TIDAK semua orang doyan
jengkol, namun masyarakat suku Sunda pada umumnya (tidak semua, memang) doyan
jengkol. Entah yang mentah atau matang, yang kulitnya masih hijau muda atau
sudah cokelat tua, digoreng atau dimasak dengan beragam cara dan bumbu, kering
atau berkuah banyak.
Bagaimanapun
cara makan dan mengolahnya, jengkol tetaplah makanan sedap dan penambah selera
makan. Tak peduli aromanya menyengat serta akan membuat mulut kita bau pula,
plus urin pemakan jengkol membuat polusi udara di kamar mandi untuk sementara
waktu,
Saya
dan keluarga termasuk pemakan jengkol, tidak selalu memang, namun setidaknya
setiap tahun ada siklus kami makan jengkol kala harganya murah atau ada acara
tertentu atau sedang musimnya.
Jengkol
lebih mudah didapat daripada petai, harga jengkol berfluktuasi sesuai
ketersediaan dan musim. Ada suatu masa sekilo jengkol mencapai harga 100 ribu
rupiah atau di atasnya. Melebihi harga sekilo daging ayam atau sapi. Itu ketika
jengkol menjadi komoditas langka karena sedang tidak musim, padahal banyak
pelaku usaha warung makan atau sekadar peminatnya yang membutuhkan.
Pak
Usep Romli H.M. bahkan menulis artikel bagus di Tribun Jabar mengenai fenomena
langkanya jengkol dan harga yang menggila. Toh,
ada teman yang tenang-tenang saja tetap membeli jengkol dengan alasan prestise karena harganya sedang meroket.
Siapa
bilang jengkol makanan kelas bawah yang tak bergengsi? Jengkol bisa menaikkan
gengsi pemakannya atau tuan rumah yang menyediakan jengkol berapa pun harganya
-- kala mengundang tamu untuk makan bersama alias ngabotram.
Karena
saya kategori kelas bawah yang hanya bisa makan jengkol begitu kisaran harganya
wajar atau murah, maka setahun makan jengkolnya tidak terlalu sering. Meskipun
sedang murah, saya tak bisa memasak jengkol atau beli semur jengkol di warung
setiap hari. Perhatikan kandungan gasnya, he he.
Bagi
saya memasak jengkol itu ribet, makanya lebih sering masak cara kering daripada
berkuah banyak. Entah itu digoreng garing biasa untuk teman makan sambal, atau
diiris tipis lalu digoreng separuh matang untuk ditumis dengan bumbu inti yang
pedas.
Saya
sulit memasak jengkol dengan cara disemur atau gulai. Butuh panci presto agar
rebusan jengkolnya lunak sebelum dimasak dengan bumbu. Panci biasa yang saya
punya untuk merebus jengkol mentah dulu. Maka jika memasak jengkol hasil
olahannya kurang memuaskan, tak lunak dan bumbu tak meresap.
Berapa
kali pun saya praktik memasak jengkol berkuah kental, cita rasa atau kelunakan
jengkolnya tetap tak bisa menyamai hasil masakan Bi Ai istri Pak Suhara yang
punya warung dekat rumah dan setiap pagi menyediakan gorengan sampai olahan
masakan.
Jadi,
rahasia masak jengkol yang enak dan antigagal itu bagaimana? Panci presto serta
berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk merebusnya terlebih dahulu sebelum
diolah jika memakai panci biasa. Sebenarnya ada baiknya juga merebus jengkol
dengan abu gosok untuk mengurangi kandungan gasnya. Namun itu bagi yang mau ribet serta punya sediaan abu gosok.
Saya
malas jika masak harus ribet gitu
karena tak punya abu gosok, sudah lama tak memasak di hawu alias tungku kayu bakar. Lebih dimanjakan kompor gas karena
harus mengerjakan hal lain daripada mengutamakan seni masak yang ribet dan segala tata caranya sesuai
panduan koki ahli.
Jadi,
kala kemarin dapat sekantung keresek jengkol dari Ipah yang katanya sudah
direndam dan sebaiknya direbus dulu, saya merebusnya sampai 2 kali. Air rebusan
pertama langsung dibuang, diganti air baru untuk merebus ulang. Entah berapa
lama waktu yang saya butuhkan untuk merebusnya, itu cukup lama namun rupanya
tak cukup lama untuk melunakkan jengkol.
Kala
jengkol dingin yang telah saya rebus sampai dua kali digeprekkan di atas cobek
batu, masih terasa keras. Saya biarkan dulu begitu seluruh jengkol telah
digeprek. Besok pagi diolahnya setelah direbus lagi.
Dan
direbus sampai 3 kali ternyata tak membuat jengkolnya lunak memuaskan.
Barangkali saya harus merebus sampai lama dan memboroskan gas. Pun kala saya
memasak dengan bumbu berkuah, hasil jadinya tetap tak mantap. Jadi sedih.
Harus
menabung agar bisa beli panci presto, rebus jengkol 15 menit akan cukup lunak
dan teksturnya mantap. Sekarang harga panci presto yang bermutu baik mencapai
400 ribu kontan di toko perabotan rumah tangga.
Berjuang
dulu agar bisa mengumpulkan tabungan dari honor menulis demi panci presto
idaman, pelengkap cara memasak jengkol secara ideal, he he.
Tadi
pagi saya memasak jengkol kuah pakai bumbu balado siap saji merek DapurRKita. Abaikan susunan hurufnya,
itu sesuai dengan merek. Sebenarnya saya cuma ingin berimprovisasi saja,
sediaan bawang merah dan putih terbatas. Biasa beli satuan seharga gopek alias
500 rupiah di warung, jadi bumbu siap sajinya yang cuma 1.500 rupiah sekadar
pelengkap rasa agar saya tak terlalu menambahkan banyak bawang.
Mari
kita simak langkahnya:
Bahan:
~ 1 piring jengkol rebus lunak yang
sudah digeprek
~ 1 sacet bumbu balado DapuRKita ukuran
10 gram
~ 3 siung bawang merah
~ 1 atau 2 siung bawang putih
~ 2 butir kemiri
~ 3 batang cabai keriting merah segar
~ 1 buah tomat merah segar
~ 1 sendok gula pasir
~ garam dan Royco rasa sapi sesuai
selera
~ 2 lembar daun salam
~ 2 gelas air atau lebihkan jika ingin
lebih banyak kuahnya
~ minyak goreng untuk menumis bumbu
halus secukupnya.
Cara Memasak:
1. Ulek sampai halus kemiri, cabai merah,
bawang merah, bawang putih, tomat, dan garam secukupnya.
2. Tumis bumbu halus sampai layu,
kemudian masukkan daun salam hingga harum.
3. Masukkan air lalu tambahkan satu
sacet bumbu balado, biarkan sebentar sampai mendidih.
4. Masukkan jengkol ke dalam wajan,
aduk-aduk sebentar hingga bercampur rata, tambahkan gula pasir kemudian tutup
wajannya. Biarkan selama beberapa saat sampai mendidih untuk diaduk-aduk lagi.
5. Tutup wajan dan kecilkan api, masak hingga
jengkol lunak dan kuah mengental.
6. Angkat dan hidangkan.
Sebenarnya
hasil masakan saya tak terlalu memuaskan
dari segi rasa dan tekstur, saya kerap tak pas dalam hal takaran bumbu.
Bumbu kurang banyak atau air untuk kuah tak pas. Saya tak tahu jenis masakan
yang dibuat dengan bumbu balado itu apakah termasuk semur atau gulai. Yang
jelas bukan balado doang karena
beroleh tambahan bumbu berupa kemiri dan cabai merah, sekaligus daun salam dan
penyedap rasa sapi untuk penguat rasa.
Saya
memang jarang praktik masak jengkol bumbu kuah kental. Tingkat kegagalannya
besar. Jika ingin rasa yang pas harus mengintip resep dan cara masak, entah di Cookpad atau Youtube. Namun yang paling dibutuhkan adalah peralatan yang
menunjang demi memasak jengkol.
Uf,
saya lupa wajan hitam besarnya bisa multifungsi, memasak atau merebus secara
cepat panas. Seharusnya kemarin saya rebus jengkol pakai wajan Maspion agar
lunakan dikit, karena terlalu sayang jika memasak jengkol secara lama di wajan
sampai kuah kentalnya berkurang. Kuah adalah penambah rasa masakan.
Baiklah,
ini catatan bagi saya yang selalu merasa gagal di dapur. Memasak jengkol dengan
cara mengiris tipis dan digoreng separuh matang namun berasa pulen kayak
kentang, lalu menumisnya dengan bumbu pedas lebih mudah dan praktis, namun itu
tak akan meningkatkan keahlian masak saya yang selalu gagal mengolah masakan
berkuah kental.
Salam.
Cipeujeuh, 24 November 2018
#Jengkol #Kuliner #CaraMasak #DapurKita
~Foto hasil jepretan ponsel ANDROMAX
PRIME~
Saya lupa, udah pernah makan jengkol nggak ya?
BalasHapusKalau pete sih udah, dan baru sekarang-sekarang ini berani nyoba, ternyata enak yaa, meski pipis jadi bau banget hahaha.
Saya nggak bisa sih masak pete, yang jago tuh pak suami, bisa enak kriuk-kriuk gitu.
Nanti ah minta dimasakin jengkol kayak gini, kayaknya enak nih, macam kacang gitu ya mba?