HALO, saya pernah juga
jomlo kala muda dan lajang. Kala usia di atas 20-an. Catat, ya, jomlo tanpa
huruf b karena yang tepat, kata Pak Uksu Suhardi dalam status pelajaran bahasa
singkatnya yang numpang lewat di beranda saya; adalah jomlo sebagaimana comro
(oncom di jero).
Sebentar,
saya kerap mengucap-tulis jomlo dan paham apa artinya namun tak paham sejarah
linguistiknya. Jadi, mengapa bisa ada kosakata jomlo?
Yah,
mungkin kosakata itu untuk menggambarkan betapa jomplang-nya perasaan karena sendirian tiada pasangan. Jomplang lonely?
Sudahlah,
saya baru bangun tidur siang dan separuh berpijak di kasur.
Saya
hanya ingin bilang pernah jomlo di masa muda bukan karena tak laku melainkan
karena selalu ragu. Iya, ragu dalam hal hubungan apakah akan bisa berjalan
lancar atau malah melukai.
Siapa
yang terluka? Saya, dong.
Hem,
sebagai manusia biasa yang banyak kurangnya jelas saya tak percaya diri. Maka,
kala teman-teman sebaya sudah pada menikah dan beranak-pinak lantas tubuh melar
bekas melahirkan, saya masih single
langsing kesepian.
Gak
enaknya berasa gimana banget, seakan tiada jodoh meski berupaya bergaul dengan
sekian teman lelaki. Lalu pada akhirnya saya bertemu dengan seseorang yang
membuat nyaman dan terbuka. Kami cuma berteman jarak jauh. Dia di Jogja, saya
Bandung. Dia operator warnet yang suka sastra dan teater, saya karyawati toko
kecil yang suka menulis apa saja dan keluyuran di setiap acara seni Bandung.
Kami
berbeda banyak. Namun entah mengapa saya tertarik padanya. Seakan dia adalah
kutub magnet saya. Kami kerap berkomunikasi dengan email, milis, YM (Yahoo messenger), setelah mIRC
ditinggalkan. Terlalu repot di sana. YM sekali jalan. Dan zaman sekarang YM
malah ditinggalkan. Digantikan FB dan WA.
Saya
akan bahas apa, ya? Ah, sejarah kami yang 3 tahun itu berkat adanya warnet terasa
singkat. Saya diam-diam lalu terang-terangan memiliki pengharapan padanya.
Berharap dialah calon qowwam saya.
Namun
jodoh punya kutub tersendiri. Tanpa saya tahu kala kami berpisah komunikasinya,
karena saya pulang kampung dan meninggalkan Bandung, dia punya rencana besar
tentang siapa yang harus di-qowwami-nya.
Sampai
sekarang dia tak pernah bilang pada saya bahkan pada pasangan seumur-hidupnya
tentang alasan mengapa tidak memilih saya. Dia tak mau tambah melukai atau entah
apa. Di antara kami sebelumnya ada semacam persahabatan.
Demi
Tuhan, saya berupaya jatuh cinta lagi pada yang lain setelah pada subjek cinta
platonis jilid 5 yang dia tahu juga siapa orangnya.
Namun
dia bukanlah takdir saya.
Saya
patah hati, tentu saja.
Saya
menulis puisi tentangnya, sudah pasti.
Saya
mencintainya atau masih mencintainya? Anehnya tidak.
Saya
cuma berupaya belajar mencintai seseorang setelah sang subjek cinta platonis
yang juga tahu bahwa saya diam-diam mencintainya-dan tahu bahwa saya dekat
dengan seseorang yang saya harapkan sebagai pendamping-yang malah tahu juga
bahwa saya mencintai siapa karena sebelumnya saya terbuka soal rasa.
Ah,
maafkan bahasa saya.
Cinta
itu rumit namun memberi spirit.
Sebelum
saya tambah membosankan, saya akhiri saja dengan semacam puisi yang entah
apakah merupakan terakhir. Maafkan jika saya gombal.
Saya
hanya pernah muda dalam usia kepala empat ini. Pernah berupaya keras untuk bisa
beroleh pasangan tanpa tahu pasti apakah mencintainya. Hanya menyukainya secara
jarak-jauh. Hanya surat-surat poslah yang pernah kerap menghubungkan kami
sehingga terasa dekat seakan dunia maya tidak lengkap. Hanya puisilah yang
merupakan kesamaan kami.
Dan
sekarang saya persembahkan puisi ini. Puisi hati yang telah tawar karena saya punya
seseorang yang juga kini spesial.
Semoga
berkenan.
Salam
puisi. Saya bukan May Ziadah, dan jangan anggap dia Khalil Gibran.
Kami
hanya sepasang bayang-bayang silam.
Cipeujeuh, 22 Mei 2018
Kita Telah Bahagia dengan Kemasing-masingan
@MZF
Pada
akhirnya kita serupa sosok asing
yang
pernah bersua di perjumpaan
lantas
saling melupakan.
Tahun-tahun
akrab telah lewat
sebagai
silam yang barangkali
tak
layak dikenang.
Dan
tiga tahun kebersamaan
di
jagat maya berkat chatting
di mIRC #cybersastra hanyalah
intermezo
hasrat muda, padam seiring
usia
beranjak atau beranak-pinak.
Karena
kau dan aku dipersatukan
lantas
dipisahkan takdir.
Karena
kau-aku hanyalah masing-masing.
Karena
kau-aku pada akhirnya hilang pada pulang:
jalan
pilihan atau perpisahan kekal!
Cipeujeuh, 5 Februari 2018
#Puisi #PatahHati #Kenangan #KhalilGibran #MayZiadah #Platonis #Jomlo
~Gambar hasil paint sendiri, foto koleksi pribadi, dan tangkapan layar dari drakor "Go Back Couple"
Mbaaaa, teruslah menyelipkan kata-kata yang benar di setiap postingan mba, jadi saya selalu mendapatkan 1 kata yang benar dan akan selalu menerapkan dalam kehidupan menulis saya hahaha.
BalasHapusSerius!
Saya baru tahu loh kalau aslinya bukan 'jomblo' tapi 'jomlo' mungkin karena pengucapannya hampir sama, seolah ada huruf 'b' nya, makanya berkembang jadi jomblo.
Terus saya kepo, liat di kbbi, eh kok artinya gadis tua dong.
Berarti lelaki nggak ada yang jomlo dong, adanya apa ya? hahahaha
Ahhh, bahagia banget saya, kalau menemukan hal-hal baru gini :D
Aha, saya justru bahagia menemukan komentar Mbak Rey di posting-an lama. Terima kasih, Mbak Rey sudah meninggalkan jejak apresiasi.
HapusIya, jomlo dalam pengucapan ada nuansa b sebagai pengaruh dari lidah kala ucapkan konsonan m dengan l yang berdekatan, jadi kesannya m-b-l atau jomblo.
Yah, kata kiasan dalam bahasa Indonesia kerap mengambil dari bahasa daerah yang ditambah perluasan makna sehingga jomlo bukan lagi perawan tua saja, jadi makna umum sebagai yang tidak punya pasangan untuk tua maupun muda.😁