BARANGKALI ada
cara hidup pilihan yang tak terbayangkan oleh masyarakat kebanyakan, cara hidup
nomaden di alam bebas seperti hutan
rimba yang sulit dijangkau manusia. Pilihan semacam itu dilakukan bukan karena
aspek mentradisional, melainkan ingin lari dari ingar-bingar peradaban.
Menghindari kerumunan manusia, menyepi di alam sunyi yang damai dan
menenteramkan dalam kehijauan. Hanya hijau yang mengepung, bukan lagi atmosfer
dunia modern. Itulah yang dipaparkan film “Leave
No Trace”. Tidak meninggalkan jejak!
Adalah
seorang ayah dan anak gadisnya yang remaja (diperankan Ben Foster dan Thomasin
Harcourt McKenzie, hidup menetap di hutan, Taman Nasional Forest Park di Portland, Oregon. Cara hidup nomaden seperti orang
hutan, alam telah menyediakan semua. Tanaman liar yang bisa dimakan daunnya,
jamur liar, bahkan air dari lumut yang diperas. Segala sesuatu seakan serba
terbatas, hidup dengan cara petualang alam, bertahan dan melebur bersama
kehijauan untuk alasan seperti semacam pelarian namun bukan. Sebab, sesekali
mereka turun gunung ke kota, membeli beragam kebutuhan harian sederhana yang
benar-benar dibutuhkan, berinteraksi sebentar dengan sesama veteran perang dan
para nomaden lain di Forest Park.
Mereka,
lebih tepatnya sang ayah, ingin tinggal di hutan; meski hal itu bisa
dikategorikan perbuatan ilegal karena menumpang hidup di tanah negara seakan
tunawisma itu terlarang.
Sang
ayah bukannya tak punya tujuan jika ia memilih cara hidup demikian, yang seakan
menghindar dari kontak sosial dan keramaian. Ia mantan tentara yang trauma
akibat perang, penyintas PTSD (post
traumatic stress disorder) yang ingin berhenti mengonsumsi obat penenang,
memilih hidup bebas di alam sebagai semacam cara bertahan, tak lagi bergantung
pada obat-obatan yang diresepkan dokter dan psikiater. Masih ada jalan lain
untuk terapi. Alamlah yang menyediakan, meski pada saat tertentu ia gelisah
dalam tidurnya. Perang telah menimbulkan trauma dan mimpi buruk berkepanjangan,
yang bahkan tak sepenuhnya dipahami Tom, putri tunggalnya.
Mereka
hidup sehari-hari dengan cara yang bisa dibilang cukup primitif, namun mereka
bahagia. Sang ayah mengajarkan banyak hal pada Tom, tentang bagaimana cara
hidup di hutan sekaligus menyamarkan jejak agar tak ketahuan. Cara hidup
rutinitas harian yang tak membosankan karena selalu ada petualangan. Sampai
kemudian mereka ketahuan lantas “dikembalikan” pada keramaian peradaban dengan
interaksi sosialnya yang bagi sang ayah dirasa sangat menekan.
BACA JUGA: “Forrest Gump”, Sisi Satir Lari
BACA JUGA: “Forrest Gump”, Sisi Satir Lari
Ia
tak bahagia meski para petugas dinas sosial sangat baik dan membantu mereka
agar bisa hidup “lebih beradab”. Ada pekerjaan dan tempat tinggal yang nyaman,
berikut orang-orang di sekitar lingkungan yang tampak hangat dan ramah. Sang
ayah tetap merasa terasing di kerumunan. Ia tak butuh itu. Tidak cara hidup ala
dunia modern. Tidak juga televisi dan ponsel.
Sebaliknya
Tom sangat suka kehidupan demikian, memiliki teman dan kenal banyak orang. Ia
tak bermasalah dengan kehidupan sosial, namun terpaksa mengikuti cara hidup
ayahnya yang antisosial. Ia merasa tak punya pilihan. Meninggalkan peternakan,
mencari hidup baru lagi di hutan wilayah Amerika Utara, dekat Washington.
Ada
pondok kayu di sana. Itulah tujuan ayahnya. Pondok cukup besar bagi mereka
berdua, namun aman dan memberi kehangatan dari dinginnya hutan atau ganasnya
cuaca. Sayangnya hal itu tak berlangsung lama. Sang ayah alami kecelakaan kala
hendak turun gunung ke kota terdekat untuk membeli persediaan bahan pangan. Tom
yang menemukan ayahnya berhasil beroleh bantuan dari sesama para nomaden.
Ayahnya
cedera kepala, kaki, dan dada serta butuh pemulihan di perkampungan para nomaden itu. Mereka seperti hippies, sebenarnya kebanyakan mantan
tentara juga, punya cara hidup nyaris serupa dengan ayahnya namun masih bersosialisasi
dan membentuk semacam koloni. Di koloni itulah Tom seakan menemukan dunianya
agar berhenti hidup cara lama. Ia sungguh sangat butuh bersosialisasi dan lelah
berpindah-pindah ke tempat sepi.
Namun
bagaimana dengan ayahnya? Bisakah menikmati cara hidup demikian? Di koloni yang
tenang dan tetap dekat dengan alam serta punya cara hidup natural.
Latar Alam yang Menakjubkan
Fokus
utama film “Leave No Trace” adalah
hutan di taman nasional, hutan lain di dekat peternakan, juga hutan yang
didiami koloni nomaden yang berumah
di kabin. Hutan-hutan itu mengenalkan kita pada aspek kehidupan lain. Tempat
menepi dan menyepi dari ingar-bingar kehidupan modern dengan segala
kompleksitasnya.
Para
pemukim di koloni itu punya alasan untuk menjalani cara hidup demikian, ada
semacam keakraban, alam pun menyediakan apa yang dibutuhkan, meski interaksi
dengan dunia modern tak sepenuhnya ditinggalkan. Mereka menjalani hidup cara
natural, namun ayah Tom tetap ingin mengasingkan diri dengan cara ekstrem;
menjauh dari keramaian, dan terisolasi. Baginya, lebih baik hidup dengan
memiliki pemikiran sendiri.
“Leave No Trace” boleh dikata
membenturkan realitas modernitas dengan cara hidup di alam bebas dan tak
terikat pada aturan formalitas buatan manusia. Sisi lain dari kehidupan yang
sebenarnya cukup getir bagi seorang mantan tentara dengan masalah sosial akibat
perang. Ada kritik sosial yang disampaikan lewat laku tutur dan tindakan para
pemainnya.
Film
itu bagus dari segi alur cerita, penonton akan dibawa mengikuti perjalanan ayah
dan anak yang bertualang di hutan. Warna hijau daun sangat dominan dan
meneduhkan. Mata kita akan dimanjakan segala sesuatu yang serba hijau dari
alam. Teknik sinematografinya benar-benar menakjubkan. Seakan kita turut berada
di dalamnya. Merasakan embun, bentuk aneka pakis, serta lumut dan sulur di
pepohonan.
Itu
mirip film dokumenter alam. Hijau yang lembut dan meneduhkan membawa kita pada
dunia lain dari realitas ingar-bingar peradaban. Sesuatu yang sangat natural,
hijau impian!
Para
pekerja film sukses membawa penonton menjelajahi bagaimanakah hutan dan
kehidupan di dalamnya. Sinematografinya luar biasa, disutradarai Michael
McDonough. Film ini sangat cocok ditonton para pencinta alam, maupun mereka
yang tak menginginkan perang.
Narasi
yang dipaparkan seakan bergerak lambat, namun film itu memang menawarkan
ketenangan bukan debar ketegangan. Kita akan dibawa menjelajahi sekian tempat
setelah mengenal cara hidup nomaden
di hutan, Bagaimana cara menyalakan api dengan tungkunya, menyembunyikan barang
di hutan, tidur di tenda yang berlubang, menjalani pemeriksaan di kantor dinas
sosial, lantas kabur dari kehidupan mapan, kemudian bergerak menjelajahi tempat
lain demi kehidupan “terasing”.
Inti
dari semua adalah menyangkut pilihan.
Mau hidup dengan cara bagaimana asal sesuai. Karena itulah film bagus yang
layak ditonton keluarga, berdasarkan novel My
Abandonment karya Peter Rock, termasuk kategori go green. Mengajarkan kita mencintai alam, mengenalkan bagaimanakah
hutan, juga ajakan antiperang dan menjaga perdamaian.
Palung
suka musiknya. Ada banyak nilai lebih dari film hijau bernuansa sastra hijau,
musik sebagai ilustrasi pengiring yang membuai.**
Cipeujeuh, 1 Desember 2018
#Film #LeaveNoTrace #Hutan #Hijau
#Oregon #PeterRock #BenFoster #ThomasinHartcourtMcKenzie #VeteranPerang #PTSD
#Nomaden
~Foto hasil capture dari film “Leave No Trace”
Seru banget filmnya mba, saya belum pernah nonton.
BalasHapusTakjub banget ama orang-orang pecinta alam.
Dan memang ya, alam itu semacam menawarkan semuanya untuk manusia, termasuk pengobatan.
Baik psikis maupun jasmani :)
Semoga nanti Mbak Rey bisa nonton filmnya. Alam adalah hal yang sangat menakjubkan untuk dibahas, apalagi jika jadi latar untuk memaparkan kompleksitas kejiwaan manusia.
HapusHahhahaha, nanti deh mba, jangan sampai tergoda sekarang, masih banyak deadline yang kudu dikerjakan.
Hapusjeleknya saya tuh, kalau udah nonton, sulit berhenti, jadinya banyak hal gak keurus :D
Saya hobi banget nonton emang, pokoknya baca, nulis, nonton dan nyanyi, hobi saya banget hahahaha
Wah ini film beberapa tahun lalu ya? Kami yang suka mendaki gunung jadi banyak bangga wawasan nonton film ini. Bukan ke masalah sosialitanya tetapi lebih fokus ke alam. Jadi berasa mendengarkan kisah dongeng ya kalau di jaman sekarang masih ada sistem hidup nomaden seperti itu.
BalasHapusAku suka nonton film yang memiliki pemandangan alam indah dan menonjolkannya dengan baik. Belum pernah nonton pilem ini dan penasaran mau nonton ah :)
BalasHapuswah film lama ya mba, suka dengan alur ceritanya apalagi diambil dari novel emang suka bagus ceritanya :) jadi penasaran pengen nonton nih udah lama banget aku ga nonton film sejak punya baby bala bala haha
BalasHapusWah..ikut penasaran dgn ending film ini mba..hehe.. Dan pasti menyenangkan sekali ikut menikmati alam liar meski hanya lewat pemandangannya ya..
BalasHapusKok aku jadi penasaran dengan akhir ceritanya, menarik banget sih. Aku suka film dengan genre mirip dokumenter gini, apalagi setting di hutan yang fokusnya pepohonan lebat. Coba deh gogling dan donlot film nya dulu
BalasHapusAku pikir film dokumenter betulan. Sampai mikir, gimana nge-charge kameranya kalau di alam, walau ada sih powerbank tenaga surya. Maklum, nggak hapal wajah artis dengan sekilas pandang aja. Hihi.
BalasHapusFilm yang menarik, bahwa ada realitas dmn manusia punya kebutuhan untuk mundur dari "semaraknya" dunia apalagi skrg dunia digital
BalasHapusAku sukaaa dengan film yang sinematografinya melenakan mba.. jadi selain cerita, banyak yang bisa dinikmati
BalasHapusWah asyik juga nih filmnya terutama jd pengen liat langsung kehidupan aehari hari di hutan...ga ada inet ga membosankan kah..hehe..
BalasHapusDuuh, gak kebayang ada anak remaja yang masih juga bisa hidup dengan cara seperti itu, kerenlah dia.
BalasHapusHutannya kelihatan banget ya suasana ademnya, pasti dingin tuh yaaa.
Tapi aku kasian sama Tom jadinya, kyk kepaksa gtu tinggal dan hidup kyk gtu, pdhl yang "sakit" kan ayahnya, mestinya anaknya berhak hidup lbh bebas lg ya.
BalasHapusTerlepas dr itu kyknya film ini bagus jg bikin kita jd kenal hutan lbh deket ya mbak...
Belum pernah nonton dan jadi pengen saksikan sendiri keindahan alam yang digambarkan di film ini. Pas buat petualang.
BalasHapusMashaAllah bunda.. seperti aku sekarang butuh perjalanan ini deh hehe.. badan sudah pegal pegal ini.. ingin menikmasi kesejukan alam yang indah nan sunyi.. hutan memang bikin damai di hati ya bun.. bikin paru paru sehat juga
BalasHapusSubhanallah, aku baca dari awal hingga akhir dan skrang pengen nonton film ini mbaaa. Pesannya dapet banget.
BalasHapuswih keren juga ya cara hidup yang dipilihnya, kalau misalkan ini kejadian sama saya, gak akan sanggup mungkin saya hahaha teteap semua ada plus minusnya dan semua pilihan. seru banget ya ini
BalasHapusKereen.
BalasHapusKereen.
Aku bisa membayangkan orang-orang sibuk di perkotaan vs orang yang sibuk dengan sebenar-benarnya kesibukan.
Penasaran yaa...
Ada petualangan apalagi esok...?
Pasti ngerasa gitu deeh...
jadi penasaran ama filmnya, bisa nih jadi list buat nonton saat weekend
BalasHapus