DALAM media Mojok (online), Maya Lestari menulis pengalaman
tak mengenakkan berkaitan dengan pilihan hidup yang telah dialaminya secara
sadar atau terpaksa. Bagaimana ia harus berurusan dengan “serangan” opini
(langsung maupun tidak langsung) dari para ibu lain tentang konsep ideal karena
ia berseberangan, melenceng dari citra ideal peribuan. Serangan kiri-kanan di media
dan jejaring sosial tempat berinteraksi
dengan sesama warganet lainnya membuat ia tak nyaman.
Dan
sebagai sesama warganet yang tak sehaluan dengan para “penyerang”, saya
berempati pada apa yang dirasakan Maya dengan beberapa alasan masuk akal.
Sesungguhnya para ibu yang mencanangkan perang (mom war) entah dengan sadar atau bebal melalui unjuk gigi ragam
komentar atau opini tanpa memahami substansi, bisa dikategorikan insan yang
ingin selalu mengada eksistensinya dengan merisak yang tak sepihak. Memaksakan
kehendak.
Poin
yang ingin saya sorot adalah pernyataan Maya tentang komentar para ibu terhadap
persalinan. Apakah penting membanggakan status keibuan sebagai yang melahirkan
dengan cara normal? Apakah penting seorang perempuan akan dianggap ibu sejati
karena merasakan sakitnya persalinan tanpa bantuan operasi?
Sebagaimana
Maya yang melahirkan cara caesar
sampai tiga kali, saya yang sekali juga sama merasakan nyerinya karena jarum
suntik yang disuntikkan berulang, berikut disayat-sayat perih di bekas luka
jahitan. Saya sampai trauma dan memilih KB pil daripada suntik sampai sekarang.
Sebagaimana
Maya, saya juga diserang komentar kiri kanan dari sekitar lingkungan rumah
karena persalinan. Kebanggaan yang mereka uarkan dengan menyinisi hal yang
dianggap tak membanggakan dari pihak lain mencerminkan perilaku kikisnya etika
dan nilai-nilai kemanusiaan.
Pada
hakikatnya, komentar “mercon” dari para pencanang mom war di era digital
bisa berbahaya. Opini sembarangan soal persalinan akan membentuk pencitraan
semu sosok ibu. Tak mempertimbangkan situasi darurat yang berkaitan dengan
nyawa ibu dan bayi (situasi yang saya dan Maya alami).
Memang
ada yang memilih operasi caesar
karena ingin saja, dan ingin sajanya berkaitan dengan aspek psikologis calon
ibu sendiri. Namun jangan abaikan yang TERPAKSA melahirkan cara caesar karena tiada pilihan, semisal tak
punya tenaga untuk bersalin atau alasan medis lain.
Kecenderungan
para ibu zaman now yang tak berubah
sepanjang zaman kala menyikapi sesuatu dengan cenderung menyinisi apa saja yang
harus disinisinya, beroleh medium luas jangkauan berupa jejaring sosial. Dan
ekspresi semacam itu justru membuat posisi ibu seakan mengalami pergeseran
nilai. Bahwa mereka tak bijak memanfaatkan arus informasi demi pengembangan
diri ke arah positif. Bahwa mereka mengalami semacam anomi.
Bayangkan,
berubahnya cara bersyukur dengan cara membandingkan atau mengecilkan pihak lain
yang diserang lewat komentar. Ibu macam demikian, maaf, tak lebih dari sotoy sompral.
Dan
soal home schooling yang dipilih
Maya. Bukankah setiap ibu berupaya melakukan hal yang terbaik demi
anak-anaknya? Maya sebagai ibu lebih tahu persis potensi diri dan anak-anaknya.
Memberdayagunakan dirinya demi tumbuh-kembang anak secara optimal sekaligus
bahagia. Dan ia punya kemampuan demikian. Saya yang tak punya kemampuan secara
akademis dan psikologis serta memilih menyekolahkan anak di sekolah biasa
mengagumi jalan pilihannya. Lalu mengapa ia harus diserang para pencanang mom war yang ikut campur seakan
mengetengahkan kebenaran atau kebaikan versi mereka dengan mengusik wilayah
privasi orang lain?
Mungkin
para ibu harus merenung sembari introspeksi, apakah berkomentar sembarangan
tanpa mempertimbangkan perasaan orang yang dikomentari akan membuatnya
berbahagia luar-dalam? Membuat dunia lebih damai dan aman? Membuat media atau jejaring
sosial bukan sebagai medan perang?(*)
Cipeujeuh, 5 Februari 2018
#MomWar #BedahCaesar #Perempuan
#MediaSosial #MedanPerang #MayaLestari #HomeSchooling #Mojok #Anomi #Perempuan
~Gambar hasil paint sendiri
Ya gitu deh mba, zaman sekarang adaaaa saja yang diperdebatkan para emak-emak.
BalasHapusDan saya biasanya memilih melipir saja ketimbang ketularan energi negatif.
Saya juga Alhamdulillah sesar 2 kali, yang pertama dipaksa sesar yang kedua minta disesar wakakaka
Alhamdulillahnya sih banyak yang menyayangkan mengapa sesar, ya saya jawab saja karena saya cemen dan manja, biar mereka puas hahaha
Males banget deh ikutan mom war yang gak ada ujungnya, daripada ikutan. mending saya makan es krim aja, enak dan segar :D
Yah, daripada berkesan mengasihani diri dengan cerita sebenarnya yang ujung-ujungnya bikin mereka nyukurin lalu malah ghibahin sebagai insan paling beruntung dan kita yang paling malang, mending tanggapi santai kayak Mbak Rey. Biarlah dinyinyirin karena Allah lebih tahu apa yang terbaik buat kita.
HapusPengen kayak Mbak Rey, berpikir positif gitu.
Mom war mah tak ada ujungnya karena mereka akan terus bikin pangkal untuk dipermasalahkan, he he.
Yang penting ibu dan anak selamat dan sehat sampai sekarang, ya, Mbak. Alhamdulillah.
Saya memang belum menjadi seorang Mom/Ibu/Mama/Ine karena belum menikah apalagi melahirkan, tapi menurut saya setelah melihat persalinan kedua keponakan saya ... adalah bukan hak siapa-siapa untuk men-judge ibu yang melahirkan dengan cara operasi caesar baik terpaksa maupun karena kondisi psikisnya. Mereka yang merasakan, mereka yang mengalami, mereka yang menentukan cara mana yang terbaik, asalkan ibu dan anak selamat dan anak dirawat sehat untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Kasihan sekali kalau ada yang getol 'mom war' menyerang ibu-ibu yang melahirkan dengan cara operasi. Dan persoalan home schooling, biasa saja sebenarnya itu haha. Mas @Bukik penulis Anak Bukan Kertas Kosong dan Bakat Bukan Takdir justru anaknya itu juga home schooling dan baik-baik saja. Paradigma dan mindset yang getol 'mom war' itu kita tidak bisa juga langsung hilangkan hahahah acuh saja kali ya, Kak :D
BalasHapusOpini yang cerdas, Mbak Tuteh. Saya jadi tahu bahwa ine adalah panggilan untuk ibu dalam bahasa Flores. Senang banget ada yang punya pemikiran demikian.
HapusYang getol 'mom war' mah mungkin memilih garis hidupnya untuk jadi perisak orang lain dengan cara demikian. Pola pikir selalu merasa benar dan mau menang sendiri adalah ego berlebih yang sulit dihilangkan dalam sistem kebudayaan masyarakat mana pun. Mending tak usah terlibat kayak mereka. Abaikan karena menghadapi mereka akan melelahkan.
Soal home schooling, makasih sudah ngasih contoh nyata dari yang Mbak kenal. Semoga yang baca tulisan ini bisa mengubah paradigmanya. Amin.