Kang Cecep Syamsul Hari, Yth.
Bukankah hujan itu
indah, ia sumber inspirasi untuk kita ziarahi? Karena itulah “Surat dalam Hujan” ditulis
ketika saya merasa sangat passion oleh stimung dengan
hujan sebagai latar belakang yang memengaruhi aspek kejiwaan. Barangkali saat itu
Chopin sedang memainkan partiturnya yang diinterupsi Mozart. Lalu Bach ikut
ambil bagian. Lantas Beethoven dan Schubert pun ngotot ikutan. Kemudian mereka
kompak memainkan harmonisasi dari berbagai komposisi. Ya, itulah “Surat dalam Hujan” dalam
pandangan saya.
Saya tidak tahu apakah
saat Anda atau siapa saja membacanya; merasakan stimung macam itu? Yang saya
rasakan kala membaca ulang, adalah semacam ruh ketika saya berada di Limbangan.
Sudah lama saya tidak pulang, sengaja demikian karena enggan. Namun “Surat dalam Hujan” senantiasa menghadirkan the
past is the present wherever I were.
Apakah hal macam itu
Anda rasakan juga saat membaca ulang sajak “Hujan Bulan November” di antologi puisi Kenang-kenangan (yang
kini lagi “piknik” pada Andi rekan kerja saya yang penggemar puisi meski tak
merasa dirinya penyair sebagai pembaca biasa)? Wallahu’alam.
Saya
penyimak tulisan Anda, terutama di majalah Horison. Ulasan Anda
tentang puisi dan cerpen sangat membantu sebagai bahan pembelajaran bagi saya
yang sangat awam dalam dunia kepenulisan dan ingin terus belajar. Selain
itu, insya Allah, saya akan berusaha memenuhi harapan untuk terus
menulis selama Tuhan masih memberi napas dan kekuatan yang tak saya
sia-siakan demi mencapai esensi kehidupan akan rahasia Sang Maha Besar yang
sangat menakjubkan dan senantiasa menggetarkan. (Ah, maafkan bahasanya.)
Kadang
saya berpikir apakah tulisan yang saya kirim ke Horison pun
telah menginspirasi pengurusnya akan kinerja sampai estetika karya mereka?
Seperti soal tenggat waktu yang 6 bulan. Itu ‘kan dulu waktu pertama kali saya
mengirim tulisan ke Horison di sudut kiri amplopnya diberi
topik sampai tenggat waktu, sesuai kebiasaan saya dalam setiap pengiriman agar
memudahkan penyeleksian (terinspirasi dari ucapan Pak Tendy K. Somantri via telepon
agar memberi batas waktu – yang saya kembangkan sendiri sesuai persepsi).
By
the way, sebelumnya keberatankah Anda jika saya berniat menulis banyak
tentang dunia kepenulisan dalam imel ini? Mudah-mudahan tak terlalu
menyibukkan.
Lantas
dalam salah satu esai Anda tentang puisi ketika mengulas sajak “Cermin” di bulan Januari 2003
ini, di sana Anda menulis tentang jalan sunyi menjadi penyair. Saya sempat
tersenyum membacanya, dan memberi stabilo pada bagian itu agar saya
(juga Andi yang sering saya pinjami aneka bacaan) mencamkannya. Jalan sunyi?
Terima kasih, saya merasa seolah tulisan Anda menguatkan sekaligus mengingatkan
akan hakikat kehidupan penyair yang penuh tikungan.
Sejak
mula saya sudah paham dunia itu. Apakah kesunyian yang saya reguk adalah
semacam kekuatan akan cara pandang yang berbeda dalam menyikapi kesunyian dunia
penyair yang berpendengaran normal? Saya tidak tahu. Tetapi semoga Anda benar
bahwa suratan saya bisa saja semacam anugerah. Sebab jika tak seperti ini, bisa
jadi jalan saya bukan di dunia menulis. Bisa jadi kehidupan saya malah tak
tentu arah dalam kesempurnaan ragawi. Dan itu yang saya takutkan.
Kadang saya merasa
seperti dalam suasana yang sangat déjà vu jika mengingat
saat di mana tiba-tiba “berbeda”. Seolah takdir telah mengharuskannya. Dan
takdir pula mengharuskan saya menjalani ritus penyembuhan yang berakhir tanpa
hasil. Sebenarnya ritus itu semacam pengalaman saja, jika saya telah berhasil melewatinya
dan bisa menerimanya tanpa sesal. Baiklah jika demikian. Saya harus berusaha
keras untuk lebih menerima diri sendiri dulu, sebab itulah semacam spirit agar
orang lain pun bisa menerima saya apa adanya.
Takdir
itu aneh. Tidakkah Anda kadang merasa heran mengapa mendapati takdir sebagai
penyair? Tetapi seorang penyair dalam sebuah keluarga menurut saya tidak
berlebihan apalagi keterlaluan. Jika Anda bukan penyair, saya tak akan pernah
mengenal Anda berikut karya-karyanya.
Jika saya tak ditakdirkan
memasuki dunia kepenulisan, Anda barangkali tak pernah punya bayangan akan
sunyi yang lain dari sunyi yang selama ini Anda kenal.
Sebenarnya
jalan hidup saya pun tak mulus apalagi lurus – seperti para akhwat yang sangat
agamais dan berasal dari keluarga yang terlindungi. Barangkali demikianlah
jalan hidup penyair yang sebenarnya; mereguk kepahitan agar memahami esensi
kehidupan. Dan sesekali menyerempet keluar jalur agar tahu apa itu
kebenaran, toh pada akhirnya kita pun ingin kembali pada rel yang
semestinya jika merasa sebagai manusia sejati.
Demikianlah Kang Cecep
Syamsul Hari, saya yakin Anda pasti tak terima jika harus meninggalkan dunia
sastra yang Anda cintai demi ditukar dengan dunia lain yang lebih “kemilau”.
Sebab bukankah kita menemui takdir dengan jalan “bergerak”. Dunia sastra
terlalu kaya jika diukur dari segi materi. Maka saya tak keberatan lebih
banyak output untuk itu, sebab nilai kehidupan rasanya teramat
mahal jika kita berpengetahuan. Ya, life is beautiful and useful,
demikanlah yang Pak Tendy camkan (bagi saya ia sokoguru karena bukan generasi
Saini KM seperti Anda).
Lewat
dunia menulis dan membaca sastra, saya mengenal banyak kisah dan beragam
budaya, karakter dan keunikannya, kawan dan rival, cinta dan luka, dan hal-hal
lainnya yang memberi nuansa sepanjang usia. Sebab pada mulanya saya selalu
merasa sendiri dan tak tahu apa-apa, namun lewat dunia menulislah tiba-tiba
cakrawala saya terbuka lebar. Bumi Allah teramat luas, bukan?
Kang
Cecep/Syamsul/Hari (baiknya saya panggil apa?), saya senang bisa berinteraksi
dengan Anda, sebagaimana saya berinteraksi dengan orang-orang yang sedunia.
Terima kasih telah memberi suport dengan cerita Anda tentang Mozart. Sebab
sebelumnya tidak pernah ada yang demikian.
Tidak Indra kawan
saya. Tidak juga almarhum ayah saya. Ia pasti merasa sebagai ayah yang gagal
karena kalah daripada orang lain yang berhasil memberi keyakinan pada putrinya.
Meskipun demikian, sepanjang hayat saya akan berusaha agar menjadi anak yang
berhasil bukan pecundang yang pernah ia sangkakan. Ah, sajak Kahlil
Gibran tentang anak senantiasa terngiang.
Anda
bukan pengagum Gibran? Saya bukan pembaca Gibran jadi tak bisa menilai dengan
jujur untuk menyukainya atau tidak sama sekali. Tetapi jika Gibran tak pernah
ada, sajak itu tak akan tercipta, dan saya barangkali tak mengenal makna
pemberontakan selain jatuh cinta pada dunia kata-kata berupa sastra; seba
kehidupan di luar pasti lebih ingar-bingar dan hampa makna jika tak mengenal
kontemplasi. Dan sebagai ayah, Anda pasti tak akan memahami jiwa anak jika
sajak itu tak Anda baca pula.
Mengapa
Tuhan begitu pintar sebab semuanya selalu berkelindan, dari manakah
asal-Nya? Ah, cerpen “Ayat-ayat
Gelap”, Hudan Hidayat (Horison, Februari 2003) pun seolah
mewakili kegelisahan saya akan sekian pertanyaan yang terpendam. Itu cerpen
yang bagus sebagai awal. Mudah-mudahan novelnya bisa berhasil nanti, sebab saya
penasaran juga dengan pengembaraan spiritualnya.
Pengembaraan
spiritual Anda sendiri bagaimana?
Terakhir,
saya minta maaf karena belum meminta izin pada Anda sebab telah mengutip
sajak “Efrosina” dan “Meja Kayu” dalam
tulisan saya. Jadi, bersediakah Anda mengizinkan soal pengutipan itu?
Mestinya saya
menghubungi Anda dari dulu, namun tak tahu caranya dan bagaimana
pengungkapannya. Maka dalam imel ini semoga mewakili keinginan lama, sebab saya
tak ingin bernasib seperti Dewa yang digugat Yudhistira ANM
Massardhie. Lagi pula, secara moral saya mesti mempertanggungjawabkan masalah
pengutipan, sebagaimana yang majalah Annida tekankan juga.
Demikianlah Kang Cecep Syamsul Hari. Selamat malam dan
terima kasih banyak atas waktu dan imel Anda, juga maaf saya membutuhkan waktu
yang cukup lama untuk menjawabnya berhubung butuh konsep -- meski tiap bulan rajin
ke warnet.
Semoga
kita terus berkarya. Amin 3X
Bandung, 11 Maret 2003
#Surat #Surel
#CecepSyamsulHari #Sastra
~Foto hasil jepretan
kamera ponsel ANDROMAX PRIME
Gambar adorable karya Ai Ghina S.M.
Tulisan ini penuh dengan Bahasa yg Indah.
BalasHapustpi kok kepala saya puyeng yach mbak...hehehehe...
apa karena saya kebanyakan makan kangkung ataukah otak saya yg blm saatnya me gerti.....
Stimung itu apaan sich Mbak ? kakaknya Stimuno yach... :)
emailnya mana Mbak ? pasang saja di barisan me u... biar gampang di cari..heheheh. :)
hadeeehhh kang Nata ini kepikiran Stimuno muluuu hahahaha
HapusYah, Kang Nata mah lagi ikut lomba blog Stimuno jadi wajarlah terobsesi pada Stimuno melulu, Mbak Rey. Padahal Stimuno ama stimung itu beda jauh, ha ha ha.
HapusYah, mohon maaf kalau bahasa yang indah ini malah bikin puyeng dan tidak bisa dinikmati. Otak Kang Nata tak salah. Sayanya yang sok puitis saja pakai bahasa rumit, ha ha.
Semoga menang lomba Stimunonya, ya, Kang. Sukses.
Waaooo 2003? saya masih cupu banget masalah internet mbaa, jangankan internet, komputer aja saya masih cupu hahaha
BalasHapusGegara itu saya hanya bisa sesekali nonkrong di warnet, selain belajar internet juga belajar komputer, dan saya ingat betul ada 2-3 pcs komputer yang dulu rusak, entah saya klik apa.
Itu belum terhitung dengan aplikasi2 yang terhapus tanpa sengaja hahaha
Mba malah udah keren ya main imel2an :D
Dulu saya belajar bikin imel oleh temen saya, dan Alhamdulillah bahagia banget saya bisa aktifin email pertama saya itu yang alamatnya alaynyaaaa naudzubillah hahaha
Terus selain imel, saya sering chat di MIRC
Meskipun kudu kejar2an dengan waktu ngenet, dulu tuh sejam lumayan mahal :)
Duh, itu karena saya generasi kelahiran '70-an jadi tahu atau melakukan sesuatu lebih awal, kasarnya lebih tuaan, ha ha.
HapusPada tahun 2000 itu untuk ngenet mahal per jamnya saya lupa berapa, mungkin sekira 5 ribuan, lumayan mahal karena dipatok tak semurah sekarang per jamnya. Sekarang paket 2 jam cuma 5 ribu rupiah, dulu mah 8 ribu rupiah atau malah lebih jika tak paket.
Ya ampun, Mbak Rey. Komputer siapa yang dirusak dan bagaimana cara hapusnya. Saya saja di warnet atau rental tak berani main oprek sembarangan. Cuma pernah ditegur pemilik rewntal agar hati-hati dengan disketnya yang tipis panjang berbentuk kotak, karena kalau disambungkan dengan komputer di warnet maka akan menularkan virus dan bikin ribet pemilik warnet. Duh.
Dulu mah banyak virus ngaco dan saya malah awam banget.
Wah ternyata tulisan lama ya. Tapi berasa seperti curahan hati yang terdalam.
BalasHapusWow, majalah Horison ini bacaan kesukaan saya dulu. Bahasa cerpen di sana memang bagus tapi buat saya terasa nyastra banget. Tahun 2003 saya masih belum kenal sama surel..internet juga masih mahal.
BalasHapusDulu juga pernah bikin pemilik warnet jadi ribet karena disket yg kubawa ternyata mengandung virus.
Dunia musik dan sastra itu kerap bersinggungan ya, Teh? Suratnya Teteh buat Kang Cecep ini mengingatkan saya pada tulisan salah satu atasan saya di kantor saya dulu. Ia menguasai musik klasik, kerap bermain gitar klasik sembari menunggu tulisan anak buahnya untuk diedit. Namanya Pak Idrus Shahab. Kalau beliau sudah menulis tentang musik klasik dan filosofi, duuuh. Hanyuuutttt....
BalasHapus