Selasa, 18 Desember 2018

Membedah Dada Puisi Ratna Ayu Budhiarti



PEREMPUAN memiliki beragam cara untuk membahasakan puisi sesuai warna jiwa dari pengalaman hidupnya. Bahasa kaum perempuan dalam puisi mereka terkadang memiliki ciri pembeda dengan bahasa pemuisi lelaki.


JUDUL               : Dada yang Terbelah
PENULIS           : Ratna Ayu Budhiarti
PENERBIT         : Metafor
CETAKAN          : 1, Agustus 2013
HALAMAN          : xxi+110 Halaman
ISBN                   : 978-602-14276-0-6
HARGA               : Rp50.000,- (Beli langsung pada penulisnya)
 
Marilah kita membedah dada puisi Ratna Ayu Budhiarti, niscaya kita akan dihadapkan dengan daya ucap dan ungkap yang begitu sangat personal kediriannya sebagai seorang Ratna.
Puisi hadir sebagai hasil apresiasinya pada beragam peristiwa yang dialami. Dan sebagai perempuan ia mendedahkan peristiwa tersebut dengan bahasa “bawah sadar”, pilihan kata yang kerap tak melulu liris metaforis. Tebaran diksi yang verbal dan apa adanya bertebaran pula dalam Dada yang Terbelah (Metafor, 2013) yang berisi 80 puisi.
Ratna seakan membiarkan hal itu karena puisi adalah apa adanya ia, sebagaimana ia apa adanya puisi. Puisi adalah hasil kegiatannya dalam mencerap hal-ihwal kepungan rasa yang bisa jadi tak terdefinisikan pula.
Biarkan bahasa membentuk rasa, apa adanya, meski bisa jadi pembaca merasa ada puisi yang tidak puitis, kurang rima, dan sebagainya. Biarkan diri larut bahkan dihanyutkan dalam arus ketidaksadaran meski pada akhirnya harus takluk untuk “gagal” membentuk bahasa sesuai yang diinginkan.
Itulah puisi. Tidak melulu harus sesuai pakem bahasa yang sastrawi. Ratna cenderung ingin menuturkan beragam kisah lewat puisi. Dengan pilihan diksi apa adanya. Terkadang liris prosais dengan rima dan irama yang terjaga di setiap lariknya. Terkadang verbal dan cair ibarat bahasa percakapan sehari-hari yang jamak kita jumpai.
Namun satu hal yang kerap saya jumpai dalam Dada yang Terbelah  adalah tebaran kenangan! Ratna mengenang begitu banyak hal silam.
Dari peristiwa semasa lajang (“D/Cerita Wanita Karier Setelah Melepas Lajang”) yang dibenturkan pada realitas kekinian sebagai ibu rumah tangga biasa dengan aktivitas rutin harian dan keterbatasan finansial. Hal yang jamak dialami siapa saja, dan Ratna dengan santai memaparkannya dalam bahasa verbal,
Lain lagi dengan kenangan pada mantan kekasih, cinta di masa silam masih tetap membayang karena ada keindahan sekaligus cabikan luka. Sesuatu yang enggan disingkirkan namun tak mendapat tempat sepenuhnya pada kehdupan yang kini dijalani. 
Barangkali kenangan bagi Ratna adalah semacam intermezo, kita bisa menengok ke belakang dalam wujud puisi agar abadi, namun langkah tetap ke depan demi membentuk sekarang yang akan menjelma kenangan lain. 
Dan kenangan pada sosok yang telah tiada hanya bisa Ratna abadikan dalam puisi pula. Bagi seorang anak, ayah adalah figur pahlawan tak terlupakan (“Ziarah”, “Setelah Tiga Tahun Kepergianmu”, “Malam Ketika Aku Mengambung Bau Dupa”).
Namun Ratna juga ingin mengajak anak untuk menghayati kenangan pada suatu saat kelak. Puisi indah dari seorang ibu untuk Khanza Janeeta Rahman buah hatinya. “Kelak Engkau”.
Kelak engkau akan belajar/ menyulam sajak, ketika teman dan kerabat/ tak lagi membela tegak di antara lautan onak// atau kau akan mengambil cermin/ dari kotak harta karun yang berisi/ surat dan kisah muram/ mematut dirimu dalam pantulan cerita/ lalu belajar mengakrabi jarak// 2013
Metafora yang Ratna pilih untuk mendedah perasaannya sebagai seorang ibu terasa liris-metaforis. Dan ia seakan trance membangun rima agar puisinya bergema, meski gema yang dipantulkan berupa kegelisahan sekaligus nasihat bijak.


Saya ingin mengenangkan pertemuan pertama dengan Ratna pada acara peluncuran antologi bersama Bunga yang Berserak di Griya Seni Popo Iskandar, Jalan Setiabudhi, Bandung. 19 Juni 2003 lampau, Ratna adalah seorang remaja cantik dalam balutan busana lucu seperti model celemek dengan motif stroberi, rambut pendek, wajah agak indo, dan puisinya dalam antologi itu bikin saya berdecak sebab blak-blakan.
Kini, ketika kami bertemu lagi dalam pergaulan sebagai warganet di jejaring sosial Facebook, tidak cuma dirinya saja yang menjelma dewasa, pun puisinya.
Dada yang Terbelah hanya sebagian kecil dari serakan himpunan hidupnya. Di masa mendatang kita tidak tahu puisi macam apa lagi yang kelak akan ia bagi, sebab hari ini akan menjadi kenangan bagi esok hari.
Tahukah engkau mengapa aku/ tak pernah membalikkan badan setelah menggenggam erat/ seluruh cinta dari dalam telapak tanganmu dan mata sejuk itu/ kemudian memilih berlalu tanpa melambaikan tangan/ atau memberikan ciuman selamat tinggal?/ ….
Demikianlah Ratna memperlakukan kenangan.
Bisa pula tak lebih sebagai “Fragmen”. kau menulis kisah tentang entah siapa, dan aku membacanya di sudut taman./ kau menangis di sudut kota, dan aku menuliskannya di hamparan/ kertas putih yang kau baca./ aku, kau, tak hanya lakon, tapi juga dalang atas kisah masing-masing.// 2012(*)
Cipeujeuh, 20 Januari 2018
#Buku #Puisi #DadaYangTerbelah #RatnaAyuBudhiarti #PenerbitMetafor
~Foto sampul buku dari Penerbit Metafor

2 komentar:

  1. Artikel ini berbau pendidikan Bahasa Indonesia yach mbak.... kerennn dech cara dan penuturannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bahas buku dengan cara serius, Kang. Maka bahasanya pun harus apik. Hatur nuhun. :)

      Hapus

Terima kasih sudah singgah, silakan tinggalkan jejak komentar sebagai tanda persahabatan agar saya bisa lakukan kunjungan balik. Komentar sebaiknya relevan dengan isi tulisan. Nama komentator tidak langsung mengarah ke URL pos blog agar tidak menambah beban jumlah link pemilik blog ini. Jangan sertakan link hidup dan mati, apalagi iklan karena termasuk spam.Terima kasih banyak. Salam. @rohyatisofjan

Disabilitas Mengelola Komunitas

Arti disabilitas adalah keterbatasan aktivitas dan partisipasi akibat  ketidakmampuan mental atau fisik. Hal itu bisa menjadi stigma dalam m...