Minggu, 02 Desember 2018

Bulan November, Harga Jengkol Turun



PEKAN ini, minggu terakhir di bulan November, harga jengkol di warung Ceu Ita dekat sekolah, dalam kisaran 5.000 rupiah setelah pekan sebelumnya 5.500 rupiah. Entah apakah pekan depan di bulan Desember harganya akan tetap atau melonjak lagi karena jelang natal dan akhir tahun harga-harga akan berfluktuasi mengikuti kebutuhan pasar dan ketersediaan barang. Demikianlah hukum ekonomi kadang sulit diprediksi.
Pada pekan di awal bulan November, harga jengkol di warung Bi Ai yang dekat rumah masih 6.500 rupiah, makanya saya heran kala pekan selanjutnya di warung Ceu Ita malah dapat harga murah. Yah, pagi-pagi sengaja belanja di sana agar bisa beli ayam atau ceker ayam, dan iseng tanya harga jengkol.
Meski jauh dari rumah, sekira 500 meter kurang-lebih, saya sengaja belanja di sana karena butuh variasi masakan ayam demi anak dan suami yang sesekali harus makan protein hewani. Dengan harga jengkol segitu, jelas bisa membantu saya menghemat uang belanja.
Entah apa sebabnya harga jengkol turun, barangkali sedang musim. Sebelumnya saya beli sebungkus jengkol hijau muda di tetangga yang punya pohonnya, cuma 2.500 rupiah. Kisaran harga jengkol tua yang 5.000 rupiah itu lumayan murah, dan sudah pasti akan membahagiakan penggemar jengkol karena mereka bisa lebih sering menyantapnya.



Itu mengingatkan saya pada jelang bulan puasa Ramadan kemarin, harga jengkol relatif stabil, kisaran 5.000 sampai 6.000 rupiah. Lantas kala beberapa hari jelang lebaran harganya melonjak jadi 2 kali lipat, bahkan lebih; bisa 15 ribu rupiah di warung.
Lalu mengapa warung tetap menyediakan meski harganya mahal? Yah, karena marema dan selalu akan ada yang pesan jengkol usai lebaran, teman makan nasi ala liliwetan atau ngabotram. Bukankah menyenangkan jika lebaran bisa kumpul makan bareng keluarga atau handai-taulan dengan diiringi sambal berikut aneka lalapan dan jengkol. Kian menambah selera makan.
Perkara harga tak jadi soal, yang jadi soal adalah jika harga jengkol melebihi harga daging ayam per kilogramnya, seperti kasus yang pernah terjadi pada tahun lampau. Entah apakah harga jengkol selangit akan terulang lagi?
Petani jengkol semoga saja tetap diuntungkan bagaimanapun musimnya, berapa pun harganya. Satu pohon jengkol dewasa bisa dipenuhi banyak buah, dan menghasilkan berkarung-karung jika dipanen.
Sekarang sepertinya pohon jengkol mulai jarang. Itu yang saya amati di kampung sendiri. Dulu kala kecil ada banyak pohon jengkol di mana-mana. Regenerasi dan pembibitan mestinya diupayakan.
Mumpung harga jengkol sedang murah, untuk tak mengatakan turun, mari kita ngabotram atau liliwetan dengan menu khas berupa nasi liwet berbumbu, tumis kangkung atau kacang panjang, tahu dan tempe goreng, ikan asin peda atau cumi goreng, jengkol goreng, sambal, aneka lalapan, dan kerupuk yang kriuk.
Alhamdulillah, mengenyangkan.
Salam.
Cipeujeuh, 30 November 2018
#Jengkol #Kuliner #Warung #Botram #Liwet #HargaPasar
~Foto hasil jepretan ponsel ANDROMAX PRIME


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah singgah, silakan tinggalkan jejak komentar sebagai tanda persahabatan agar saya bisa lakukan kunjungan balik. Komentar sebaiknya relevan dengan isi tulisan. Nama komentator tidak langsung mengarah ke URL pos blog agar tidak menambah beban jumlah link pemilik blog ini. Jangan sertakan link hidup dan mati, apalagi iklan karena termasuk spam.Terima kasih banyak. Salam. @rohyatisofjan

Disabilitas Mengelola Komunitas

Arti disabilitas adalah keterbatasan aktivitas dan partisipasi akibat  ketidakmampuan mental atau fisik. Hal itu bisa menjadi stigma dalam m...