BAGAIMANA
tidak, dari sejak awal tahun saja saya merasakan semacam aura orang-orang
cenderung terkenang-kenang pada masa silam. Tengoklah beranda Facebook, kebanyakan yang jadi teman Facebook saya pada bahas novel dan film
“Dilan”.
Pidi
Baiq yang menulis dengan gaya nostalgiaan benar-benar sukses menularkan
semangat nostalgianya, hingga kebanyakan yang segenerasi dengan Kang Pidi,
generasi X, ikut mengenang bagaimana kehidupan mereka yang telah lampau.
Nostalgia masa SMA atau SMU.
Termasuk
saya!
Saya
tak akan bahas novel Dilan karena
belum sempat baca. Akhir-akhir ini saya merasa lebih banyak menulis daripada
baca. Membaca adalah ritual yang butuh saat tenang ketika segala pekerjaan
rumah tangga telah usai. Namun sekarang saya cenderung terlalu aktif internetan
sehingga menjadikan membaca sebagai prioritas kesekian.
Apa
yang saya lakukan dengan internet?
Saya
sibuk urus blog dan blogwalking agar rank blog saya tak anjlok, padahal sudah dapat page rank 3 mestinya
jangan khawatir. Stalking pada setiap
status di Facebook dengan harapan
menemukan info lomba menulis atau giveaway
atau kuis hadiah buku gratis, meski kerap tertimbun status gaje orang keluh-kesah atau marah-marah pakai bahasa kasar yang
membuat saya tak nyaman dan rasanya ingin segera berhenti mengikutinya sebagai
teman.
Sedang
saya cuma berbagi status yang isinya melulu berkaitan dengan dunia menulis dan
literatur, maka nyaman dengan yang sedunia dan berbagi hal positif dalam bahasa
santun.
Geser
bawah kerap disodori pemandangan bahasa yang bikin mumet ala pengguna Facebook yang berprinsip aneh: Susah-senang
dibagikan. Tak peduli susah dan senangnya pakai bahasa tak pantas.
Padahal seisi dumay bisa
menilai dengan jelas aslinya si itu gimana jika keseringan mengumbar keruhnya
perasaan dan pemikiran pakai bahasa sangar.
Dan
awal tahun 2018 ini di Facebook, saya
bertemu kembali dengan beberapa teman lama, teman masa SMU. Saya, sih, senang saja. Namun ada semacam
kecenderungan bahwa mereka, yang lelaki, kebanyakan merasa berjiwa muda dan
menggunakan bahasa “yang dulu” kala berinteraksi dengan sesama teman masa
remajanya.
Jadi,
cuma bisa bengong dan terheran-heran kalau mereka saling ledek dalam bahasa
Sunda kasar dan asal njeplak di
status Facebook maupun group WA. Yang
itu jelas tak bisa saya ikuti.
Mari
kita lupakan para bapak alumni sekolah saya. Sebagai bapak dan suami, mereka
ingin tetap merasa bocah kala gaul dengan sesamanya agar awet muda. Toh, mereka tak mengganggu saya. J
Saya
ingin bahas salah satu elemen penting dalam hidup saya, bacaan masa kecil dan
remaja yang membuat saya ingin nostalgiaan!
Itu
bermula dari status Teh Tias Tatanka yang dengan izin Allah bisa saya baca;
undangan bagi para pembaca BALADA SI ROY!
Undangan
itu ditujukan bagi para pembaca novel BALADA
SI ROY untuk menulis kisah mereka mengenai seberapa besar pengaruh Roy
dalam hidup pembacanya. Karya terpilih akan dibukukan dalam buku khusus yang
akan dirilis pada peringatan 30 Tahun Balada Si Roy di Rumah Dunia, Banten.
Saya
merasa bergairah dan mengirimkan tulisan nostalgia terhadap sosok Roy yang juga
turut andil memengaruhi hidup saya.
Ketika
kirim itu saya tak yakin akan terpilih. Keluar lagi, deh, rasa pesimisnya.
Soalnya yang ikutan pasti banyak banget dan isi tulisan mereka pasti seru plus bagus.
Namun
Allah punya rencana indah.
Alhamdulillah,
“Solidarnos dan Menyusuri Bandung Berkatmu, Roy!” disertakan dalam 17 kisah
petualangan pembaca Balada Si Roy dalam buku ODE TO ROY, KisahPara Pembaca
Balada Si Roy.
Bahagia
sekaligus terharu rasanya, pokoknya campur aduk. Itu buku antologi pertama saya
untuk tahun 2018 ini. Setelah 3 setengah tahun lalu, pada tahun 2014, ada buku
antologi bersama hasil lomba menulis Karena Bahagia Itu Sederhana.
Justru
berkat buku itu akhirnya saya temanan dengan Kang Gol A Gong penulis BALADA
SI ROY di Facebook, beliau
ternyata ramah. Dan Teh Tias Tatanka, meski sudah jadi teman Facebook sejak tahun 2014 barulah bisa
berinteraksi sekarang. Iya, soalnya saya sempat ngilang lama dari dumay, sih.
Jadi
kepingin mengunjungi Rumah Dunia.
Apa
arti nostalgia bagi Anda?
Barusan
saya baca quote alias kamut bagus
dalam novel Pasukan Matahari karya Kang Gol A Gong (Penerbit Indiva, 2014).
Saya kutipkan, ya.
Oh,
masa kecil yang indah. Kata Imam Ghazali, masa lalu itu jauh dan kita tak akan
mungkin bisa kembali. Kecuali, mengenangnya saja. Maka, hargailah waktu dengan
hal-hal yang bermanfaat.
(Halaman 81.)
Jika
tahun 2018 ini kita banyak diajak nostalgiaan berkat film dan bacaan, apa yang
akan kita lakukan di masa sekarang agar bisa menjadi kenangan sarat makna di
masa mendatang? Bukan sekadar kenangan biasa melainkan sesuatu yang berfaedah
untuk kita lakukan agar menjadi hal manis untuk dikenang.
Saya
menulis dengan harapan bisa mengabadi dalam waktu lama, merangkum hal-hal yang
terjadi, hal besar dan kecil, agar kelak bisa menjadi jejak untuk
dinapaktilasi.
Melakukan
hal-hal manis dengan anak dan suami, berikut para sahabat. Lantas menuliskannya
dan dibagikan di blog, Facebook, atau media lainnya.
Usia,
siapa yang bisa menduganya. Jalan hidup kita apakah akan panjang atau singkat?
Kita tidak tahu itu. Sejauh kita berupaya berbuat baik dan menghindari
menyakiti sesama dengan ucapan atau perbuatan, niscaya usia kita akan
bermanfaat.
Tahun
2018 ini kita boleh mengisinya dengan nostalgiaan pada hal lampau agar merasa
muda atau bahagia atau bersyukur dengan tetap tawadhu. Namun tahun ini kita jangan lupa mengisinya dengan hal-hal
baik yang kelak di masa mendatang membuat kita mensyukurinya kala ingin
bernostalgia.
Hidup hanya sehimpun
kenangan, kenangan adalah gerak dari perbuatan. Perbuatan mana yang akan
membuat kita tidak menyesali hal silam di masa sekarang atau mendatang? Bahkan
di Hari Pembalasan?
Saya
bersyukur sebagai generasi X yang dibesarkan dengan limpahan literatur.
Literatur semacam itu mengantarkan saya pada masa sekarang, demi memperjuangkan
hal mendatang. Cita-cita dan impian akan kehidupan yang lebih baik.
Maka,
serial Balada Si Roy yang pernah saya baca di majalah Hai berikut novelnya kala usia praremaja, membuat masa remaja saya
ditulari semangat bawah sadar untuk berani bertualang kala SMU.
Roy
memberi kenangan manis.
Sebagai
mamah-mamah generasi X saya bersyukur bacaan masa itu termasuk jenis yang akan
membuat generasi milenial akan heran. Majalah remaja macam Hai, Gadis, dan Mode saja kala itu ada nuansa sastranya,
sastra Indonesia dan dunia. Tidak heran, para pencinta literatur generasi X
cenderung menyukai hal filosofis. Dan Kang Gol A Gong adalah contohnya!
Cipeujeuh, 25 April 2018
#Nostalgia #BaladaSiRoy
#GolAGong #OdeToRoy #KisahParaPembacaBaladasiRoy #Dilan #PidiBaiq #2018 #Bandung
#GenerasiX #TiasTatanka #RumahDunia #PenerbitEpigraf #DanielMahendra
#PasukanMatahari #PenerbitIndiva
~Foto buku: koleksi pribadi
dan dari Penerbit Asrifa
Mbaaa, keren banget sih.
BalasHapusMenulis memang membuat kita abadi ya, seperti kata mba Asma Nadia, menulislah, agar kau abadi, hehehe.
Saya juga sekarang lebih banyak menulis nih mba, untungnya masih suka blog walking, jadi bisa membaca tulisan-tulisan teman-teman, jadi bisa update hal-hal baru yang emang baru terjadi atau emang baru saya kenal hehehe.
Semoga terus menulis dan menginspirasi ya mba :)
Saling blogwalking membantu kita untuk beroleh ide baru dan belajar dari sesama narablog.
HapusSaya upayakan demikian, balik kunjung jika dikunjungi, bergantung sinyal dan cuaca, juga adanya paket data, Sekarang musim hujan jadi saya tak bhisa selalu internetan di rumah.
Makasih, Mbak Rey, mari salaing belajar. Saya juga bisa belajar dari Mbak tentang hal baru dan yang lagi tren. Maklum kudet da tinggal di kampung. :)
Aamin mba. Semoga kita bisa melakukan berbagai hal yang baik dan positif untuk dikenang ya mba. aamin
BalasHapusAamiin juga, Mbak Alida. Terima kasih. :)
Hapus