Selasa, 08 Januari 2019

Selamat Datang, Antologi Puisi!


 

DATA BUKU      : MENULIS PUISI LAGI
PENULIS           : ACEP ZAMZAM NOOR, GOL A GONG,  DAN 48 PENYAIR
PENERBIT         : MAJELIS SASTRA BANDUNG, JEIHAN INSTITUTE, DAN PENERBIT MEDIUM
ISBN                    : 978-602-70626-1-0
CETAKAN           : I, 2015
TEBAL                : 153 HALAMAN
HARGA               : RP 35.000,-     


SELALU ada hal menarik yang ditawarkan antologi puisi, apalagi jika ditulis oleh beragam penyair lintas generasi dari berbagai kota. Mereka membawa keunikan dan nuansa tersendiri dalam karyanya. Kita akan menikmati beragam puisi dari beragam karakter penyair dengan penyajian yang memaparkan kekhasan masing-masing. Majelis Sastra Bandung MSB) rupanya memiliki tradisi khas untuk memperingati ulang tahunnya, merayakan dengan penerbitan antologi puisi. Mengundang puluhan penyair terpilih yang produktif  untuk menyumbang 3 puisi pilihan sebagai bahan antologi.
Menurut Matdon, Rois ‘Am MSB, dalam kata pengantarnya, “Tak terasa puisi terus hadir dalam relung batin kita, relung batin yang jujur dan ikhlas. Enam tahun sudah perjalanan Majelis Sastra Bandung menemani dan ditemani, sejak berdiri 25 Januari 2009. Di MSB, lewat Pengajian Sastra dan Tadarus Puisi sebagai program rutin, membuat kami yakin puisi akan tetap hidup dan ‘menghidupi’ manusia.”
50 penyair yang bergabung dalam antologi Menulis Puisi Lagi menawarkan kekhasan yang layak diapresiasi. Kita kerap merasakan antologi keroyokan sebagai semacam intermezzo para penyair mendedahkan stimung masing-masing. Yang ini perayaan lintas generasi.
Dari Acep Zamzam Noor, Acep Iwan Saidi, Agus Nasihin, Aendra H. Medita, Ahda Imran, Ashmansyah Timutiah, Atasi Amin, Budhi Setyawan, Deddy Koral,  Gol A Gong, Heni Hendrayani, Joko Pinurbo, Maman Imanulhaq, Rukmi Wisnu Wardani, Sarabunis Mubarok, Sihar Ramses Simatupang, Soni Farid Maulana, Weni Suryandari, sampai Yusef Muldiyana; sebagai penyair dengan jam terbang dan produktivitas mengagumkan.
Lalu generasi termuda lainnya yang lahir di tahun ’80-an ke atas seperti Adew Habtsa, Arinda Risa Kamal, Arom Hidayat, Anisa Isti Yuslimah, Bode Riswandi, Dian Hartati, Epiest Gee, Faisal Syahreza, Farra Yanuar, Fina Sato, Galah Denawa, Heri Maja Kelana, John Heryanto, Lutfi Mardiansyah, Malkan Junaidi, Meitha KH, Muhammad Budi Pramono, Mohamad Chandra Irfan, Opik Geulang, Peri Sandi Huizche, Ratna Ayu Budhiarti, Ratna M. Rochiman, Rendy Jean Satria, Rezky Darojattus Sholihin, Rudy Aliruda, Sayidah Anis, Tirena Oktaviani, Willy Fahmi Agiska, Wong Agung Utomo, Yopi Setia Umbara, Zay Zabidi Lawanglangit, sampai Zulkifli Songyanan yang tak kalah dalam berkarya.
Menulis Puisi Lagi seakan membawa makna filosofis, mengajak dan mengingatkan para pencinta puisi untuk tetap menafsirkan hidup sebagai puisi. Beberapa penyair bahkan menulis puisi bertemakan tentang puisi.
Yang kau perlukan adalah menyeru mahluk halus/ yang berdiam di balik kata-kata. Tapi kau hanya/ akan mendapati kata-kata jika ia tahu kau mencarinya// Serulah dia tanpa ia mendengar suaramu//. (“Pelajaran Pertama Menulis Puisi”, Ahda Imran) Sebuah tugas mulia yang tampak berat. Dan Ahda tampaknya tahu demikiam.
Sebaliknya Agus Nasihin punya versi lain, “Mari berkebun di kepala/ Tempat paling subur untuk menyemai lupa dan luka lewat kata-kata”/ Sabda Sang Pekebun Syair// Lalu Pekebun Muda/ Mengambil pena dan mencangkulnya di secarik lahan// “Sebelum kalian menanam, pilihlah benih-benih leksem/ Siangi benalu afiks yang tumbuh di pori-pori morfem/ Taburkan pupuk kenangan agar menjadi bunga-bunga metafora/ Siarami diksi dengan rima dan irama”/ Titah Sang Pekebun Puisi//…. (“Belajar Menanam Puisi’)
Tafsir John Heryanto berupaya menemukan kerumitan puisi, Dunia adalah oksigen yang kau hirup/ Jadi karbondioksida, jadi api/ Yang menyembur dari mulut naga/ Dan seperti itulah kiranya aku dilahirkan/ Ucap puisi lagi//…. (“Before Morning”)
Joko Pinurbo malah mengejek dengan ironi, Pulang dari sekolah, saya main ke sungai./ Saya torehkan kata-kata asu dan tanda seru/ pada punggung batu besar dan hitam/ dengan pisau pemberian ayah.// Itu sajak pertama saya. Saya menulisnya/ untuk menggenapkan pesan terakhir ayah:/ “Hidup ini memang asu, anakku./ Kau harus sekeras dan sedingin batu.”//….
Sarabunis Mubarok sebaliknya dengan khidmat memaknai puisi dalam bahasa yang muram dan puitis. Padu merangkai metafora bersama “Puisi dan Puasa”. Sebuah puisi yang tumbuh di kebun zikir masih/ berduka. Musim kemarau mengigaukan cuaca,/ sungai-sungai membelit hati, dan sumur-sumur/ digenangi airmata sendiri. Aku menemani daun/ jati, berpuasa dan menggugurkan diri// Kubaca hari dengan bahasa lapar yang menari./ Sajak-sajak menghentak risau, bersama nafas yang/ menghijaukan surau-surau. Tapi di kota badan/ yang pucat pasi, doa-doa mandul menabrak bumi,/ sebuah gempa bagi kesadaran diri.//….
Ekspresi dari ruang renung para penyair yang tercakup dalam antologi bersama sesungguhnya menarik untuk dikaji. MSB dengan upaya hajat tahunannya berupa menerbitkan antologi semoga saja tak berhenti. Kita butuh lebih banyak komunitas yang peduli puisi. Tak bosan-bosannya menghadirkan hal yang dirasa asing bagi masyarakat agar bisa menggugah kesadaran.
Kesadaran semacam itu bagi seorang Dian Hartati cukup ditafsirkan sebagai, doaku untukmu adalah konfeti/ yang terus berhamburan/ tak usai-usai/ bermunculan/ tak mengenal waktu//. (“Buket Doa”)
Menulis Puisi Lagi boleh dikata semacam hadiah yang layak kita miliki dan apresiasi. Kita bisa mengenal beragam daya ungkap persona, dari yang menarik sampai biasa-biasa saja. Namun puisi menjadikan mereka luar biasa. Rilis dan bedah buku yang diadakan di Studio Jeihan akhir Januari lalu, adalah semacam ucapan selamat datang bagi kehadiran yang menghadirkan! (*)
Cipeujeuh, 10 Maret 2015
#Resensi #Buku #MenulisPuisiLagi #Majelis SastraBandung #Puisi #AcepZamzamNoor #GolAGong #2015
~Foto hasil jepretan kamera ponsel ANDROMAX PRIME

4 komentar:

  1. Balasan
    1. Silakan dibaca, Bang. Ada banyak puisi bagus di dalamnya. :)

      Hapus
  2. Kakak, sumpah itu tulisannya Agus Nasihin bikin saya ternganga dan bilang dalam hati: astaga!!! Ini keren! ---> “Mari berkebun di kepala/ Tempat paling subur untuk menyemai lupa dan luka lewat kata-kata”. Menjadi semakin penasaran. Selama ini sering baca kumpulan cerpen, pun kumpulan puisi dari satu penulis saja. Kalau yang ini ... betul-betul bikin ngidam, manapula para penulisnya luar biasa!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, saya juga sunka banget dengan puisi itu, menarasikan bahasa ke dalam puisi dengan pemilihan diksi yang membuat kita takjub. Bisa juga, ya!
      Kalau baca kumcer atau kumpulan puisi yang hasil keroyokan, lebih memuaskan karena mereka punya ragam daya ungkap dan pengalaman.

      Hapus

Terima kasih sudah singgah, silakan tinggalkan jejak komentar sebagai tanda persahabatan agar saya bisa lakukan kunjungan balik. Komentar sebaiknya relevan dengan isi tulisan. Nama komentator tidak langsung mengarah ke URL pos blog agar tidak menambah beban jumlah link pemilik blog ini. Jangan sertakan link hidup dan mati, apalagi iklan karena termasuk spam.Terima kasih banyak. Salam. @rohyatisofjan

Disabilitas Mengelola Komunitas

Arti disabilitas adalah keterbatasan aktivitas dan partisipasi akibat  ketidakmampuan mental atau fisik. Hal itu bisa menjadi stigma dalam m...