dekat Alun-alun.
Kami tidak ke rumah teman karena Mamah ragu, tak menghubunginya dulu untuk bikin janji temu di WA atau Facebook. Jadi Mamah dan Palung lanjutin jalan ke Alun-alun untuk cari makan. Jalan kakinya tidak kejauhan banget, kok.
Niatnya mau makan nasi goreng Kang Syarif teman SMU juga, namun rupanya doi beroperasi kala malam. Jadi meluncurlah Mamah dan Palung ke tempat yang dirasa oke. Kedai mie ayam dan baso.
Sebagai Mamah yang menerapkan tester, maka pesan mie ayam satu dulu karena Palung maunya itu. Mamah tanya harga dulu pada ibu pemilik kedainya. Cuma 10 ribu semangkuk. Oke, deal.
Kayak apa, sih, penampakan mie ayamnya?



Seporsi mie ayam diantarkan dengan baso dan kuahnya dalam mangkuk melanin kecil. Basonya ada dua biji dan ukuran kecil. Mie ayamnya belum dibubuhi saos dan kecap. Jadi Mamah campurkan sedikit saos karena rasanya pedas banget, itu kayak saos sambal ABC atau SASA, saos benaran bukan saos kemasan murah. Justru itu jadi daya tarik bagi penggemar pedas. Kecap tampaknya kurang banyak mamah tambahkan. Soalnya toping ayam bumbu seperti kering dan kurang berminyak banyak seperti di mamang mie ayam langganan yang mangkal dekat pasar.
Ayamnya memang potongan ayam doang bukan dicampur tetelan macam-macam, jadi maklum kalau  tak melimpah banyak. Di atasnya dikasih 2 potong pangsit goreng yang renyah dan enak. Pangsitnya kayak buatan tangan soalnya ada hijau-hijaunya daun bawang atau seledri. Gurih krispi.
Itu oke, pangsitnya, he he. Rasa mie ayam standar saja. Mie basahnya kenyal dan tidak lembek, dengan campuran daun sawi hijau. Basonya juga enak, kayak daging sapi giling buatan sendiri.
Berhubung Mamah lapar dan barusan dapat kabar lewat WA bahwa warung nasgor Syarif buka malam, jadi Mamah putuskan coba baso aci seporsi. Tanya harga dulu, sama seperti harga mie ayam namun kata ibu itu boleh 5 ribu atau 6 ribu. Oke, dikasih yang 5 ribu saja.



Beginilah tampilan baso acinya. Ada 8 biji dengan tambahan daun sawi hijau kerenyes. Ada isian gajih sapi di dalam baso aci cilkecil itu. Enak dan ngangenin jika disantap panas-panas pedas. Mamah mau ke sana lagi bareng Palung jika ada rezeki.
Mie ayamnya tak ditandaskan Palung dengan alasan kenyang, jadi sisanya dicampurkan ke mangkuk baso aci Mamah yang juga dikasih tambahan kerupuk darokdok alias kulit yang sebungkusnya 3 ribu. Namun Palung masih pengen jajan jus buah. Jadilah segelas jus buah naga ungu unyu manis segar menjadi penutup makan-makan gaya cara kami yang 26 ribu totalnya.
Tadinya Mamah ragu untuk beli jus buah naga karena konon rasa buah naganya asam. Namun di tangan Teteh penjual jus samping baso (masih sekedai), ternyata enak juga. Manis dengan tambahan gula, susu, plus taburan meses warna-warni. Ketahuan ini petama kalinya kami makan (jus) buah naga, he he. Kuper….



Palung kalau makan nyante banget dan kayak raja kecil pengen dimanjain. Syukurnya kedai baso tidak penuh. Ada serombongan ibu-ibu barusan pulang pengajian dan ngebaso sambil ngobrol seru bareng ibu kedai. Ibu kedai baik, ya, tak nerapin harga mahal. Lihat sikon dari penampilan calon pembeli dan dilayani dengan ramah. Bikin Mamah dan Palung betah.
Mamah sudah lama tak ke Alun-alun. Terakhir ke sana kala Agustusan bareng Palung yang kelas 1. Rame banget suasananya. Alun-alun mendadak jadi pasar kaget yang diluberi ribuan masyarakat Limbangan dan sekitarnya. Halaman masjid besar saja ditongkrongi para pedagang macam-macam. Ada yang jualan tikar plastik segala.
 Semoga Agustusan nanti Mamah dan Palung bisa jalan-jalan seru lagi. Murah meriah asal sediain uang secukupnya untuk jajan dan transportasi. 


 


Balik soal acara makan, jujur Mamah kecewa Alun-alun tidak sesuai perkiraan. Hanya beberapa tempat makan yang buka dalam satu garis tempat jualan yang dinaungi bangunan dari rangka baja ringan. Masjidnya sedang direnovasi, diperbesar sehingga halaman samping lebih sempit.

Cuma satu hal yang tak berubah, naungan pohon rindang masih ada.
Cipeujeuh, 9 April 2018
~Foto koleksi pribadi hasil jepretan ponsel ANDROMAX PRIME~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah singgah, silakan tinggalkan jejak komentar sebagai tanda persahabatan agar saya bisa lakukan kunjungan balik. Komentar sebaiknya relevan dengan isi tulisan. Nama komentator tidak langsung mengarah ke URL pos blog agar tidak menambah beban jumlah link pemilik blog ini. Jangan sertakan link hidup dan mati, apalagi iklan karena termasuk spam.Terima kasih banyak. Salam. @rohyatisofjan

Disabilitas Mengelola Komunitas

Arti disabilitas adalah keterbatasan aktivitas dan partisipasi akibat  ketidakmampuan mental atau fisik. Hal itu bisa menjadi stigma dalam m...