Hidup
adalah semacam perjalanan waktu yang membawa kita melangkah ke depan, sekaligus
meninggalkan jejak masa silam untuk dikenang atau dilupakan. Hidup membawa kita
untuk melakukan sesuatu, yang membuat kita bersyukur atau malah menyesalinya.
Hidup adalah rangkaian kejadian sesuai siklus rotasi bumi yang turut
menggerakkan kita untuk terlibat dalam beragam peristiwa kecil maupun besar.
Hidup membuat kita paham makna kebahagiaan dan kepahitan. Hidup adalah penanda
bahwa jasad kita masih bernyawa. Sebagaimana tulisan saya tentang Usia 42 Tahun, Maka Saya....
3
November kemarin, usia saya genap 43 tahun. Usia yang tidak muda lagi namun
belum tua benar. Kepala 4 adalah fase usia pertengahan menuju masa yang bagi
sebagian orang akan dianggap menua.
Syukuri
saja karena Allah masih memberi kepercayaan pada saya untuk menjejak angka usia
lanjutan yang entah sampai kapan. Jatah usia mulai berkurang seiring
bertambahnya tahun-tahun yang telah saya habiskan. Namun ada banyak peristiwa
yang telah saya alami, sekaligus permasalahan silih berganti. Pun berkurangnya
fungsi organ bagian dalam dan luar.
Ketika
menengok ke belakang, ada banyak hal yang membuat saya terluka serta masih
meninggalkan bekas yang tak bisa terhapus begitu saja. Namun hidup bergerak ke
depan, waktu tak bisa diputar ulang ke belakang, dan segala sesuatu yang telah
lewat biarlah dalam genggaman masa lampau. Masih ada masa mendatang yang kelak
jadi silam sesuai perulangan siklus kehidupan.
Bagaimanapun,
ada penyesalan dan kekecewaan seiring kebahagiaan dan ketenteraman. Hidup
bukanlah sesuatu yang stagnan bagi saya sekarang. Yah, dulu kerap berada dalam
posisi sulit serta stagnan, sekarang berkat adanya gawai dan internet di rumah,
pergerakan dunia menyertakan saya untuk terlibat di dalamnya -- sebagai pelaku
atau pengamat luar.
Jika
ada istilah ‘menggenggam dunia’ atau ‘dunia dalam genggaman’, abad sekarang
memungkinkan orang biasa untuk merasa demikian. Dengan syarat memiliki
kemampuan adaptasi dan komunikasi, serta peralatan yang menunjang demi
mobilitas sendiri.
Saya
bersyukur jadi generasi X kelahiran tahun 1975, yang masa kecilnya bersentuhan
dengan banyak bahan bacaan; suka menonton film sampai wayang orang; mengenal
korespondensi surat lewat pos, lalu sur-el (e-mail);
mengenal perkembangan chatting dari
awal; tahu milis (mailing list) di Yahoo!; mengenal mesin tik dan komputer
yang sistem operasinya ribet, sampai punya netbook yang mudah dan praktis; menikmati koran dan majalah sebagai
sumber informasi melimpah kala media massa cetak masih berjaya; melihat tren
sebagai pergerakan manusia dan budaya dalam balutan konsumerisme; bahwa politik
dan dinamikanya mengubah struktur kemasyarakatan dan tata sosial suatu negara;
melihat bagaimana bencana serta perang telah menjadikan manusia sebagai korban
dan pemeran dalam tragedi kemanusiaan.
Itu
hanya sebagian kecil contoh dari apa yang saya pikirkan. Masih banyak lagi hal
lainnya yang barangkali terlewat. Sekarang masih November, hal apa saja yang
membuat saya bahagia pada tahun 2018 ini? Saya harus menuliskannya untuk
mengenang bahwa ada hal baik selain masa sulit. Barangkali akan ada masa sulit
lagi yang siap mengadang, entah kapan. Sebagaimana tulisan saya ini: Ada Alasan Mengapa Mamah-mamah 40 Tahunan Tak Kuat Begadang
Biarkan
saya berbahagia untuk sesuatu yang barangkali bagi orang lain tiada mengesankan
atau bukan apa-apa. Sebab, rasa syukur membuat saya tambah bahagia ketika
berada dalam momen istimewa.
Serial
“Balada Si Roy” itu istimewa. Saya pembaca generasi pertama kisah petualangan
Roy di majalah Hai, lalu novel
pinjaman kala usia praremaja. Bagi saya kisah Roy karya Gol A Gong itu turut
membentuk karakter bawah sadar serta pengenalan sastra dalam kemasan fiksi
populer yang mengasyikkan.
Sungguh
mengharukan kala tulisan saya dimuat dalam buku Ode to Roy, Kisah Para Pembaca Balada Si Roy (Penerbit Epigraf,
Bandung). Saya merasa telah terlibat dalam suatu perulangan momen untuk
dikenang. Dan ODE TO ROY adalah buku
pertama saya untuk tahun 2018.
Saya
memang belum punya buku solo karena harus berjuang agar lebih produktif, namun
buku antologi bersama jadi pemacu semangat saya. Kisah teman-teman pembaca Balada Si Roy yang termuat dalam
antologinya menginspirasi saya. Ada banyak segi hidup yang menarik kala kita
terinspirasi oleh sesuatu atau sosok tertentu. Dan Roy adalah tokoh rekaan Gol
A Gong yang bukan sekadar rekaan, Roy membuat pembacanya terlibat serta
dimotivasi.
Terima
kasih, Kang Gol A Gong, saya bersyukur mengenal Roy!
Saya
harus berterima kasih pada Bli Angga
Wijaya yang telah memberi kepercayaan untuk mengulas buku puisinya. Catatan Pulang mendorong saya untuk
produktif, menulis pembahasan buku yang sama dengan cara dan isi yang berbeda. Resensi
adalah ulasan singkat atas suatu buku, dan esai adalah bahasan tambahan.
Keduanya saya tulis dengan serius dan dengan nuansa sastra.
Pemuatan
resensi “Angga Wijaya, Puisi, dan Skizofrenia” di harian Denpasar Post, Ahad, 11 Maret 2018, seakan penanda kembalinya saya
setelah sekian tahun vakum menulis.
Lalu,
esai “Puisi Medium Refleksi dan Terapi” yang dimuat di harian Pos Bali (sayangnya tak punya foto
pemuatan), melegakan saya karena ada ruang untuk menampung karya. Sudah lama
saya jarang menulis puisi, dan membahas puisi membantu saya untuk mengasah rasa
bahasa lagi.
Semuanya
juga berkat bantuan Bli Angga Wijaya
agar karya saya turut mendokumentasikan perjalanan bukunya. Bukankah
menyenangkan mengulas karya teman itu? Bahwa karya menunjukkan keberadaan
seseorang ada jejaknya.
Sebenarnya
majalah itu turut dikelola penyair Faisal ER di Madura. Meski saya tak beroleh
bukti cetakan karena kami jauh, senang rasanya cerpen “Nyai Jablay Paling
Dicari!” beroleh tempat pemuatan. Tidak sia-sialah. Untuk menambah rekam jejak
media yang memuat karya, he he.
Saya
dihubungi Bu Anna Farida lewat pesan di inbok Facebook, apakah berkenan mengoreksi kesalahan cetak alias typo dalam buku Perempuan dan Literasi karyanya yang diterbitkan Bitread. Tentu
saya senang sekali meski mengoreksinya melelahkan karena rupanya buku itu tidak
melalui proses penyuntingan ketat sebelum terbit.
Label
indie dan dicetak secara POD (pre
order distribution) membuat buku bagus itu beroleh kelemahan editing, namun
sistem POD membantu penerbit dan penulis untuk mengoreksi bukunya sambil jalan
karena dicetak begitu beroleh pesanan.
Beroleh
buku gratis memang menyenangkan, namun tujuan saya untuk membantu sekaligus
mempromosikan bukunya dengan ulasan. Semacam resensi yang sayangnya gagal
tayang di media mana pun meski sudah saya tawarkan ke mana-mana. Blog pribadi
adalah perhentian terakhir agar ulasan buku bagus itu tetap beroleh tempat dan
dikenalkan pada khalayak. Dan syukurnya malah dimuat www.janang.id di Rubrik Katabaka pada bulan November. Sayang honornya belum dibayar sampai sekarang. Entajh kapan.
5. Dapat Hadiah Giveaway dari Blog
Akarui Cha berupa Novel Arteri(o)
Karya SJ Munkian
Jadi
GA Hunter alias pemburu giveaway
itu menyenangkan. Empat tahun silam, pada awal sampai pertengahan tahun 2014,
saya kerap ikut lomba menulis blog dan giveaway,
selalu ikut hal demikian setiap bulannya. Hadiahnya lumayan jika menang,
kebanyakan buku dan hal lainnya, Kalah tak masalah asal sudah ikutan.
Baca
novel tebal karya Kang Sangaji itu membawa saya menjelajahi dunia fantasi
menakjubkan dalam balutan bahasa yang cenderung sastra. Diterbitkan Bitread,
dan sayangnya tidak melalui proses penyuntingan yang ketat sehingga kesalahan typo bertebaran lebih parah daripada
buku Bu Anna Farida.
Saya
sampai menandainya dengan Stabilo.
Semoga ke depannya dalam cetakan ulang tiada lagi kesalahan demikian. Bukunya
bagus dan saya suka, sayang ulasannya belum selesai, ditunda melulu. Manajemen
diri saya payah, jika sedang mengerjakan suatu hal malah melompat pada hal lain
padahal belum selesai.
Semakin
usia bertambah, semakin sadar bahwa waktu kian terbatas, padahal kemampuan dan
stamina telah berkurang. Apalagi butuh tambahan sarana baru yang lebih baik
karena netbook Acer ini sudah uzur
serta harus dipakai bergantian dengan anak dan suami yang ingin menonton film
sebagai hiburan.
Sebenarnya
saya tak suka baca buku politik, apalagi bahasan Tan Malaka itu berat. Bukunya
disimpan dulu, tak dibaca, segel plastiknya saja belum dibuka. Kapan-kapan saya
baca begitu segala urusan lain telah kelar, ada banyak hal tertunda yang belum
saya selesaikan.
Saya
butuh waktu tenang untuk membaca Aksi
Massa, buku ringan lain bisa selesai baca dalam sekali duduk secara
sebentar. Namun saya belum siap bersentuhan pemikiran dengan penulis yang
cenderung sosialis ini. Bukunya bisa menambah wawasan saya tentang sejarah
politik dan perilaku manusia.
Saya
pikir menyenangkan berada dalam jejaring media sosial yang berbeda daripada Facebook atau Twitter, social blogging
adalah ranah baru. Kemudian saya tak nyaman begitu melihat bagaimana polah sebagian
orang di dalamnya yang ramai-ramai malah melakukan penjatuhan karakter pada
bulan Ramadan.
Tempat
semacam itu adalah sesuatu yang sebaiknya saya tinggalkan. Dan mungkin Allah
menutup pintu itu agar saya bisa memilih pintu lain. Pintu yang lebih baik,
bukan pintu palsu.
Kasus
tersebut memberi pelajaran besar pada saya, bahwa ungkapan ‘netizen mahabenar’, ada benarnya juga.
Kumpulan massa akan mendorong perilaku tertentu untuk menunjukkan watak asli
tersembunyinya. Toh, orang bisa
bersembunyi di balik anonimitas, namun tak bisa bersembunyi dari yaumil hisab.
Rupanya
inilah pintu baru saya. Setelah saya bertekad untuk kembali mengurus blog
pribadi yang terbengkalai dan rajin menulis esai bahasa, Pikiran Rakyat memuat “Kata Ulang Milenial” pada Ahad, 2 September
2018.
Berkat
pemuatan itulah saya memasuki ruang lingkup pergaulan baru yang sedunia di WAG
(WhatsApp Group) Klinik Bahasa. Saya
bersyukur bisa berinteraksi dan terlibat diskusi dengan sesama peminat bahasa.
Kebanyakan mereka adalah linguis, guru, dosen, pekerja media, dari institusi
Badan Bahasa, sampai aneka profesi lain.
Berada
dalam WAG Klinik Bahasa mendorong saya lebih produktif menulis esai bahasa.
Interaksi positif membawa manfaat bagi rangsangan ide dan bertambahnya wawasan
secara bertahap. Karena itulah saya senang esai bahasa ‘Likuefaksi” dimuat Pikiran Rakyat pada Ahad, 28 Oktober
2018. Itu hari Sumpah Pemuda!
Boleh
dikata, pintu dunia saya terpentang untuk dijelajahi secara intens. Maka karya
lain pun bertambah, juga ruang pemuatan tidak hanya pada satu media saja. Saya
bersyukur bisa kenal Pak Tendy K. Somantri yang selalu mengenalkan sekian
banyak pintu untuk saya ketuk dan masuki. Berkat Pak Tendy, saya bisa kenal Pak
Imam J.P. yang menyarankan agar admin WAG Klinik Bahasa mengizinkan saya
memasuki pintunya.
Klinik
Bahasa adalah pengganti forum diskusi di milis guyubbahasa Forum Bahasa Media Massa (FBMM) bagi saya. Ponsel
android membuat ruang lingkup pergaulan saya tak terbatas lagi.
Pada
tahun 2014 saya sudah tertarik pada kolom ALINEA di harian Riau Pos. Epaper-nya saya
simpan di folder khusus. Sayang
memang saya terpaksa terhenti internetan di rumah karena hantaman masalah
pribadi yang berat dan membuat depresi selama nyaris 4 tahun silam.
Meski terlambat, kembalinya saya membuahkan
hasil. Esai “Bahasa Indonesia dan Tunarungu” dimuat di kolom ALINEA Riau Pos pada Ahad, 15 Juli 2018. Alhamdulillah.
Pemuatan
kolom ALINEA merupakan kerja sama Riau
Pos dengan Balai Bahasa Provinsi Riau. Honornya, insya Allah, ditransfer 6
bulan setelah pemuatan, Desember depan, karena sistem pembayarannya per
semester.
Redaktur
bahasa selalu memberi tahu jika tulisannya hendak dimuat, pun soal honor kapan
pembayarannya. Saya senang karena redaktur transparan. Langsung mengabarkan.
Meski
korannya tergolong baru, Rakyat Sultra
sudah menyediakan ruang untuk puisi, cerpen, artikel sastra dan bahasa
(bergantian), berikut info mengenai kosakata bahasa Indonesia pada hari Senin
setiap pekannya. Bekerja sama dengan Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara.
Saya
pernah kirim puisi, cerpen, dan esai bahasa dengan tenggat pemuatan 8 minggu (2
bulan). Tidak terlalu sering, namun berupaya rutin menulis dan kirim ke
mana-mana, makanya kerap kekurangan stok jadi tak selalu bisa “menghujani”
media tujuan dengan lebih banyak tulisan.
Alhamdulillah,
media yang memiliki grup Rubrik Bahasa, Sastra, dan Budaya di Facebook sebagai pengabar pemuatan dan
memajang lembar budayanya, memuat esai bahasa saya yang berjudul “Memahami
Penulisan Tawa” pada Selasa, 30 Oktober 2018. Itu hari milad Palung!
Sebenarnya
dapat editing serius, berupa perbaikan tanda baca, kata hubung, dan
penghilangan kata yang tak perlu, serta menambahkan kata yang lebih
menjelaskan. Terasa sekali redakturnya yang orang bahasa serius menangani
rubrik tersebut. Sehingga perbaikan pada tulisan saya menjadikan lebih layak
dan apik.
Saya
senang dan malu karena dapat perhatian khusus, menyadarkan saya agar lebih giat
lagi belajar dan memperhatikan kaidah penulisan. Untuk mahir butuh proses dan
upaya terus-menerus, juga menjaga bacaan agar tak terbawa arus yang bisa mencemari keajekan pola bahasa bawah sadar.
Jangan
mengira saya selalu menang jika ikut giveaway
atau kuis apa pun di media sosial. Lebih banyak kalahnya daripada menang, kok. Bukan jalan rezeki jika kalah,
namun tak menyerah untuk mencoba lagi kala ada peluang. Rezeki itu harus
diperjuangkan dengan ikhtiar dan doa. Sebuah cara standar. Bisa juga belajar dari kumpulan cerita anak-anak ini karena penting dfipelajari penulis cerita anak mengenai pakemnya: Lia Herliana dan Pakem Cerita untuk Anak
Saya
suka tulisan Teh Lia Herliana, makanya bahagia kala nama saya menyertai 5 nama
pemenang lain. Alhamdulillah, dapat
kado buku untuk milad 9 tahun Palung. Picbook
yang mengajarkan anak agar bisa membangun karakter lebih baik. Saya mengulasnya dalam Rahasia Mona: Hadiah Giveaway dari Lia Herliana dan Penerbit Tiga Ananda
Sebagai
rasa terima kasih, saya menulis ulasannya di blog. Prinsip saya, hargailah
pemberi hadiah buku dengan menuliskan ulasan, minimal di blog pribadi jika tak
dimuat media mana pun. Memang saya belum bisa menulis ulasan semua buku hadiah
yang sudah diterima, butuh waktu dan fokus, namun saya punya niat baik.
13. Turut Berperan dalam Buku Bergerak Tak Berasap
Meski
bukunya belum saya terima, saya bersyukur beroleh buku kedua tahun ini.
Kumpulan kisah bersama tentang Walk to
School dan Bike to Work agar tak
menambah polusi udara di Kota Bandung.
Para
kontributor menuliskan pengalamannya soal berangkat kerja dan sekolah dengan
bersepeda atau jalan kaki santai. Bagi saya bukunya mengesankan karena memberi
ruang untuk mendedahkan ide dan kenangan, sekaligus harapan tentang masa depan
Bandung secara ideal. Bandung adalah kota kelahiran saya!
Semoga
saja di masa mendatang ada lebih banyak proyek penulisan buku yang bisa saya
ikuti.
Untuk
beberapa alasan saya membuat blog baru. Bersyukur karena telah beroleh cukup
trafik meski usianya masih belasan hari. Saya ingin blog ini lebih baik,
sekaligus awal kebangkitan saya agar selalu produktif.
Blog
membantu saya untuk menyediakan ruang tak terbatas yang lebih bebas dan personal.
Tempat penampungan karya secara mandiri. Bagi saya blog adalah semacam arsip
penyimpanan, ruang dokumentasi pribadi untuk Palung baca kala mamahnya telah
tiada.
Harapan
saya, semoga bisa menjadikan blog sebagai sarana mencari rezeki dengan cara
memasang iklan dari Adsense dan lainnya, juga beroleh job review dari perusahaan atau agensi yang membutuhkan jasa saya.
15. Beroleh Banyak Ucapan Selamat dari Teman-teman
Saya
lebih aktif di Facebook daripada akun
media sosial lain. Pun jumlah teman saya lebih banyak di Facebook, popularitas suatu media akan menentukan jumlah pengguna.
Ada banyak fitur yang memudahkan
interaksi, termasuk siapa saja yang sedang berulang tahun.
Senang
rasanya dapat ucapan selamat ulang tahun dari orang-orang yang saya kenal lewat
dunia maya dan nyata. Mereka membuat saya bersemangat dan menghargai arti
silaturahmi.
Saya
tahu teman adalah sosok yang bisa datang lalu pergi, namun interaksi yang
terjadi membuat saya tak merasa sendiri. Dunia ini akan indah jika diisi dengan
hubungan baik antarsesama, amat merugilah bagi mereka yang suka berselisih
dengan sesamanya.
Terima
kasih sudah membaca tulisan panjang ini, dan bertahan menuntaskannya sampai
tamat. Ini lebih dari 2 ribu kata. Saya terbawa begitu saja untuk keasyikan
menulis. Fase hidup seseorang akan melalui banyak pengalaman tak terduga.
Demikianlah hidup saya selama 43 tahun ini. Yah, saya tak bisa membalikkannya
agar tampak masih muda dan berusia 34, he he.
Salam,
Cipeujeuh, 25-26 November
2018
#Usia #43Tahun #November #2018
#BerkahHidup
~Foto hasil jepretan kamera ponsel sendiri,
plus dari Angga Wijaya, Pak Imam JP, Pak Irul S. Budiarto, Faisal ER, dan Mutiara Aryani
Awwww..awww..awww...
BalasHapusTerinspirasi banget dengan banyaknya prestasi mba Rohyati di dunia menulis.
betewe mbaaa, saya juga pernah ngetik di mesin tik.
Sering bahkan.
Dulu, selepas lulus STM saya nganggur setahun karena adik saya meninggal dan mama saya sendirian jika saya langsung kuliah.
Karena saya maunya kuliah di kota lain.
Jadinya bosan banget nganggur di rumah, mama saya akhirnya membawa mesin tik dari kantornya, dan tiap hari saya sibukngetik mulu.
Sayang, kertas2 ketikan tersebut dibakar oleh kakak saya.
Dan karena mesin tik itu, sampai sekarang saya kayak kagok aja gitu ngetik di laptop, selalu kasar, kasian laptopnya hahaha
Lah kan mesin tik itu harus dipencet yang keras kan ya :D