Senin, 07 Januari 2019

Surel Lama untuk Cecep Syamsul Hari



 Kang Cecep Syamsul Hari, Yth.
 Bukankah hujan itu indah, ia sumber inspirasi untuk kita ziarahi? Karena itulah “Surat dalam Hujan”  ditulis ketika saya merasa sangat  passion oleh stimung dengan hujan sebagai latar belakang yang memengaruhi aspek kejiwaan. Barangkali saat itu Chopin sedang memainkan partiturnya yang diinterupsi Mozart. Lalu Bach ikut ambil bagian. Lantas Beethoven dan Schubert pun ngotot ikutan. Kemudian mereka kompak memainkan harmonisasi dari berbagai komposisi. Ya, itulah “Surat dalam Hujan” dalam pandangan saya.

Saya tidak tahu apakah saat Anda atau siapa saja membacanya; merasakan stimung macam itu? Yang saya rasakan kala membaca ulang, adalah semacam ruh ketika saya berada di Limbangan. Sudah lama saya tidak pulang, sengaja demikian karena enggan. Namun “Surat dalam Hujan” senantiasa menghadirkan the past is the present wherever I were.
Apakah hal macam itu Anda rasakan juga saat membaca ulang sajak “Hujan Bulan November” di antologi puisi Kenang-kenangan (yang kini lagi “piknik” pada Andi rekan kerja saya yang penggemar puisi meski tak merasa dirinya penyair sebagai pembaca biasa)? Wallahu’alam.
          Saya penyimak tulisan Anda, terutama di majalah Horison. Ulasan Anda tentang puisi dan cerpen sangat membantu sebagai bahan pembelajaran bagi saya yang sangat awam dalam dunia kepenulisan dan ingin terus belajar. Selain itu, insya Allah, saya akan berusaha memenuhi harapan untuk terus menulis selama  Tuhan masih memberi napas dan kekuatan yang tak saya sia-siakan demi mencapai esensi kehidupan akan rahasia Sang Maha Besar yang sangat menakjubkan dan senantiasa menggetarkan. (Ah, maafkan bahasanya.)
          Kadang saya berpikir apakah tulisan yang saya kirim ke Horison pun telah menginspirasi pengurusnya akan kinerja sampai estetika karya mereka? Seperti soal tenggat waktu yang 6 bulan. Itu ‘kan dulu waktu pertama kali saya mengirim tulisan ke Horison di sudut kiri amplopnya diberi topik sampai tenggat waktu, sesuai kebiasaan saya dalam setiap pengiriman agar memudahkan penyeleksian (terinspirasi dari ucapan Pak Tendy K. Somantri via telepon agar memberi batas waktu – yang saya kembangkan sendiri sesuai persepsi).
          By the way, sebelumnya keberatankah Anda jika saya berniat menulis banyak tentang dunia kepenulisan dalam imel ini? Mudah-mudahan tak terlalu menyibukkan.
          Lantas dalam salah satu esai Anda tentang puisi ketika mengulas sajak “Cermin” di bulan Januari 2003 ini, di sana Anda menulis tentang jalan sunyi menjadi penyair. Saya sempat tersenyum membacanya, dan memberi stabilo pada bagian itu agar saya (juga Andi yang sering saya pinjami aneka bacaan) mencamkannya. Jalan sunyi? Terima kasih, saya merasa seolah tulisan Anda menguatkan sekaligus mengingatkan akan hakikat kehidupan penyair yang penuh tikungan.
          Sejak mula saya sudah paham dunia itu. Apakah kesunyian yang saya reguk adalah semacam kekuatan akan cara pandang yang berbeda dalam menyikapi kesunyian dunia penyair yang berpendengaran normal? Saya tidak tahu. Tetapi semoga Anda benar bahwa suratan saya bisa saja semacam anugerah. Sebab jika tak seperti ini, bisa jadi jalan saya bukan di dunia menulis. Bisa jadi kehidupan saya malah tak tentu arah dalam kesempurnaan ragawi. Dan itu yang saya takutkan.
Kadang saya merasa seperti dalam suasana yang sangat  déjà vu  jika mengingat saat di mana tiba-tiba “berbeda”. Seolah takdir telah mengharuskannya. Dan takdir pula mengharuskan saya menjalani ritus penyembuhan yang berakhir tanpa hasil. Sebenarnya ritus itu semacam pengalaman saja, jika saya telah berhasil melewatinya dan bisa menerimanya tanpa sesal. Baiklah jika demikian. Saya harus berusaha keras untuk lebih menerima diri sendiri dulu, sebab itulah semacam spirit agar orang lain pun bisa menerima saya apa adanya.
          Takdir itu aneh. Tidakkah Anda kadang merasa heran mengapa mendapati takdir sebagai penyair? Tetapi seorang penyair dalam sebuah keluarga menurut saya tidak berlebihan apalagi keterlaluan. Jika Anda bukan penyair, saya tak akan pernah mengenal Anda berikut karya-karyanya.
Jika saya tak ditakdirkan memasuki dunia kepenulisan, Anda barangkali tak pernah punya bayangan akan sunyi yang lain dari sunyi yang selama ini Anda kenal.
          Sebenarnya jalan hidup saya pun tak mulus apalagi lurus – seperti para akhwat yang sangat agamais dan berasal dari keluarga yang terlindungi. Barangkali demikianlah jalan hidup penyair yang sebenarnya; mereguk kepahitan agar memahami esensi kehidupan. Dan sesekali menyerempet keluar jalur agar tahu apa itu kebenaran, toh pada akhirnya kita pun ingin kembali pada rel yang semestinya jika merasa sebagai manusia sejati. 



Demikianlah Kang Cecep Syamsul Hari, saya yakin Anda pasti tak terima jika harus meninggalkan dunia sastra yang Anda cintai demi ditukar dengan dunia lain yang lebih “kemilau”. Sebab bukankah kita menemui takdir dengan jalan “bergerak”. Dunia sastra terlalu kaya jika diukur dari segi materi. Maka saya tak keberatan lebih banyak output untuk itu, sebab nilai kehidupan rasanya teramat mahal jika kita berpengetahuan. Ya, life is beautiful and useful, demikanlah yang Pak Tendy camkan (bagi saya ia sokoguru karena bukan generasi Saini KM seperti Anda).
          Lewat dunia menulis dan membaca sastra, saya mengenal banyak kisah dan beragam budaya, karakter dan keunikannya, kawan dan rival, cinta dan luka, dan hal-hal lainnya yang memberi nuansa sepanjang usia. Sebab pada mulanya saya selalu merasa sendiri dan tak tahu apa-apa, namun lewat dunia menulislah tiba-tiba cakrawala saya terbuka lebar. Bumi Allah teramat luas, bukan?
          Kang Cecep/Syamsul/Hari (baiknya saya panggil apa?), saya senang bisa berinteraksi dengan Anda, sebagaimana saya berinteraksi dengan orang-orang yang sedunia. Terima kasih telah memberi suport dengan cerita Anda tentang Mozart. Sebab sebelumnya tidak pernah ada yang demikian.
Tidak Indra kawan saya. Tidak juga almarhum ayah saya. Ia pasti merasa sebagai ayah yang gagal karena kalah daripada orang lain yang berhasil memberi keyakinan pada putrinya. Meskipun demikian, sepanjang hayat saya akan berusaha agar menjadi anak yang berhasil bukan pecundang yang pernah ia sangkakan. Ah, sajak Kahlil Gibran tentang anak senantiasa terngiang.
          Anda bukan pengagum Gibran? Saya bukan pembaca Gibran jadi tak bisa menilai dengan jujur untuk menyukainya atau tidak sama sekali. Tetapi jika Gibran tak pernah ada, sajak itu tak akan tercipta, dan saya barangkali tak mengenal makna pemberontakan selain jatuh cinta pada dunia kata-kata berupa sastra; seba kehidupan di luar pasti lebih ingar-bingar dan hampa makna jika tak mengenal kontemplasi. Dan sebagai ayah, Anda pasti tak akan memahami jiwa anak jika sajak itu tak Anda baca pula.
          Mengapa Tuhan begitu pintar sebab semuanya selalu berkelindan, dari manakah asal-Nya? Ah, cerpen “Ayat-ayat Gelap”, Hudan Hidayat (Horison, Februari 2003) pun seolah mewakili kegelisahan saya akan sekian pertanyaan yang terpendam. Itu cerpen yang bagus sebagai awal. Mudah-mudahan novelnya bisa berhasil nanti, sebab saya penasaran juga dengan pengembaraan spiritualnya.
          Pengembaraan spiritual Anda sendiri bagaimana?

          Terakhir, saya minta maaf karena belum meminta izin pada Anda sebab telah mengutip sajak “Efrosina” dan “Meja Kayu” dalam tulisan saya. Jadi, bersediakah Anda mengizinkan soal pengutipan itu?
Mestinya saya menghubungi Anda dari dulu, namun tak tahu caranya dan bagaimana pengungkapannya. Maka dalam imel ini semoga mewakili keinginan lama, sebab saya tak ingin bernasib seperti Dewa yang digugat Yudhistira ANM Massardhie. Lagi pula, secara moral saya mesti mempertanggungjawabkan masalah pengutipan, sebagaimana yang majalah Annida tekankan juga.                  
Demikianlah Kang Cecep Syamsul Hari. Selamat malam dan terima kasih banyak atas waktu dan imel Anda, juga maaf saya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menjawabnya berhubung butuh konsep -- meski tiap bulan rajin ke warnet.
          Semoga kita terus berkarya. Amin 3X
Bandung, 11 Maret 2003
#Surat #Surel #CecepSyamsulHari #Sastra
~Foto hasil jepretan kamera ponsel ANDROMAX PRIME
Gambar adorable karya Ai Ghina S.M.

8 komentar:

  1. Tulisan ini penuh dengan Bahasa yg Indah.

    tpi kok kepala saya puyeng yach mbak...hehehehe...

    apa karena saya kebanyakan makan kangkung ataukah otak saya yg blm saatnya me gerti.....

    Stimung itu apaan sich Mbak ? kakaknya Stimuno yach... :)

    emailnya mana Mbak ? pasang saja di barisan me u... biar gampang di cari..heheheh. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hadeeehhh kang Nata ini kepikiran Stimuno muluuu hahahaha

      Hapus
    2. Yah, Kang Nata mah lagi ikut lomba blog Stimuno jadi wajarlah terobsesi pada Stimuno melulu, Mbak Rey. Padahal Stimuno ama stimung itu beda jauh, ha ha ha.
      Yah, mohon maaf kalau bahasa yang indah ini malah bikin puyeng dan tidak bisa dinikmati. Otak Kang Nata tak salah. Sayanya yang sok puitis saja pakai bahasa rumit, ha ha.
      Semoga menang lomba Stimunonya, ya, Kang. Sukses.

      Hapus
  2. Waaooo 2003? saya masih cupu banget masalah internet mbaa, jangankan internet, komputer aja saya masih cupu hahaha
    Gegara itu saya hanya bisa sesekali nonkrong di warnet, selain belajar internet juga belajar komputer, dan saya ingat betul ada 2-3 pcs komputer yang dulu rusak, entah saya klik apa.
    Itu belum terhitung dengan aplikasi2 yang terhapus tanpa sengaja hahaha

    Mba malah udah keren ya main imel2an :D

    Dulu saya belajar bikin imel oleh temen saya, dan Alhamdulillah bahagia banget saya bisa aktifin email pertama saya itu yang alamatnya alaynyaaaa naudzubillah hahaha
    Terus selain imel, saya sering chat di MIRC

    Meskipun kudu kejar2an dengan waktu ngenet, dulu tuh sejam lumayan mahal :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duh, itu karena saya generasi kelahiran '70-an jadi tahu atau melakukan sesuatu lebih awal, kasarnya lebih tuaan, ha ha.
      Pada tahun 2000 itu untuk ngenet mahal per jamnya saya lupa berapa, mungkin sekira 5 ribuan, lumayan mahal karena dipatok tak semurah sekarang per jamnya. Sekarang paket 2 jam cuma 5 ribu rupiah, dulu mah 8 ribu rupiah atau malah lebih jika tak paket.
      Ya ampun, Mbak Rey. Komputer siapa yang dirusak dan bagaimana cara hapusnya. Saya saja di warnet atau rental tak berani main oprek sembarangan. Cuma pernah ditegur pemilik rewntal agar hati-hati dengan disketnya yang tipis panjang berbentuk kotak, karena kalau disambungkan dengan komputer di warnet maka akan menularkan virus dan bikin ribet pemilik warnet. Duh.
      Dulu mah banyak virus ngaco dan saya malah awam banget.

      Hapus
  3. Wah ternyata tulisan lama ya. Tapi berasa seperti curahan hati yang terdalam.

    BalasHapus
  4. Wow, majalah Horison ini bacaan kesukaan saya dulu. Bahasa cerpen di sana memang bagus tapi buat saya terasa nyastra banget. Tahun 2003 saya masih belum kenal sama surel..internet juga masih mahal.
    Dulu juga pernah bikin pemilik warnet jadi ribet karena disket yg kubawa ternyata mengandung virus.

    BalasHapus
  5. Dunia musik dan sastra itu kerap bersinggungan ya, Teh? Suratnya Teteh buat Kang Cecep ini mengingatkan saya pada tulisan salah satu atasan saya di kantor saya dulu. Ia menguasai musik klasik, kerap bermain gitar klasik sembari menunggu tulisan anak buahnya untuk diedit. Namanya Pak Idrus Shahab. Kalau beliau sudah menulis tentang musik klasik dan filosofi, duuuh. Hanyuuutttt....

    BalasHapus

Terima kasih sudah singgah, silakan tinggalkan jejak komentar sebagai tanda persahabatan agar saya bisa lakukan kunjungan balik. Komentar sebaiknya relevan dengan isi tulisan. Nama komentator tidak langsung mengarah ke URL pos blog agar tidak menambah beban jumlah link pemilik blog ini. Jangan sertakan link hidup dan mati, apalagi iklan karena termasuk spam.Terima kasih banyak. Salam. @rohyatisofjan

Disabilitas Mengelola Komunitas

Arti disabilitas adalah keterbatasan aktivitas dan partisipasi akibat  ketidakmampuan mental atau fisik. Hal itu bisa menjadi stigma dalam m...