Jumat, 04 Januari 2019

Ketika Jajanan Mengundang Masalah



TOPIK yang lagi hits bulan kemarin adalah Kinder Joy. Nama produk jajanan berupa cangkang telur dengan isian cokelat dan susu berikut sisipan hadiah mainan sebagai daya tarik produk agar laris dilirik anak sebagai sasaran utama pasar mereka. Kinder Joy sempat tular (viral) gara-gara seorang bapak menulis surat permohonan agar produk itu tidak ditata dekat meja kasir suatu toserba. Alasan sang bapak masuk akal, anaknya yang masih kecil akan tantrum, mengamuk agar bisa jajan Kinder Joy, padahal uang sang bapak sebagai seorang pekerja kelas bawah tergolong pas-pasan.

Bapak malang itu kewalahan mengatur pemasukan dan pengeluaran yang tidak berimbang, sedang anaknya belum paham. Ia yang mengajak anaknya ke toserba sebagai semacam hiburan malah beroleh kesusahan hanya karena jajanan mahal.
Pihak toserba diharapkan bijak agar tidak menata barang tersebut di dekat meja kasir, sebuah posisi strategis yang menarik perhatian anak dari pembeli.
Sebenarnya itu membingungkan saya karena Palung tidak pernah mewek-mewek ingin jajan Kinder Joy dari balita sampai kelas dua sekarang. Mungkin bagi kami jajanan itu tidak menarik perhatian karena Palung dibiasakan agar paham mana yang boleh dibeli dan mana yang tidak jika harganya mahal. Maka ia tak akan sembarang tunjuk apalagi comot. Selalu bilang lebih dulu kalau ingin sesuatu. Dan paling sering susu kotak rasa plain merek Ultra, Indomilk, atau Bendera. Juga keju lembaran macam Kraft atau Pro Chiz.


Boleh dikata, jika kami turun gunung ke kecamatan dan cari hiburan dengan belanja di toserba Indomaret, Alfamart, dan yang terkini Yomart; maka kami akan lakukan kegiatan yang itu-itu. Comot barang yang terasa familiar.
Maka keranjang belanjaan selain diisi produk untuk dapur dan bersih-bersih, akan ada jajanan favorit Palung. Entah itu susu (selalu plain), keju, roti, atau es krim murah. Murah adalah komitmen kami. Palung belajar menghargai bahwa mamah tahu bagaimana isi dompet, jadi cuma bisa beli apa yang sanggup dibeli. Jika ingin beli yang mahal maka akan ada hal lain yang dikorbankan.
Saya bersyukur Palung sampai saat ini belum merengek ingin coba Kinder Joy. Kami tidak punya televisi jadi hal-hal yang berbau konsumtif tidak sampai pada kami.
Sebenarnya saya kasihan juga pada Palung, dan pernah kala kami menonton televisi di rumah Ipah sahabat saya, melihat iklan Kinder Joy yang menggiurkan. Saya tanya apakah Palung mau, dan anak itu hanya mengangguk dengan murung. Seakan kecewa karena tidak bisa sama seperti yang ditampilkan dalam iklan televisi; kehidupan riang dan serba berkelebihan.
Saya berjanji akan belikan Kinder Joy jika kami punya uang untuk ke kecamatan. Nyatanya janji tinggal janji, saya dan Palung sama lupa. Fokus kami pada jajanan lain. Jajanan yang itu-itu saja di tiap toserba langganan: susu dan keju, susu dan keju!
Kala bayar barang di kasir pun mata kami lebih tertuju pada kegiatan kasirnya.
Jadi, kami bisa meninggalkan toserba denga rasa puas dan tenang, tiada rengekan karena Palung sudah besar. Meski sudah besar tetap boleh coba permainan odong-odong yang ada layar gim di toserba Yomart dekat BRI, dan mamah tidak keberatan anaknya bersenang-senang cara demikian.
Juga tak masalah kala kami nongkrong di WIFI Corner Telkom Limbangan, jajan-jajan apa saja yang ada di pelataran. Ada banyak mamang-mamang jualan yang mangkal. Cuanki, baso tahu, baso Malang, cakue, cilok, dan jajanan lain.
Juga tak masalah kalau Palung masih ingin jajan buah-buahan, sebungkus kelereng, bahkan onde-onde dan kawan-kawannya di tempat teteh yang jualan jajan pasar.
Palung boleh jajan apa saja, namun Kinder Joy tidak. Bukan tidak mau melainkan kerap lupa.



Kemarin, kala terakhir ke kecamatan, saya dan Palung belanja di Alfamart. Usai bayar barang di kasir dan saya hendak keluar, Palung tampak terpaku di depan meja pajangan barang. Rupanya ia tertarik pada Kinder Joy, namun saat itu saya sudah usai belanja dan uang terbatas karena kami akan jajan rujak bebek mamang yang mangkal di depan kantor JNE, lalu potong rambut Palung di barber shop atau dalam bahasa Indonesianya kios tukang cukur.
Sebenarnya saya menyesal juga, napa tidak merelakan beberapa belas ribu untuk Palung agar bisa mencicipi seperti apa Kinder Joy itu. Namun berita tular bulan kemarin membuat saya khawatir, bagaimana jika Palung kecanduan Kinder Joy dan ingin itu terus tiap kami ke toserba?
Jujur, saya jadi parno. Tak ada mamah-mamah yang ingin anaknya dijajah jajanan tertentu dengan harga di luar jangkauan, jika untuk urusan makan sehari-hari saja pas-pasan.
Sampai sekarang saya tidak tahu apakah akan bisa jajanin Palung Kinder Joy. Lucu rasanya, hanya karena kehebatan iklan televisi saya malah dijajah rasa khawatir tidak sayang anak. Padahal di luar sana ada banyak jajanan sehat bagi anak, sehat pula bagi dompet orang tuanya.
Sejauh Palung tidak merengek jika di toserba, saya nyaman saja mengajaknya belanja sebagai cara hiburan sederhana yang jarang dilakukan. Kalaupun ia mendadak bilang pada saya ingin coba itu sambil menunjuk Kinder Joy, tiada pilihan bagi saya selain mengabulkan, tentunya dibarengi harapan semoga tidak kecanduan jajan demikian mengingat harganya mahal.
Akan ada pos yang harus dipangkas, barang yang tidak jadi dibeli, atau pengeluaran bertambah; hanya karena jajanan yang sempat tular!

Jajan adalah semacam bentuk anak menemukan kesetaraan. Ia belajar membanding-bandingkan dirinya dengan yang lain, memiliki keinginan kuat agar sama dan diterima dalam komunitas pergaulannya.
Namun yang lucu sekarang, jajan pun seakan harus mengikuti tren yang sedang berlaku alias musim. Bulan kemarin Kinder Joy, bulan mendatang apa?
Palung yang polos selalu beroleh bekal 2 ribu rupiah saja. Kadang juga lebih jika bapaknya baru gajian dan ingin menyenangkan anak dengan memberi uang ekstra agar bisa jajan hal yang diinginkannya di sekolah.
Karena kami tinggal di kampung dan tidak punya televisi, kami tidak merasakan efek hebohnya Kinder Joy yang dijadikan biang kerok hingga orang-orang pada ribut bahas itu sampai demo segala.
Ini negara sarat ironisme. Jajanan yang semula bisa dianggap hal sepele mendadak masuk trending topic. Apakah semacam pengalihan dari isu tertentu? Kasihan juga produsen Kinder Joy, produk yang diharapkan bisa membawa kegembiraan (bagi anak) malah diributkan. Dan mungkin pihak toserba pun serba salah.
Ah, bagaimanapun, dunia bergulir dengan cepat. Kemarin Kinder Joy tular, esok entah jajanan apa lagi yang akan ditularkan?
Kita sebagai orang tua sebenarnya punya peluang untuk menggiring anak pada hal yang dirasa dalam batasan. Namun jika anak terlalu sering digiring acara televisi, maka akan terjadi tarik-menarik yang tidak menyamankan masing-masing pihak: orang tua dan anak!
Cipeujeuh, 23 April 2018
#Parenting #Pengasuhan #KinderJoy #Jajan #Anak
~Foto hasil jepretan kamera ponsel ANDROMAX PRIME


4 komentar:

  1. Alhamdulillah anak saya juga ga begitu rewel dengan makanan 'telur' itu mba, harganya itu yang menurut saya koq ya mahal banget, mendingan beli sereal yg gizinya masi bisa didapat :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, bingung juga mengapa mahal. Mungkin karena pengemasan terasa unk dalam bentuk cangkang telur, lalu ada hadiah di dalamnya. Plastik yang jadi kemasan juga mungkin harus ekslusif. Aman bagi konsumen. Bahan harus bermutu dan rasa enak. Belum lagi biaya promosi. Makanya hukum ekonomi mengharuskan harga produksi dibebankan pada konsumen yang beli produknya.
      masih banyak alternatif jajanan lain, sereal juga bagus.

      Hapus
  2. wkwkwk saya ngakak baca berita viral itu mba, tapi karena belum pernah ngalamin anak merengek jajanan telur itu, jadinya saya belum bisa membagikan opini tentang kinder joy itu hahaha

    Anak saya pernah sih jajan itu, tapi duluuuuu banget, setelah itu gak pernah lagi, makanya saya juga gak tau harganya itu berapa, isinya gimana?
    Seingat saya dulu anak saya beli cuman karena hadiahnya saja hahahah

    Dan emang ada manfaatnya juga saya suka larang anak jajan sembarangan, dia jadi terbentuk hanya mau jajan jajanan yang dibolehkan , meskipun juga sering dia pulang sekolah terus takut2 minta maaf kalau dia tergoda jajanan temennya yang 'gak sehat' terus dia dikasih.

    Anak pertama saya emang 'istimewa' mba, dia langganan sakit-sakitan waktu kecil, makanya saya batasi makanan dan camilannya.
    Sejak kecil ya jajanannya cuman biskuit-biskuitan, sereal, baru kenal permen saat masuk SD karena liat temennya makan permen.
    Jarang banget makan chiki-chikian.
    Apalagi jajanan pentol2an hahaha

    Dan untungnya juga di sekolahnya gak ada yang jual jajanan sembarangan, hanya ada kantin, dan itupun dibatasin uang jajannya, jadi kami sedikit tertolong dengan hal jajan anak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dulu kala Palung kecil, saya disiplin soal apa yang boleh dimakannya sebagai jajanan. Seiring usia bertambah, susah juga menerapkannya karena godaan dari luar. Pengen ikut makan sama sepewrti yang lainnya. Jadi, kalau di sekolah tetap bandel jajan es atau minuman. Sudah disuruh ke warung di bawah sekolah yang nyediain buab-buahan namun Palung bilang malu ke sana. Jajan di dalam lingkungan sekolah, namun di luar banyak mamang jualan. Makanya saya salut dengan cara Mbak rey mendisiplinkan anak soal jajan, itu tak mudah banget, bikin anak nurut mah haruis dari sejak dini. Dan Palung sudah telanjur kenal jajanan lain dari sekitar jadi susah.
      Kinder Joy jadi polemik karena adanya aksi massa untuk itu,.agar harga turun. Saya jadi bingung karena tak pernah coba jadi tak tahu bagaimana kisaran harga mestinya. Kuatnya beli yang terjangkau saja, Mbak Rey.
      Yah, syukurlah anak-anak kita tak alami kasus demikian. tenang dan damai.
      Semoga anak sulung Mbak nanti bisa lebih kuat dan tetap jujur soal jajanan. Syukurlah lingkungan sekolah mendukung program makan jajanan sehat bagi anak.
      Senang bisa berbagi kisah tentang parenting, ya, Mbak. Meski soal jajan, he he.

      Hapus

Terima kasih sudah singgah, silakan tinggalkan jejak komentar sebagai tanda persahabatan agar saya bisa lakukan kunjungan balik. Komentar sebaiknya relevan dengan isi tulisan. Nama komentator tidak langsung mengarah ke URL pos blog agar tidak menambah beban jumlah link pemilik blog ini. Jangan sertakan link hidup dan mati, apalagi iklan karena termasuk spam.Terima kasih banyak. Salam. @rohyatisofjan

Disabilitas Mengelola Komunitas

Arti disabilitas adalah keterbatasan aktivitas dan partisipasi akibat  ketidakmampuan mental atau fisik. Hal itu bisa menjadi stigma dalam m...