(Lanjutan dari Episode 1-1)
MALAM ini
aku makan ramyeon cup panas-panas di
toserba. Berpikir apa yang harus kulakukan, kuarahkan pandangan keluar jendela
kaca yang memampangkan panorama lelampuan dari berbagai gedung apartemen di
seberang. Indah sekali.
Berapa banyak drama yang harus
kutulis agar tinggal di tempat seperti itu?
Tepat
saat itulah ponselku berdering, dari Ho Rang. Kuangkat ponselku dengan lesu,
“Ya, ini Ji Ho.”
“Kau sudah dapat apartemen?”
“Apartemen?
Belum.” Tanganku yang sedang mengaduk ramyeon
dengan sumpit langsung terhenti begitu mendengar paparan Ho Rang. “Apa? Tidak
perlu deposit?”
“Ya, kau cuma perlu bayar
300 ribu sebulan.”
“300
ribu?” Aku terkejut, kuhentikan makan ramyeon
dan membuka gimbab segi, “Di mana
itu? Aku bisa ke sana sekarang juga?” Habis itu aku menggigit gimbab.
“Tapi ada syaratnya.”
Jadi
aku mendatangi tempat kerja Ho Rang di restoran mahal. Ia belum pulang. Ho Rang
kerja jadi manajer. Ia langsung menyapaku begitu aku datang, “Ji Ho,”
lambainya. “Mau minum apa?”
“Tak
usah.” Aku mengikuti Ho Rang menuju kursi, “Siapa dia? Kenalannya Won Seok?”
Ho
Rang duduk di kursi, “Ya, dia temannya teman kampusnya, Nam Se Hee.” Ia duduk
dengan menyilangkan kaki, aku ikut duduk di kursi seberang. “Apartemen dua
kamar, dan ada kamar kecilnya. Dan disewakan. Intinya, dia ingin orang yang
bisa bayar sewanya dan jadi teman serumahnya.”
Aku
jadi bersemangat. “Apa itu town house?”
“Ya.
Tapi banyak sekali maunya dia. Dia ingin kau pindah sekarang.”
“Aku
bisa sekarang.” Kulambaikan tanganku ke atas, spontan.
“Dia
butuh satu minggu untuk penyesuaian diri.”
“Aku
bisa walau dia butuh sebulan.” Tanganku yang semula di atas kugerakkan ke
samping bawah.
“Tapi
dia agak gila. Kau tak keberatan?”
“Ho
Rang, aku ini… sudah bekerja sama penulis paling sensitif dan gila se-Korea…
selama lima tahun terakhir sebagai asistennya.” Yah, kuingat bosku, Madam aneh
yang kadang pikun. “Jadi, aku sekarang ahli melayani orang gila mana pun di
dunia ini.”
“Baiklah,
biar kusuruh Won Seok kasih nomormu ke orang itu sekarang.” Ho Rang mengambil
ponselnya dari saku dan SMS pacarnya.
Aku
tersenyum menggoda. “Sepertinya kalian sudah berbaikan, ya.”
“Baikan
dari mana? Aku cuma kasihan saja.”
“Kali
ini kalian bertengkarnya tak lama. Wo Seok pasti tahu bagaimana cara membuatmu
merasa lebih baik.”
“Dia
memang lebih baik daripada sebelumnya.” Jawab Ho Rang tanpa mengalihkan
pandangan dari ponsel. Kemudian, Ho Rang mengerling padaku, “Dia juga ahli
sekarang.”
Oh,
aku membelalak, dan coba mengalihkan topik. “Aku tahu apa maksudmu. Aku tak mau
dengar apa pun darimu lagi.” Aku merasa malu.
Ho
Rang tertawa dan bilang, “Semalam Won Seok….”
Kututup
kedua telingaku dengan tangan, berulang-ulang
sambil memejamkan mata, memberi isyarat tak mau dengar hal gituan.
Ho
Rang tertawa dan kian menggoda, dicondongkan tubuhnya ke depanku dan memegang
lenganku, “Dia langsung menghampiriku seperti ini.”
“Tidak,
aku tak mau tahu. Bisa tolong ambilkan minum?” Aku melambai pada pramusaji
lain, rekan kerja Ho Rang. Ho Rang terus tertawa menggoda.
***
AKU sedang
berkemas di kamarku. Kumasukkan beberapa helai pakaian ke dalam koperku.
Tahu-tahu Ji Seok dan istrinya masuk, menyanyikan lagu ulang tahun. Ji Seok
membawa kue tar dengan tiga batang lilin warna-warni menyala.
S’lamat ulang tahun
S’lamat ulang tahun
S’lamat ulang tahun, Noona
Mereka
lantas berjongkok di dekatku yang sedang duduk di lantai sambil mengemas
pakaian. Lagu berakhir, istri Ji Seok bertepuk tangan gembira.
“Eun
Sol membelikanmu kue ulang tahun. Buatlah permohonan.” Ji Seok menyorongkan kue
tersebut ke depanku. Tak ada pilihan. Kupejamkan mataku, membuat permohonan dan
segera kutiup habis semua lilinnya. Eun Sol bertepuk tangan lagi. Aku tak
peduli. Masih membenahi sisa pakaianku ke dalam koper.
“Unni, apa permohonanmu?” tanya Eun Sol,
sok akrab.
“Aku
ingin jadi siput di kehidupanku selanjutnya,” jawabku cuek.
Kedua
orang di depanku saling berpandangan, tak paham.
“Kenapa?”
tanya Eun Sol lagi.
“Karena
siput takkan pernah diusir.”
“Kau
keterlaluan sekali,” Ji Seok tersinggung. “Kau sengaja membuat istriku tertekan?
Dia ini lagi hamil.” Ngototnya, “Dia bahkan membelikanmu kue. Inilah sebabnya
aku tidak bisa tinggal denganmu.”
Kututup
koper dengan sekali bantingan, mereka terlonjak kaget. Aku tak berkata apa-apa
lagi. Jadi mereka pun saling diam. Aku sudah sangat marah sekali!
Di
tangga pekarangan depan, Eun Sol menyusulku. “Unni, jangan pergi seperti ini.” Ia terus menguntitku yang
mengabaikannya. “Kau bisa datang mengunjungi kami kapan saja. Aku sungguh tidak
keberatan tinggal bersamamu.”
Aku
berbalik sebelum ia mengoceh lagi. “Kau yakin?” Eun Sol diam saja, jadi
kulanjutkan ucapanku, “Saat Ji Seok masih sekolah…, hanya dua orang di
apartemen itu. Aku tidak bisa membayangkanmu beres-beres rumah. Kau ‘kan sedang
hamil.”
Eun
Sol tampak bingung.
Lanjutku,
“Ji Seok juga pasti… ingin aku mengurus anakmu juga. Jadi, apa kau ingin aku
bekerja, beres-beres rumah… dan mengasuh bayi kalian?”
Eun
Sol masih diam.
“Aku
tahu kau masih muda dan belum mengerti. Jangan membuatku jadi orang jahat.”
Kurogoh sakuku dan mengeluarkan amplop pemberian ibu untukku. “Katanya kau suka
daging. Belilah daging pakai uang ini.” Kuraih tangan Eun Sol dan kuberikan
amplop tersebut yang menerimanya dengan canggung. “Kalau masih ada sisa
uangnya…, pakai saja buat tagihan RS ayahmu.” Karena Eun Sol hanya bisa
tercengang, jadi kuanggukkan kepalaku dan pergi.
Aku
meninggalkan tempat itu sambil menyeret koperku dengan lega. Karena bisa
menumpahkan unek-unek tanpa
pertumpahan darah apalagi airmata.
Aku
melewati taman kompleks apartemen dengan kolam kecil terpelihara baik, seekor
siput tampak damai di atas batu. Siput itu punya rumah sendiri, cangkang yang
melindungi tubuh lunaknya. Tidak sepertiku.
Apartemennya di kamar 401
Matina Town House. Aku juga sudah mengirim alamatnya ke kau.
Demikianlah,
isi SMS yang barusan kuterima. Lingkungan apartemennya menyenangkan. Ada
ibu-ibu dengan anak mereka yang sedang bermain di taman.
Aku
telah sampai di depan pintu kamar apartemen. Kubaca pesan tadi. Ini nomor sandi masuknya. Jadi kusentuh
layar kunci elektrik dan mengetik sandi masuk, heran, cukup mudah juga. Cuma
0101 lalu bintang.
Kubuka
pintu, “Permisi.” Lampu foyer menyala
otomatis menangkap sensorku yang masuk.
Karena aku lembur belakangan
ini, aku takkan pulang lebih cepat. Yah, SMS tadi mengatakan
alasan mengapa tak ada orang yang menyambut kedatanganku. Kuletakkan. koper dan
berkeliling ruangan.
Ada dua ruangan. Yang
pintunya terbuka itu kamarmu.
Kumasuki
kamarku. Wow, menyenangkan. Ada
jendela besar yang membuat cahaya matahari menerobos masuk. Ranjang tertata
apik dengan seprai dan sarung bantal abu-abu metalik. Ada lemari dan rak untuk menaruh sesuatu. Aku keluar kamar dan
lanjut berkeliling.
Pintu kamarku selalu
tertutup, jadi jangan hiraukan itu.
Kumasuki
penanggah (pantry), dapurnya rapi.
Bahkan meja dapur tampak bersih. Ada tiga
hal permintaanku. Pertama, aku ingin kau beres-beres rumah. Aku melongok ke
ruang sebelah dapur, melihat kardus dan tempat sampah di ruangan itu. Kedua, aku ingin kau buang sampah sekali
seminggu. Di ruang duduk aku memeriksa sekitar dan mendengar suara di bawah
sofa. Terakhir, aku ingin kau merawat
kucingku... sewaktu aku kerja lembur. Seekor kucing siam berbulu putih
dengan ekor panjang bersembunyi di bawah sofa.
“Halo,”
sapaku.
***
#AdaptasiNaskah #Drakor #BecausethisisMyFirstLife #Episode1-2
#KisahRomantis #PenulisDrama #Korea #ArthaRegina
`Foto hasil capture dari dramanya pakai GOM Player
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah singgah, silakan tinggalkan jejak komentar sebagai tanda persahabatan agar saya bisa lakukan kunjungan balik. Komentar sebaiknya relevan dengan isi tulisan. Nama komentator tidak langsung mengarah ke URL pos blog agar tidak menambah beban jumlah link pemilik blog ini. Jangan sertakan link hidup dan mati, apalagi iklan karena termasuk spam.Terima kasih banyak. Salam. @rohyatisofjan