Rabu, 05 Desember 2018

Mom War di Era Digital



DALAM media Mojok (online), Maya Lestari menulis pengalaman tak mengenakkan berkaitan dengan pilihan hidup yang telah dialaminya secara sadar atau terpaksa. Bagaimana ia harus berurusan dengan “serangan” opini (langsung maupun tidak langsung) dari para ibu lain tentang konsep ideal karena ia berseberangan, melenceng dari citra ideal peribuan. Serangan kiri-kanan di media dan jejaring  sosial tempat berinteraksi dengan sesama warganet lainnya membuat ia tak nyaman.

Dan sebagai sesama warganet yang tak sehaluan dengan para “penyerang”, saya berempati pada apa yang dirasakan Maya dengan beberapa alasan masuk akal. Sesungguhnya para ibu yang mencanangkan perang (mom war) entah dengan sadar atau bebal melalui unjuk gigi ragam komentar atau opini tanpa memahami substansi, bisa dikategorikan insan yang ingin selalu mengada eksistensinya dengan merisak yang tak sepihak. Memaksakan kehendak.

Poin yang ingin saya sorot adalah pernyataan Maya tentang komentar para ibu terhadap persalinan. Apakah penting membanggakan status keibuan sebagai yang melahirkan dengan cara normal? Apakah penting seorang perempuan akan dianggap ibu sejati karena merasakan sakitnya persalinan tanpa bantuan operasi?

Sebagaimana Maya yang melahirkan cara caesar sampai tiga kali, saya yang sekali juga sama merasakan nyerinya karena jarum suntik yang disuntikkan berulang, berikut disayat-sayat perih di bekas luka jahitan. Saya sampai trauma dan memilih KB pil daripada suntik sampai sekarang.

Sebagaimana Maya, saya juga diserang komentar kiri kanan dari sekitar lingkungan rumah karena persalinan. Kebanggaan yang mereka uarkan dengan menyinisi hal yang dianggap tak membanggakan dari pihak lain mencerminkan perilaku kikisnya etika dan nilai-nilai kemanusiaan.

Pada hakikatnya, komentar “mercon” dari para pencanang mom war di era digital bisa berbahaya. Opini sembarangan soal persalinan akan membentuk pencitraan semu sosok ibu. Tak mempertimbangkan situasi darurat yang berkaitan dengan nyawa ibu dan bayi (situasi yang saya dan Maya alami).

Memang ada yang memilih operasi caesar karena ingin saja, dan ingin sajanya berkaitan dengan aspek psikologis calon ibu sendiri. Namun jangan abaikan yang TERPAKSA melahirkan cara caesar karena tiada pilihan, semisal tak punya tenaga untuk bersalin atau alasan medis lain.



Kecenderungan para ibu zaman now yang tak berubah sepanjang zaman kala menyikapi sesuatu dengan cenderung menyinisi apa saja yang harus disinisinya, beroleh medium luas jangkauan berupa jejaring sosial. Dan ekspresi semacam itu justru membuat posisi ibu seakan mengalami pergeseran nilai. Bahwa mereka tak bijak memanfaatkan arus informasi demi pengembangan diri ke arah positif. Bahwa mereka mengalami semacam anomi.

Bayangkan, berubahnya cara bersyukur dengan cara membandingkan atau mengecilkan pihak lain yang diserang lewat komentar. Ibu macam demikian, maaf, tak lebih dari sotoy sompral.

Dan soal home schooling yang dipilih Maya. Bukankah setiap ibu berupaya melakukan hal yang terbaik demi anak-anaknya? Maya sebagai ibu lebih tahu persis potensi diri dan anak-anaknya. Memberdayagunakan dirinya demi tumbuh-kembang anak secara optimal sekaligus bahagia. Dan ia punya kemampuan demikian. Saya yang tak punya kemampuan secara akademis dan psikologis serta memilih menyekolahkan anak di sekolah biasa mengagumi jalan pilihannya. Lalu mengapa ia harus diserang para pencanang mom war yang ikut campur seakan mengetengahkan kebenaran atau kebaikan versi mereka dengan mengusik wilayah privasi orang lain?

Mungkin para ibu harus merenung sembari introspeksi, apakah berkomentar sembarangan tanpa mempertimbangkan perasaan orang yang dikomentari akan membuatnya berbahagia luar-dalam? Membuat dunia lebih damai dan aman? Membuat media atau jejaring sosial bukan sebagai medan perang?(*)
Cipeujeuh, 5 Februari 2018
#MomWar #BedahCaesar #Perempuan #MediaSosial #MedanPerang #MayaLestari #HomeSchooling #Mojok #Anomi #Perempuan
~Gambar hasil paint sendiri





4 komentar:

  1. Ya gitu deh mba, zaman sekarang adaaaa saja yang diperdebatkan para emak-emak.
    Dan saya biasanya memilih melipir saja ketimbang ketularan energi negatif.

    Saya juga Alhamdulillah sesar 2 kali, yang pertama dipaksa sesar yang kedua minta disesar wakakaka

    Alhamdulillahnya sih banyak yang menyayangkan mengapa sesar, ya saya jawab saja karena saya cemen dan manja, biar mereka puas hahaha

    Males banget deh ikutan mom war yang gak ada ujungnya, daripada ikutan. mending saya makan es krim aja, enak dan segar :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yah, daripada berkesan mengasihani diri dengan cerita sebenarnya yang ujung-ujungnya bikin mereka nyukurin lalu malah ghibahin sebagai insan paling beruntung dan kita yang paling malang, mending tanggapi santai kayak Mbak Rey. Biarlah dinyinyirin karena Allah lebih tahu apa yang terbaik buat kita.
      Pengen kayak Mbak Rey, berpikir positif gitu.
      Mom war mah tak ada ujungnya karena mereka akan terus bikin pangkal untuk dipermasalahkan, he he.
      Yang penting ibu dan anak selamat dan sehat sampai sekarang, ya, Mbak. Alhamdulillah.

      Hapus
  2. Saya memang belum menjadi seorang Mom/Ibu/Mama/Ine karena belum menikah apalagi melahirkan, tapi menurut saya setelah melihat persalinan kedua keponakan saya ... adalah bukan hak siapa-siapa untuk men-judge ibu yang melahirkan dengan cara operasi caesar baik terpaksa maupun karena kondisi psikisnya. Mereka yang merasakan, mereka yang mengalami, mereka yang menentukan cara mana yang terbaik, asalkan ibu dan anak selamat dan anak dirawat sehat untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Kasihan sekali kalau ada yang getol 'mom war' menyerang ibu-ibu yang melahirkan dengan cara operasi. Dan persoalan home schooling, biasa saja sebenarnya itu haha. Mas @Bukik penulis Anak Bukan Kertas Kosong dan Bakat Bukan Takdir justru anaknya itu juga home schooling dan baik-baik saja. Paradigma dan mindset yang getol 'mom war' itu kita tidak bisa juga langsung hilangkan hahahah acuh saja kali ya, Kak :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Opini yang cerdas, Mbak Tuteh. Saya jadi tahu bahwa ine adalah panggilan untuk ibu dalam bahasa Flores. Senang banget ada yang punya pemikiran demikian.
      Yang getol 'mom war' mah mungkin memilih garis hidupnya untuk jadi perisak orang lain dengan cara demikian. Pola pikir selalu merasa benar dan mau menang sendiri adalah ego berlebih yang sulit dihilangkan dalam sistem kebudayaan masyarakat mana pun. Mending tak usah terlibat kayak mereka. Abaikan karena menghadapi mereka akan melelahkan.
      Soal home schooling, makasih sudah ngasih contoh nyata dari yang Mbak kenal. Semoga yang baca tulisan ini bisa mengubah paradigmanya. Amin.

      Hapus

Terima kasih sudah singgah, silakan tinggalkan jejak komentar sebagai tanda persahabatan agar saya bisa lakukan kunjungan balik. Komentar sebaiknya relevan dengan isi tulisan. Nama komentator tidak langsung mengarah ke URL pos blog agar tidak menambah beban jumlah link pemilik blog ini. Jangan sertakan link hidup dan mati, apalagi iklan karena termasuk spam.Terima kasih banyak. Salam. @rohyatisofjan

Disabilitas Mengelola Komunitas

Arti disabilitas adalah keterbatasan aktivitas dan partisipasi akibat  ketidakmampuan mental atau fisik. Hal itu bisa menjadi stigma dalam m...