DATA BUKU : MENULIS PUISI LAGI
PENULIS :
ACEP ZAMZAM NOOR, GOL A GONG, DAN 48 PENYAIR
PENERBIT :
MAJELIS SASTRA BANDUNG, JEIHAN INSTITUTE, DAN PENERBIT MEDIUM
ISBN :
978-602-70626-1-0
CETAKAN :
I, 2015
TEBAL :
153 HALAMAN
HARGA :
RP 35.000,-
SELALU ada
hal menarik yang ditawarkan antologi puisi, apalagi jika ditulis oleh beragam
penyair lintas generasi dari berbagai kota. Mereka membawa keunikan dan nuansa
tersendiri dalam karyanya. Kita akan menikmati beragam puisi dari beragam
karakter penyair dengan penyajian yang memaparkan kekhasan masing-masing. Majelis
Sastra Bandung MSB) rupanya memiliki tradisi khas untuk memperingati ulang
tahunnya, merayakan dengan penerbitan antologi puisi. Mengundang puluhan
penyair terpilih yang produktif untuk
menyumbang 3 puisi pilihan sebagai bahan antologi.
Menurut
Matdon, Rois ‘Am MSB, dalam kata pengantarnya, “Tak terasa puisi terus hadir
dalam relung batin kita, relung batin yang jujur dan ikhlas. Enam tahun sudah
perjalanan Majelis Sastra Bandung menemani dan ditemani, sejak berdiri 25
Januari 2009. Di MSB, lewat Pengajian Sastra dan Tadarus Puisi sebagai program
rutin, membuat kami yakin puisi akan tetap hidup dan ‘menghidupi’ manusia.”
50
penyair yang bergabung dalam antologi Menulis
Puisi Lagi menawarkan kekhasan yang layak diapresiasi. Kita kerap merasakan
antologi keroyokan sebagai semacam intermezzo
para penyair mendedahkan stimung masing-masing.
Yang ini perayaan lintas generasi.
Dari
Acep Zamzam Noor, Acep Iwan Saidi, Agus Nasihin, Aendra H. Medita, Ahda Imran,
Ashmansyah Timutiah, Atasi Amin, Budhi Setyawan, Deddy Koral, Gol A Gong, Heni Hendrayani, Joko Pinurbo,
Maman Imanulhaq, Rukmi Wisnu Wardani, Sarabunis Mubarok, Sihar Ramses
Simatupang, Soni Farid Maulana, Weni Suryandari, sampai Yusef Muldiyana;
sebagai penyair dengan jam terbang dan produktivitas mengagumkan.
Lalu
generasi termuda lainnya yang lahir di tahun ’80-an ke atas seperti Adew
Habtsa, Arinda Risa Kamal, Arom Hidayat, Anisa Isti Yuslimah, Bode Riswandi,
Dian Hartati, Epiest Gee, Faisal Syahreza, Farra Yanuar, Fina Sato, Galah
Denawa, Heri Maja Kelana, John Heryanto, Lutfi Mardiansyah, Malkan Junaidi,
Meitha KH, Muhammad Budi Pramono, Mohamad Chandra Irfan, Opik Geulang, Peri
Sandi Huizche, Ratna Ayu Budhiarti, Ratna M. Rochiman, Rendy Jean Satria, Rezky
Darojattus Sholihin, Rudy Aliruda, Sayidah Anis, Tirena Oktaviani, Willy Fahmi
Agiska, Wong Agung Utomo, Yopi Setia Umbara, Zay Zabidi Lawanglangit, sampai
Zulkifli Songyanan yang tak kalah dalam berkarya.
Menulis Puisi Lagi
seakan membawa makna filosofis, mengajak dan mengingatkan para pencinta puisi
untuk tetap menafsirkan hidup sebagai puisi. Beberapa penyair bahkan menulis
puisi bertemakan tentang puisi.
Yang kau perlukan adalah
menyeru mahluk halus/ yang berdiam di balik kata-kata. Tapi kau hanya/ akan
mendapati kata-kata jika ia tahu kau mencarinya// Serulah dia tanpa ia
mendengar suaramu//. (“Pelajaran Pertama Menulis Puisi”, Ahda
Imran) Sebuah tugas mulia yang tampak
berat. Dan Ahda tampaknya tahu demikiam.
Sebaliknya
Agus Nasihin punya versi lain, “Mari
berkebun di kepala/ Tempat paling subur untuk menyemai lupa dan luka lewat
kata-kata”/ Sabda Sang Pekebun Syair// Lalu Pekebun Muda/ Mengambil pena dan
mencangkulnya di secarik lahan// “Sebelum kalian menanam, pilihlah benih-benih
leksem/ Siangi benalu afiks yang tumbuh di pori-pori morfem/ Taburkan pupuk
kenangan agar menjadi bunga-bunga metafora/ Siarami diksi dengan rima dan
irama”/ Titah Sang Pekebun Puisi//…. (“Belajar Menanam Puisi’)
Tafsir
John Heryanto berupaya menemukan kerumitan puisi, Dunia adalah oksigen yang kau hirup/ Jadi karbondioksida, jadi api/
Yang menyembur dari mulut naga/ Dan seperti itulah kiranya aku dilahirkan/ Ucap
puisi lagi//…. (“Before Morning”)
Joko
Pinurbo malah mengejek dengan ironi, Pulang
dari sekolah, saya main ke sungai./ Saya torehkan kata-kata asu dan tanda seru/
pada punggung batu besar dan hitam/ dengan pisau pemberian ayah.// Itu sajak
pertama saya. Saya menulisnya/ untuk menggenapkan pesan terakhir ayah:/ “Hidup
ini memang asu, anakku./ Kau harus sekeras dan sedingin batu.”//….
Sarabunis
Mubarok sebaliknya dengan khidmat memaknai puisi dalam bahasa yang muram dan
puitis. Padu merangkai metafora bersama “Puisi dan Puasa”. Sebuah puisi yang tumbuh di kebun zikir masih/ berduka. Musim kemarau
mengigaukan cuaca,/ sungai-sungai membelit hati, dan sumur-sumur/ digenangi
airmata sendiri. Aku menemani daun/ jati, berpuasa dan menggugurkan diri//
Kubaca hari dengan bahasa lapar yang menari./ Sajak-sajak menghentak risau,
bersama nafas yang/ menghijaukan surau-surau. Tapi di kota badan/ yang pucat
pasi, doa-doa mandul menabrak bumi,/ sebuah gempa bagi kesadaran diri.//….
Ekspresi
dari ruang renung para penyair yang tercakup dalam antologi bersama
sesungguhnya menarik untuk dikaji. MSB dengan upaya hajat tahunannya berupa menerbitkan
antologi semoga saja tak berhenti. Kita butuh lebih banyak komunitas yang
peduli puisi. Tak bosan-bosannya menghadirkan hal yang dirasa asing bagi
masyarakat agar bisa menggugah kesadaran.
Kesadaran
semacam itu bagi seorang Dian Hartati cukup ditafsirkan sebagai, doaku untukmu adalah konfeti/ yang terus
berhamburan/ tak usai-usai/ bermunculan/ tak mengenal waktu//. (“Buket
Doa”)
Menulis Puisi Lagi boleh
dikata semacam hadiah yang layak kita miliki dan apresiasi. Kita bisa mengenal
beragam daya ungkap persona, dari yang menarik sampai biasa-biasa saja. Namun
puisi menjadikan mereka luar biasa. Rilis dan bedah buku yang diadakan di
Studio Jeihan akhir Januari lalu, adalah semacam ucapan selamat datang bagi
kehadiran yang menghadirkan! (*)
Cipeujeuh, 10 Maret 2015
#Resensi #Buku
#MenulisPuisiLagi #Majelis SastraBandung #Puisi #AcepZamzamNoor #GolAGong #2015
~Foto hasil jepretan kamera ponsel
ANDROMAX PRIME
Tertarik deh mbk umtuk membacanya....
BalasHapusSilakan dibaca, Bang. Ada banyak puisi bagus di dalamnya. :)
HapusKakak, sumpah itu tulisannya Agus Nasihin bikin saya ternganga dan bilang dalam hati: astaga!!! Ini keren! ---> “Mari berkebun di kepala/ Tempat paling subur untuk menyemai lupa dan luka lewat kata-kata”. Menjadi semakin penasaran. Selama ini sering baca kumpulan cerpen, pun kumpulan puisi dari satu penulis saja. Kalau yang ini ... betul-betul bikin ngidam, manapula para penulisnya luar biasa!
BalasHapusNah, saya juga sunka banget dengan puisi itu, menarasikan bahasa ke dalam puisi dengan pemilihan diksi yang membuat kita takjub. Bisa juga, ya!
HapusKalau baca kumcer atau kumpulan puisi yang hasil keroyokan, lebih memuaskan karena mereka punya ragam daya ungkap dan pengalaman.