Jumat, 14 Desember 2018

Adaptasi Naskah Drakor "Because this is My First Life (Episode 1-2)





 (Lanjutan dari Episode 1-1)
MALAM ini aku makan ramyeon cup panas-panas di toserba. Berpikir apa yang harus kulakukan, kuarahkan pandangan keluar jendela kaca yang memampangkan panorama lelampuan dari berbagai gedung apartemen di seberang. Indah sekali.

Berapa banyak drama yang harus kutulis agar tinggal di tempat seperti itu?
Tepat saat itulah ponselku berdering, dari Ho Rang. Kuangkat ponselku dengan lesu, “Ya, ini Ji Ho.”
“Kau sudah dapat apartemen?”
“Apartemen? Belum.” Tanganku yang sedang mengaduk ramyeon dengan sumpit langsung terhenti begitu mendengar paparan Ho Rang. “Apa? Tidak perlu deposit?”
“Ya, kau cuma perlu bayar 300 ribu sebulan.”
“300 ribu?” Aku terkejut, kuhentikan makan ramyeon dan membuka gimbab segi, “Di mana itu? Aku bisa ke sana sekarang juga?” Habis itu aku menggigit gimbab.
“Tapi ada syaratnya.”

Jadi aku mendatangi tempat kerja Ho Rang di restoran mahal. Ia belum pulang. Ho Rang kerja jadi manajer. Ia langsung menyapaku begitu aku datang, “Ji Ho,” lambainya. “Mau minum apa?”
“Tak usah.” Aku mengikuti Ho Rang menuju kursi, “Siapa dia? Kenalannya Won Seok?”
Ho Rang duduk di kursi, “Ya, dia temannya teman kampusnya, Nam Se Hee.” Ia duduk dengan menyilangkan kaki, aku ikut duduk di kursi seberang. “Apartemen dua kamar, dan ada kamar kecilnya. Dan disewakan. Intinya, dia ingin orang yang bisa bayar sewanya dan jadi teman serumahnya.”
Aku jadi bersemangat. “Apa itu town house?”
“Ya. Tapi banyak sekali maunya dia. Dia ingin kau pindah sekarang.”
“Aku bisa sekarang.” Kulambaikan tanganku ke atas, spontan.
“Dia butuh satu minggu untuk penyesuaian diri.”
“Aku bisa walau dia butuh sebulan.” Tanganku yang semula di atas kugerakkan ke samping bawah. 
“Tapi dia agak gila. Kau tak keberatan?”
“Ho Rang, aku ini… sudah bekerja sama penulis paling sensitif dan gila se-Korea… selama lima tahun terakhir sebagai asistennya.” Yah, kuingat bosku, Madam aneh yang kadang pikun. “Jadi, aku sekarang ahli melayani orang gila mana pun di dunia ini.”
“Baiklah, biar kusuruh Won Seok kasih nomormu ke orang itu sekarang.” Ho Rang mengambil ponselnya dari saku dan SMS pacarnya.
Aku tersenyum menggoda. “Sepertinya kalian sudah berbaikan, ya.”
“Baikan dari mana? Aku cuma kasihan saja.”
“Kali ini kalian bertengkarnya tak lama. Wo Seok pasti tahu bagaimana cara membuatmu merasa lebih baik.”
“Dia memang lebih baik daripada sebelumnya.” Jawab Ho Rang tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel. Kemudian, Ho Rang mengerling padaku, “Dia juga ahli sekarang.”
Oh, aku membelalak, dan coba mengalihkan topik. “Aku tahu apa maksudmu. Aku tak mau dengar apa pun darimu lagi.” Aku merasa malu.
Ho Rang tertawa dan bilang, “Semalam Won Seok….”
Kututup kedua telingaku dengan tangan, berulang-ulang  sambil memejamkan mata, memberi isyarat tak mau dengar hal gituan.
Ho Rang tertawa dan kian menggoda, dicondongkan tubuhnya ke depanku dan memegang lenganku, “Dia langsung menghampiriku seperti ini.”
“Tidak, aku tak mau tahu. Bisa tolong ambilkan minum?” Aku melambai pada pramusaji lain, rekan kerja Ho Rang. Ho Rang terus tertawa menggoda.
***
AKU sedang berkemas di kamarku. Kumasukkan beberapa helai pakaian ke dalam koperku. Tahu-tahu Ji Seok dan istrinya masuk, menyanyikan lagu ulang tahun. Ji Seok membawa kue tar dengan tiga batang lilin warna-warni menyala.
S’lamat ulang tahun
S’lamat ulang tahun
S’lamat ulang tahun, Noona
Mereka lantas berjongkok di dekatku yang sedang duduk di lantai sambil mengemas pakaian. Lagu berakhir, istri Ji Seok bertepuk tangan gembira.
“Eun Sol membelikanmu kue ulang tahun. Buatlah permohonan.” Ji Seok menyorongkan kue tersebut ke depanku. Tak ada pilihan. Kupejamkan mataku, membuat permohonan dan segera kutiup habis semua lilinnya. Eun Sol bertepuk tangan lagi. Aku tak peduli. Masih membenahi sisa pakaianku ke dalam koper.
Unni, apa permohonanmu?” tanya Eun Sol, sok akrab.
“Aku ingin jadi siput di kehidupanku selanjutnya,” jawabku cuek.
Kedua orang di depanku saling berpandangan, tak paham.
“Kenapa?” tanya Eun Sol lagi.
“Karena siput takkan pernah diusir.”
“Kau keterlaluan sekali,” Ji Seok tersinggung. “Kau sengaja membuat istriku tertekan? Dia ini lagi hamil.” Ngototnya, “Dia bahkan membelikanmu kue. Inilah sebabnya aku tidak bisa tinggal denganmu.”
Kututup koper dengan sekali bantingan, mereka terlonjak kaget. Aku tak berkata apa-apa lagi. Jadi mereka pun saling diam. Aku sudah sangat marah sekali!

Di tangga pekarangan depan, Eun Sol menyusulku. “Unni, jangan pergi seperti ini.” Ia terus menguntitku yang mengabaikannya. “Kau bisa datang mengunjungi kami kapan saja. Aku sungguh tidak keberatan tinggal bersamamu.”
Aku berbalik sebelum ia mengoceh lagi. “Kau yakin?” Eun Sol diam saja, jadi kulanjutkan ucapanku, “Saat Ji Seok masih sekolah…, hanya dua orang di apartemen itu. Aku tidak bisa membayangkanmu beres-beres rumah. Kau ‘kan sedang hamil.”
Eun Sol tampak bingung.
Lanjutku, “Ji Seok juga pasti… ingin aku mengurus anakmu juga. Jadi, apa kau ingin aku bekerja, beres-beres rumah… dan mengasuh bayi kalian?”
Eun Sol masih diam.
“Aku tahu kau masih muda dan belum mengerti. Jangan membuatku jadi orang jahat.” Kurogoh sakuku dan mengeluarkan amplop pemberian ibu untukku. “Katanya kau suka daging. Belilah daging pakai uang ini.” Kuraih tangan Eun Sol dan kuberikan amplop tersebut yang menerimanya dengan canggung. “Kalau masih ada sisa uangnya…, pakai saja buat tagihan RS ayahmu.” Karena Eun Sol hanya bisa tercengang, jadi kuanggukkan kepalaku dan pergi. 

Aku meninggalkan tempat itu sambil menyeret koperku dengan lega. Karena bisa menumpahkan unek-unek tanpa pertumpahan darah apalagi airmata.
Aku melewati taman kompleks apartemen dengan kolam kecil terpelihara baik, seekor siput tampak damai di atas batu. Siput itu punya rumah sendiri, cangkang yang melindungi tubuh lunaknya. Tidak sepertiku.
Apartemennya di kamar 401 Matina Town House. Aku juga sudah mengirim alamatnya ke kau.
Demikianlah, isi SMS yang barusan kuterima. Lingkungan apartemennya menyenangkan. Ada ibu-ibu dengan anak mereka yang sedang bermain di taman.



Aku telah sampai di depan pintu kamar apartemen. Kubaca pesan tadi. Ini nomor sandi masuknya. Jadi kusentuh layar kunci elektrik dan mengetik sandi masuk, heran, cukup mudah juga. Cuma 0101 lalu bintang.
Kubuka pintu, “Permisi.” Lampu foyer menyala otomatis menangkap sensorku yang masuk.
Karena aku lembur belakangan ini, aku takkan pulang lebih cepat. Yah, SMS tadi mengatakan alasan mengapa tak ada orang yang menyambut kedatanganku. Kuletakkan. koper dan berkeliling ruangan.
Ada dua ruangan. Yang pintunya terbuka itu kamarmu.
Kumasuki kamarku. Wow, menyenangkan. Ada jendela besar yang membuat cahaya matahari menerobos masuk. Ranjang tertata apik dengan seprai dan sarung bantal abu-abu metalik. Ada lemari dan rak untuk menaruh sesuatu. Aku keluar kamar dan lanjut berkeliling.
Pintu kamarku selalu tertutup, jadi jangan hiraukan itu.
Kumasuki penanggah (pantry), dapurnya rapi. Bahkan meja dapur tampak bersih. Ada tiga hal permintaanku. Pertama, aku ingin kau beres-beres rumah. Aku melongok ke ruang sebelah dapur, melihat kardus dan tempat sampah di ruangan itu. Kedua, aku ingin kau buang sampah sekali seminggu. Di ruang duduk aku memeriksa sekitar dan mendengar suara di bawah sofa. Terakhir, aku ingin kau merawat kucingku... sewaktu aku kerja lembur. Seekor kucing siam berbulu putih dengan ekor panjang bersembunyi di bawah sofa.
“Halo,” sapaku.
***
#AdaptasiNaskah #Drakor #BecausethisisMyFirstLife #Episode1-2
#KisahRomantis #PenulisDrama #Korea #ArthaRegina
`Foto hasil capture dari dramanya pakai GOM Player

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah singgah, silakan tinggalkan jejak komentar sebagai tanda persahabatan agar saya bisa lakukan kunjungan balik. Komentar sebaiknya relevan dengan isi tulisan. Nama komentator tidak langsung mengarah ke URL pos blog agar tidak menambah beban jumlah link pemilik blog ini. Jangan sertakan link hidup dan mati, apalagi iklan karena termasuk spam.Terima kasih banyak. Salam. @rohyatisofjan

Disabilitas Mengelola Komunitas

Arti disabilitas adalah keterbatasan aktivitas dan partisipasi akibat  ketidakmampuan mental atau fisik. Hal itu bisa menjadi stigma dalam m...