PEKAN ini, minggu terakhir
di bulan November, harga jengkol di warung Ceu Ita dekat sekolah, dalam kisaran
5.000 rupiah setelah pekan sebelumnya 5.500 rupiah. Entah apakah pekan depan di
bulan Desember harganya akan tetap atau melonjak lagi karena jelang natal dan
akhir tahun harga-harga akan berfluktuasi mengikuti kebutuhan pasar dan ketersediaan
barang. Demikianlah hukum ekonomi kadang sulit diprediksi.
Pada
pekan di awal bulan November, harga jengkol di warung Bi Ai yang dekat rumah
masih 6.500 rupiah, makanya saya heran kala pekan selanjutnya di warung Ceu Ita
malah dapat harga murah. Yah, pagi-pagi sengaja belanja di sana agar bisa beli
ayam atau ceker ayam, dan iseng tanya harga jengkol.
Meski
jauh dari rumah, sekira 500 meter kurang-lebih, saya sengaja belanja di sana
karena butuh variasi masakan ayam demi anak dan suami yang sesekali harus makan
protein hewani. Dengan harga jengkol segitu, jelas bisa membantu saya menghemat
uang belanja.
Entah
apa sebabnya harga jengkol turun, barangkali sedang musim. Sebelumnya saya beli
sebungkus jengkol hijau muda di tetangga yang punya pohonnya, cuma 2.500
rupiah. Kisaran harga jengkol tua yang 5.000 rupiah itu lumayan murah, dan
sudah pasti akan membahagiakan penggemar jengkol karena mereka bisa lebih
sering menyantapnya.
Itu
mengingatkan saya pada jelang bulan puasa Ramadan kemarin, harga jengkol relatif
stabil, kisaran 5.000 sampai 6.000 rupiah. Lantas kala beberapa hari jelang
lebaran harganya melonjak jadi 2 kali lipat, bahkan lebih; bisa 15 ribu rupiah
di warung.
Lalu
mengapa warung tetap menyediakan meski harganya mahal? Yah, karena marema dan selalu akan ada yang pesan
jengkol usai lebaran, teman makan nasi ala liliwetan
atau ngabotram. Bukankah menyenangkan
jika lebaran bisa kumpul makan bareng keluarga atau handai-taulan dengan
diiringi sambal berikut aneka lalapan dan jengkol. Kian menambah selera makan.
Perkara
harga tak jadi soal, yang jadi soal adalah jika harga jengkol melebihi harga
daging ayam per kilogramnya, seperti kasus yang pernah terjadi pada tahun
lampau. Entah apakah harga jengkol selangit akan terulang lagi?
Petani
jengkol semoga saja tetap diuntungkan bagaimanapun musimnya, berapa pun
harganya. Satu pohon jengkol dewasa bisa dipenuhi banyak buah, dan menghasilkan
berkarung-karung jika dipanen.
Sekarang
sepertinya pohon jengkol mulai jarang. Itu yang saya amati di kampung sendiri.
Dulu kala kecil ada banyak pohon jengkol di mana-mana. Regenerasi dan
pembibitan mestinya diupayakan.
Mumpung
harga jengkol sedang murah, untuk tak mengatakan turun, mari kita ngabotram atau liliwetan dengan menu khas berupa nasi liwet berbumbu, tumis kangkung
atau kacang panjang, tahu dan tempe goreng, ikan asin peda atau cumi goreng,
jengkol goreng, sambal, aneka lalapan, dan kerupuk yang kriuk.
Alhamdulillah,
mengenyangkan.
Salam.
Cipeujeuh, 30 November 2018
#Jengkol #Kuliner #Warung
#Botram #Liwet #HargaPasar
~Foto hasil jepretan ponsel
ANDROMAX PRIME
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah singgah, silakan tinggalkan jejak komentar sebagai tanda persahabatan agar saya bisa lakukan kunjungan balik. Komentar sebaiknya relevan dengan isi tulisan. Nama komentator tidak langsung mengarah ke URL pos blog agar tidak menambah beban jumlah link pemilik blog ini. Jangan sertakan link hidup dan mati, apalagi iklan karena termasuk spam.Terima kasih banyak. Salam. @rohyatisofjan