PEREMPUAN memiliki beragam cara untuk membahasakan puisi sesuai warna jiwa dari pengalaman hidupnya. Bahasa kaum perempuan dalam puisi mereka terkadang memiliki ciri pembeda dengan bahasa pemuisi lelaki.
JUDUL :
Dada yang Terbelah
PENULIS :
Ratna Ayu Budhiarti
PENERBIT :
Metafor
CETAKAN :
1, Agustus 2013
HALAMAN :
xxi+110 Halaman
ISBN :
978-602-14276-0-6
HARGA :
Rp50.000,- (Beli langsung pada penulisnya)
Marilah
kita membedah dada puisi Ratna Ayu Budhiarti, niscaya kita akan dihadapkan
dengan daya ucap dan ungkap yang begitu sangat personal kediriannya sebagai
seorang Ratna.
Puisi
hadir sebagai hasil apresiasinya pada beragam peristiwa yang dialami. Dan
sebagai perempuan ia mendedahkan peristiwa tersebut dengan bahasa “bawah
sadar”, pilihan kata yang kerap tak melulu liris metaforis. Tebaran diksi yang
verbal dan apa adanya bertebaran pula dalam Dada
yang Terbelah (Metafor, 2013) yang berisi 80 puisi.
Ratna
seakan membiarkan hal itu karena puisi adalah apa adanya ia, sebagaimana ia apa
adanya puisi. Puisi adalah hasil kegiatannya dalam mencerap hal-ihwal kepungan
rasa yang bisa jadi tak terdefinisikan pula.
Biarkan
bahasa membentuk rasa, apa adanya, meski bisa jadi pembaca merasa ada puisi
yang tidak puitis, kurang rima, dan sebagainya. Biarkan diri larut bahkan
dihanyutkan dalam arus ketidaksadaran meski pada akhirnya harus takluk untuk
“gagal” membentuk bahasa sesuai yang diinginkan.
Itulah
puisi. Tidak melulu harus sesuai pakem bahasa yang sastrawi. Ratna cenderung
ingin menuturkan beragam kisah lewat puisi. Dengan pilihan diksi apa adanya.
Terkadang liris prosais dengan rima dan irama yang terjaga di setiap lariknya.
Terkadang verbal dan cair ibarat bahasa percakapan sehari-hari yang jamak kita
jumpai.
Namun
satu hal yang kerap saya jumpai dalam Dada
yang Terbelah adalah tebaran
kenangan! Ratna mengenang begitu banyak hal silam.
Dari
peristiwa semasa lajang (“D/Cerita Wanita Karier Setelah Melepas Lajang”) yang
dibenturkan pada realitas kekinian sebagai ibu rumah tangga biasa dengan
aktivitas rutin harian dan keterbatasan finansial. Hal yang jamak dialami siapa
saja, dan Ratna dengan santai memaparkannya dalam bahasa verbal,
Lain
lagi dengan kenangan pada mantan kekasih, cinta di masa silam masih tetap
membayang karena ada keindahan sekaligus cabikan luka. Sesuatu yang enggan
disingkirkan namun tak mendapat tempat sepenuhnya pada kehdupan yang kini
dijalani.
Barangkali
kenangan bagi Ratna adalah semacam intermezo, kita bisa menengok ke belakang
dalam wujud puisi agar abadi, namun langkah tetap ke depan demi membentuk
sekarang yang akan menjelma kenangan lain.
Dan
kenangan pada sosok yang telah tiada hanya bisa Ratna abadikan dalam puisi
pula. Bagi seorang anak, ayah adalah figur pahlawan tak terlupakan (“Ziarah”,
“Setelah Tiga Tahun Kepergianmu”, “Malam Ketika Aku Mengambung Bau Dupa”).
Namun
Ratna juga ingin mengajak anak untuk menghayati kenangan pada suatu saat kelak.
Puisi indah dari seorang ibu untuk Khanza Janeeta Rahman buah hatinya. “Kelak Engkau”.
Kelak engkau akan belajar/
menyulam sajak, ketika teman dan kerabat/ tak lagi membela tegak di antara
lautan onak// atau kau akan mengambil cermin/ dari kotak harta karun yang
berisi/ surat dan kisah muram/ mematut dirimu dalam pantulan cerita/ lalu
belajar mengakrabi jarak// 2013
Metafora
yang Ratna pilih untuk mendedah perasaannya sebagai seorang ibu terasa
liris-metaforis. Dan ia seakan trance
membangun rima agar puisinya bergema, meski gema yang dipantulkan berupa
kegelisahan sekaligus nasihat bijak.
Saya
ingin mengenangkan pertemuan pertama dengan Ratna pada acara peluncuran
antologi bersama Bunga yang Berserak
di Griya Seni Popo Iskandar, Jalan Setiabudhi, Bandung. 19 Juni 2003 lampau,
Ratna adalah seorang remaja cantik dalam balutan busana lucu seperti model
celemek dengan motif stroberi, rambut pendek, wajah agak indo, dan puisinya
dalam antologi itu bikin saya berdecak sebab blak-blakan.
Kini,
ketika kami bertemu lagi dalam pergaulan sebagai warganet di jejaring sosial Facebook, tidak cuma dirinya saja yang
menjelma dewasa, pun puisinya.
Dada yang Terbelah hanya
sebagian kecil dari serakan himpunan hidupnya. Di masa mendatang kita tidak
tahu puisi macam apa lagi yang kelak akan ia bagi, sebab hari ini akan menjadi
kenangan bagi esok hari.
Tahukah engkau mengapa aku/
tak pernah membalikkan badan setelah menggenggam erat/ seluruh cinta dari dalam
telapak tanganmu dan mata sejuk itu/ kemudian memilih berlalu tanpa melambaikan
tangan/ atau memberikan ciuman selamat tinggal?/ ….
Demikianlah
Ratna memperlakukan kenangan.
Bisa
pula tak lebih sebagai “Fragmen”. kau
menulis kisah tentang entah siapa, dan aku membacanya di sudut taman./ kau
menangis di sudut kota, dan aku menuliskannya di hamparan/ kertas putih yang
kau baca./ aku, kau, tak hanya lakon, tapi juga dalang atas kisah
masing-masing.// 2012(*)
Cipeujeuh, 20 Januari 2018
#Buku #Puisi #DadaYangTerbelah
#RatnaAyuBudhiarti #PenerbitMetafor
~Foto sampul buku dari Penerbit Metafor
Artikel ini berbau pendidikan Bahasa Indonesia yach mbak.... kerennn dech cara dan penuturannya.
BalasHapusBahas buku dengan cara serius, Kang. Maka bahasanya pun harus apik. Hatur nuhun. :)
Hapus