MENDADAK gegara dan tetiba menggugah kesadaran saya akan fenomena berbahasa zaman
sekarang. Kata itu menjadi diksi populer di sebagian kalangan yang senang
berimprovisasi dengan menggunakan kaidah suka-suka kala berbahasa lisan atau
tulisan dengan sesamanya.
Adalah
Pak Uksu Suhardi yang membuka forum diskusi dalam lapak status terbaru yang
tayang pula di beranda Facebook saya.
“Sebagian orang berbahasa dengan latah. Hasilnya adalah deretan kata seperti
ini: gegara dikorankan tetiba dipolisikan….”
Kalimat
itu terasa lucu dan janggal, namun lucunya pula dianggap hal lumrah bagi
sebagian penggunanya yang menganut asas gegara
dan tetiba. Mereka paham arti meski
secara kaidah diksi tersebut terasa membingungkan pihak lain yang tak menganut
asas manasuka.
Gegara
bermakna gara-gara (kata ulang semu). Dan sebagai kata ulang semu yang
diubahsuai jadi dwipurwa/kata ulang sebagian, itu terasa membingungkan.
Entah
siapa pelopornya dan sejak kapan hal tersebut bermula. Yang jelas, gegara dan tetiba mendadak populer sebagai kata pilihan yang sedang hits di era milenial. Lalu KBBI 5 pun
memasukkannya sebagai kata turunan untuk bahasa cakapan.
Jika
Pak Uksu menyebutnya sebagai semacam latah, itu berkaitan dengan penyebaran
diksi demikian dalam populasi insan yang beranggapan bahwa latah itu sah-sah
saja karena seakan menjadi bagian kaum gaul masa kini di era milenial, siapa
pun mereka dan berapa pun usianya, bagaimanapun strata pendidikan dan status
sosialnya.
Harap
perhatian agar tak ikut terpeleset menggunakan kata ulang dwilingga yang
dipaksakan jadi dwipurwa serampangan, semisal sah-sah saja jadi sesah saja.
Itu akan membawa salah paham karena dalam bahasa Sunda sesah bermakna susah.
Ada
banyak alasan yang akan disemburkan para pemakai bahasa gaul masa kini, salah
satunya praktis dan suka-sukalah. Sesukanya yang saya harap akhiran -nya tidak
dihilangkan jadi sesuka karena ketiadaan objek akan membingungkan. Jadi sesuka
siapa?
Sama
seperti gegara dan tetiba, apakah kata ulang tersebut
meniru lelaki dari laki-laki? Menghilangkan dua suku kata dari kata ulang
pertama dan mengganti huruf a jadi e seperti contoh kasus di atas sepertinya
seakan jadi hiper. Bukan hiperbola atau hiperbolik yang berkaitan dengan gaya
bahasa berlebihan, ataupun hiperkorek yang berkaitan dengan keterangan berlebihan,
melainkan gaya hidup yang dilebihkan dalam berbahasa: serbasingkat! Contoh
kalimat yang dipaparkan Pak Uksu, gegara
dikorankan tetiba dipolisikan, itu
adalah semacam penghematan kata yang luar biasa.
Pada
dasarnya bahasa Indonesia akan terus berkembang sesuai perubahan zaman, dan
bisa jadi para ahli bahasa harus berjuang keras sepanjang zaman untuk
mengingatkan agar generasi selanjutnya tak lupa akar. Hanya karena pengabaian
kaidah yang banyak dilakukan generasi sebelumnya.***
Cipeujeuh, 6 Agustus 2018
Dimuat di H.U. Pikiran Rakyat, 2 September 2018
#Bahasa #Linguistik #Gegara
#Tetiba #Milenial #UksuSuhardi #WisataBahasa #PikiranRakyat #2018
~Foto dari Pak Imam JP
Hahaha .., unik juga ya kak istilah gegara dan tetiba itu
BalasHapusMasyarakat negara kita memang dikenal suka mempersingkat kata, contohnya : maksi (makan siang).
Kata2 unik itu pasti karya para abg :)
Iya, unik, dan para remaja yang bikin istilah demikian adalah insan kreatif. Dalam berbahasa selalu ringkas dan sesuai dengan jiwanya yang bebas ingin memberontak dari pakem yang ada.
HapusSayangnya, istilah tersebut bisa menimbulkan salah paham. Maksi bisa dianggap singkatan dari maksimum di zaman saya, para emak-emak, dan remaja sekarang mengartikannya sebagai makan siang. Makanya bikin bingung gererasi tua, ha ha.
Saya baru tahu istilah maksi dari Mas Hino, maklum saya kudet dan tak gaul dengan para remaja sekarang di sekitar rumah. Mamah-mamah mah bukan teman main yang asyik bagi mereka, 'kali. Ha ha.
wkwkwkkwwk ngakak.
BalasHapusJadi sebenarnya kata 'gegara' dan 'tetiba' itu ada gak sih mba dalam KBBI?
ngakak juga baca komen mba di atas, 'maksi' adalah 'makan siang'.
Lah saya juga pikir maksi itu ya makan siang.
Kalau saya sering banget tanpa sadar ketularan mba, pakai bahasa aneh gitu, selain lebih praktis, saya rasa lebih baik ketimbang nulis 'tiba2' atau 'gara2' wkwkwk
Btw saya jadi ingat waktu dulu belum nikah dan masih kerja, saya jadi jujugan orang-orang kantor tentang bahasa gaul dalam mengirim pesan.
Kayak GPL, mereka malu nanya ama si pengirim, apaan tuh GPL, jadi nanya ke saya, "Rey, GPL itu apa sih?"
Dan banyak istilah-istilah baru lainnya.
Mereka pikir saya keren, selalu update hal-hal kekinian, mereka gak tau aja, setiap kali mereka nanya, saya yang sedang di depan komputer langsung buka Google, lalu tanya Google wakakakak
Sekarang makin banyak aja loh mba yang disingkat 'mantul = mantap betul' , 'kunbal = kunjungan balik' dll.
Bahkan saya dong sering nulis julid, giliran ditanya temen di komen, mbak Rey, apa itu julid, saya nganga aja, terus buka Google, eh ternyata itu dari kata-kata Sunda 'binjulid' yak hahaha
Sering nulis tapi ga tau artinya muahahahah
Di zaman saya remaja mah istilah maksi memang singkatan dari maksimal atau maksimum, Mbak Rey. Berarti habis-habisan. Aduduh, beda generasi beda pula pengartian bahasanya. Dului mah tertib mengartikan sesuatu, sekarang mah serba bahasa kode, singkatan semakin dianggap wajar dan kerap dipakai. maka terngangalah generasi X karena maknanya beda antara darat dan laut, ha ha.
HapusHarusnya saya juga cari di google tentang arti kata yang ajaib, namun dasar polos, saya pikir itu bajasa Indonesia atau daerah, ha ha. Dan julid, entah bagaimana muasalnya hingga disingkat dari binjulid. Saya yang orang Sunda saja tak paham ada kata demikian. Soalnya, kata negatif jarang dipakai saya. Sayang memang jika kata negatif dalam bahasa daerah malah populer.
GPL, hem, saya juga tak tahu itu apa. Tak pernah pakai dan tak pernah baca. Kayaknya saya harus gugling juga agar tak kudet., ha ha.
Bahas bahasa sebenarnya asyik, kok, Mbak Rey. Soalnya menyangkut fenomena keseharian dalam masyarakat kita. Makanya saya senang menulis esai bahasa daripada fiksi. Fiksi mah harus ngarang, kalau esai bahasa sesuatu yang dekat dan disarikan dari sekitar.
hahahaha, soalnya dulu generasi kita generasi nyata mba, bukan online, bukan serba tulisan, beda dengan generasi jaman now yang semuanya pakai tulisan.
HapusJadinya banyak orang yang lebih suka menyingkat tulisan biar nggak pegel nulisnya.
Apalagi saat medsos chatting belum setenar sekarang, dulu pakai sms, banyak banget yang singkatan lebh parah.
otw
btw
gpl
gpp
bahkan sekarang, ping jadi p hahaha
saya sering mendengar kata gegara atau tetiba teh, terus akdang-kadang saya suka ikutan juga mengucapkan kata2 itu meski jarang sih, ternyata itu keliru ya. duh belum lagi bahasa singkatan-singkatan yang mangaburkan aslinya, saya juga suka bingung
BalasHapusSebagai anak Twitter, saya ingat kapan dua kata itu: gegara dan tetiba mulai populer. Populernya berawal dari Twitter, Teh. Kala itu kan belum zamannya Twitter dipakai dunia perpolitikan. Twitter tuh bersih dari buzzer-buzzer dan hoaks.
BalasHapusAh menyenangkan sekali masa-masa itu. Twitter isinya anak-anak edgy penyuka sastra, tapi belum sekelas sastrawan besar. Karena menembus penerbit besar susah, jadilah mereka menuang kata di Twitter. Hingga muncul akun semacam fiksi mini, malam puisi, cerita horor, dan lain-lain. Sampai ada komunitas anak Twitter yang suka bercuit puisi-puisi atau kata-kata puitis di Twitter. Mereka biasanya kopdar seminggu sekali atau sebulan sekali. Sesekali saling blogwalking juga.
Nah, saya ingat, kata gegara dan tetiba dipopulerkan oleh anak-anak edgy ini. Begitu Twitter dipenuhi cuitan politik dan buzzer, anak-anak edgy ini agak terganggu.
Itu mendingan sih, daripada bahasa 4L4y 53k4L1. Anak-anak edgy di Twitter suka pusing dan sebal sama anak 4L4y ini, Wwkwkwkkw.
wkwkwk iyaa.. awalnya sy kira tetiba itu bahasa baku yg tidak populer lalu muncul jd ngehits. Ternyataa bahasa milenial yah
BalasHapusMbak, apakah dalam ilmu bahasa dibenarkan pemakaian gegara dan tetiba dalam percakapan informal?
BalasHapus