TOPIK yang lagi hits bulan kemarin adalah Kinder Joy. Nama produk jajanan berupa
cangkang telur dengan isian cokelat dan susu berikut sisipan hadiah mainan
sebagai daya tarik produk agar laris dilirik anak sebagai sasaran utama pasar
mereka. Kinder Joy
sempat tular (viral) gara-gara
seorang bapak menulis surat permohonan agar produk itu tidak ditata dekat meja
kasir suatu toserba. Alasan sang bapak masuk akal, anaknya yang masih kecil
akan tantrum, mengamuk agar bisa
jajan Kinder Joy, padahal uang sang
bapak sebagai seorang pekerja kelas bawah tergolong pas-pasan.
Bapak
malang itu kewalahan mengatur pemasukan dan pengeluaran yang tidak berimbang,
sedang anaknya belum paham. Ia yang mengajak anaknya ke toserba sebagai semacam
hiburan malah beroleh kesusahan hanya karena jajanan mahal.
Pihak toserba diharapkan bijak agar tidak
menata barang tersebut di dekat meja kasir, sebuah posisi strategis yang
menarik perhatian anak dari pembeli.
Sebenarnya
itu membingungkan saya karena Palung tidak pernah mewek-mewek ingin jajan Kinder
Joy dari balita sampai kelas dua sekarang. Mungkin bagi kami jajanan itu
tidak menarik perhatian karena Palung dibiasakan agar paham mana yang boleh
dibeli dan mana yang tidak jika harganya mahal. Maka ia tak akan sembarang
tunjuk apalagi comot. Selalu bilang lebih dulu kalau ingin sesuatu. Dan paling
sering susu kotak rasa plain merek
Ultra, Indomilk, atau Bendera. Juga keju lembaran macam Kraft atau Pro Chiz.
Boleh
dikata, jika kami turun gunung ke kecamatan dan cari hiburan dengan belanja di
toserba Indomaret, Alfamart, dan yang terkini Yomart; maka kami akan lakukan
kegiatan yang itu-itu. Comot barang yang terasa familiar.
Maka
keranjang belanjaan selain diisi produk untuk dapur dan bersih-bersih, akan ada
jajanan favorit Palung. Entah itu susu (selalu plain), keju, roti, atau es krim murah. Murah adalah komitmen kami.
Palung belajar menghargai bahwa mamah tahu bagaimana isi dompet, jadi cuma bisa
beli apa yang sanggup dibeli. Jika ingin beli yang mahal maka akan ada hal lain
yang dikorbankan.
Saya
bersyukur Palung sampai saat ini belum merengek ingin coba Kinder Joy. Kami tidak punya televisi jadi hal-hal yang berbau
konsumtif tidak sampai pada kami.
Sebenarnya
saya kasihan juga pada Palung, dan pernah kala kami menonton televisi di rumah
Ipah sahabat saya, melihat iklan Kinder Joy
yang menggiurkan. Saya tanya apakah Palung mau, dan anak itu hanya mengangguk
dengan murung. Seakan kecewa karena tidak bisa sama seperti yang ditampilkan
dalam iklan televisi; kehidupan riang dan serba berkelebihan.
Saya
berjanji akan belikan Kinder Joy jika
kami punya uang untuk ke kecamatan. Nyatanya janji tinggal janji, saya dan
Palung sama lupa. Fokus kami pada jajanan lain. Jajanan yang itu-itu saja di
tiap toserba langganan: susu dan keju, susu dan keju!
Kala
bayar barang di kasir pun mata kami lebih tertuju pada kegiatan kasirnya.
Jadi,
kami bisa meninggalkan toserba denga rasa puas dan tenang, tiada rengekan
karena Palung sudah besar. Meski sudah besar tetap boleh coba permainan
odong-odong yang ada layar gim di toserba Yomart dekat BRI, dan mamah tidak
keberatan anaknya bersenang-senang cara demikian.
Juga
tak masalah kala kami nongkrong di WIFI Corner Telkom Limbangan, jajan-jajan
apa saja yang ada di pelataran. Ada banyak mamang-mamang jualan yang mangkal.
Cuanki, baso tahu, baso Malang, cakue, cilok, dan jajanan lain.
Juga
tak masalah kalau Palung masih ingin jajan buah-buahan, sebungkus kelereng,
bahkan onde-onde dan kawan-kawannya di tempat teteh yang jualan jajan pasar.
Palung
boleh jajan apa saja, namun Kinder Joy
tidak. Bukan tidak mau melainkan kerap lupa.
Kemarin,
kala terakhir ke kecamatan, saya dan Palung belanja di Alfamart. Usai bayar
barang di kasir dan saya hendak keluar, Palung tampak terpaku di depan meja
pajangan barang. Rupanya ia tertarik pada Kinder
Joy, namun saat itu saya sudah usai belanja dan uang terbatas karena kami
akan jajan rujak bebek mamang yang mangkal di depan kantor JNE, lalu potong
rambut Palung di barber shop atau
dalam bahasa Indonesianya kios tukang cukur.
Sebenarnya
saya menyesal juga, napa tidak
merelakan beberapa belas ribu untuk Palung agar bisa mencicipi seperti apa Kinder Joy itu. Namun berita tular bulan
kemarin membuat saya khawatir, bagaimana jika Palung kecanduan Kinder Joy dan ingin itu terus tiap kami
ke toserba?
Jujur,
saya jadi parno. Tak ada mamah-mamah
yang ingin anaknya dijajah jajanan tertentu dengan harga di luar jangkauan,
jika untuk urusan makan sehari-hari saja pas-pasan.
Sampai
sekarang saya tidak tahu apakah akan bisa jajanin
Palung Kinder Joy. Lucu rasanya,
hanya karena kehebatan iklan televisi saya malah dijajah rasa khawatir tidak
sayang anak. Padahal di luar sana ada banyak jajanan sehat bagi anak, sehat
pula bagi dompet orang tuanya.
Sejauh
Palung tidak merengek jika di toserba, saya nyaman saja mengajaknya belanja
sebagai cara hiburan sederhana yang jarang dilakukan. Kalaupun ia mendadak
bilang pada saya ingin coba itu sambil menunjuk Kinder Joy, tiada pilihan bagi saya selain mengabulkan, tentunya dibarengi
harapan semoga tidak kecanduan jajan demikian mengingat harganya mahal.
Akan
ada pos yang harus dipangkas, barang yang tidak jadi dibeli, atau pengeluaran
bertambah; hanya karena jajanan yang sempat tular!
Jajan
adalah semacam bentuk anak menemukan kesetaraan. Ia belajar
membanding-bandingkan dirinya dengan yang lain, memiliki keinginan kuat agar
sama dan diterima dalam komunitas pergaulannya.
Namun
yang lucu sekarang, jajan pun seakan harus mengikuti tren yang sedang berlaku
alias musim. Bulan kemarin Kinder Joy,
bulan mendatang apa?
Palung
yang polos selalu beroleh bekal 2 ribu rupiah saja. Kadang juga lebih jika
bapaknya baru gajian dan ingin menyenangkan anak dengan memberi uang ekstra
agar bisa jajan hal yang diinginkannya di sekolah.
Karena
kami tinggal di kampung dan tidak punya televisi, kami tidak merasakan efek
hebohnya Kinder Joy yang dijadikan
biang kerok hingga orang-orang pada ribut bahas itu sampai demo segala.
Ini
negara sarat ironisme. Jajanan yang semula bisa dianggap hal sepele mendadak
masuk trending topic. Apakah semacam
pengalihan dari isu tertentu? Kasihan juga produsen Kinder Joy, produk yang diharapkan bisa membawa kegembiraan (bagi
anak) malah diributkan. Dan mungkin pihak toserba pun serba salah.
Ah,
bagaimanapun, dunia bergulir dengan cepat. Kemarin Kinder Joy tular, esok entah jajanan apa lagi yang akan ditularkan?
Kita
sebagai orang tua sebenarnya punya peluang untuk menggiring anak pada hal yang
dirasa dalam batasan. Namun jika anak terlalu sering digiring acara televisi,
maka akan terjadi tarik-menarik yang tidak menyamankan masing-masing pihak:
orang tua dan anak!
Cipeujeuh, 23 April 2018
#Parenting #Pengasuhan
#KinderJoy #Jajan #Anak
~Foto hasil jepretan kamera
ponsel ANDROMAX PRIME
Alhamdulillah anak saya juga ga begitu rewel dengan makanan 'telur' itu mba, harganya itu yang menurut saya koq ya mahal banget, mendingan beli sereal yg gizinya masi bisa didapat :)
BalasHapusIya, bingung juga mengapa mahal. Mungkin karena pengemasan terasa unk dalam bentuk cangkang telur, lalu ada hadiah di dalamnya. Plastik yang jadi kemasan juga mungkin harus ekslusif. Aman bagi konsumen. Bahan harus bermutu dan rasa enak. Belum lagi biaya promosi. Makanya hukum ekonomi mengharuskan harga produksi dibebankan pada konsumen yang beli produknya.
Hapusmasih banyak alternatif jajanan lain, sereal juga bagus.
wkwkwk saya ngakak baca berita viral itu mba, tapi karena belum pernah ngalamin anak merengek jajanan telur itu, jadinya saya belum bisa membagikan opini tentang kinder joy itu hahaha
BalasHapusAnak saya pernah sih jajan itu, tapi duluuuuu banget, setelah itu gak pernah lagi, makanya saya juga gak tau harganya itu berapa, isinya gimana?
Seingat saya dulu anak saya beli cuman karena hadiahnya saja hahahah
Dan emang ada manfaatnya juga saya suka larang anak jajan sembarangan, dia jadi terbentuk hanya mau jajan jajanan yang dibolehkan , meskipun juga sering dia pulang sekolah terus takut2 minta maaf kalau dia tergoda jajanan temennya yang 'gak sehat' terus dia dikasih.
Anak pertama saya emang 'istimewa' mba, dia langganan sakit-sakitan waktu kecil, makanya saya batasi makanan dan camilannya.
Sejak kecil ya jajanannya cuman biskuit-biskuitan, sereal, baru kenal permen saat masuk SD karena liat temennya makan permen.
Jarang banget makan chiki-chikian.
Apalagi jajanan pentol2an hahaha
Dan untungnya juga di sekolahnya gak ada yang jual jajanan sembarangan, hanya ada kantin, dan itupun dibatasin uang jajannya, jadi kami sedikit tertolong dengan hal jajan anak :)
Dulu kala Palung kecil, saya disiplin soal apa yang boleh dimakannya sebagai jajanan. Seiring usia bertambah, susah juga menerapkannya karena godaan dari luar. Pengen ikut makan sama sepewrti yang lainnya. Jadi, kalau di sekolah tetap bandel jajan es atau minuman. Sudah disuruh ke warung di bawah sekolah yang nyediain buab-buahan namun Palung bilang malu ke sana. Jajan di dalam lingkungan sekolah, namun di luar banyak mamang jualan. Makanya saya salut dengan cara Mbak rey mendisiplinkan anak soal jajan, itu tak mudah banget, bikin anak nurut mah haruis dari sejak dini. Dan Palung sudah telanjur kenal jajanan lain dari sekitar jadi susah.
HapusKinder Joy jadi polemik karena adanya aksi massa untuk itu,.agar harga turun. Saya jadi bingung karena tak pernah coba jadi tak tahu bagaimana kisaran harga mestinya. Kuatnya beli yang terjangkau saja, Mbak Rey.
Yah, syukurlah anak-anak kita tak alami kasus demikian. tenang dan damai.
Semoga anak sulung Mbak nanti bisa lebih kuat dan tetap jujur soal jajanan. Syukurlah lingkungan sekolah mendukung program makan jajanan sehat bagi anak.
Senang bisa berbagi kisah tentang parenting, ya, Mbak. Meski soal jajan, he he.