.
SAYA
selalu
merasa tersesat kala membaur dalam lingkungan orang yang berpendengaran normal.
Sejak kecil dan masa dewasa lajang kesepian tanpa pasangan.
Hal itu membuat saya merasa asing sendiri seakan alien kesasar terdampar di pasar. Tentu saja,
sunyi membuat saya seakan terpisah atau memisahkan diri dari lingkungan
pergaulan sekitar. Situasilah yang memaksa demikian.
Kemarin
kala saya tayangkan tulisan “Sebab Dunia Sunyi Bukan untuk Membuatku Berkecil Hati”, ada teman yang tanya bagaimana
kisahnya saya sekolah tanpa alat bantu dengar.
Oh,
itu bukan hal yang mudah dijalani. Rasanya sangat-sangat-sangat berat. Apalagi
kala masih SD Kiaracondong 1, Bandung, fase itu paling berat bagi anak kecil
macam saya. Saya lebih banyak bolosnya daripada sekolah. Selalu saja ke sana ke
mari dari rumah sakit ke rumah sakit lain, sampai dari dukun satu yang katanya
manjur ke dukun lain yang bikin saya ancur.
Berobat
ke dokter butuh pemahaman dan rujukan dari ahli spesialis agar paham apa yang
terjadi pada telinga saya. Namun hal itu tak dilakukan ibu dengan benar,
seasalnya. Bapak juga terlalu sibuk kerja dan kurang memperhatikan keluarga
dengan benar, jadi ada anak-anak yang terabaikan pola asuhnya karena sang ibu
lebih asyik dengan dunianya yang orientasi pada duit melulu untuk dipamerkan,
ketimbang memperhatikan tumbuh kembang anak sepenuh kasih sayang.
Bapak
itu pendidikannya tinggi, mengapa membiarkan ibu membawa saya mendatangi aneka
dukun? Rasanya benci dan muak sekali. Saya anak kecil tak berdaya harus
mengikuti kehendak orang yang berpikiran klenik, lah dianya juga memang sangat suka pada hal mistik-klenik dalam
keseharian, sesuatu yang bisa dibilang tak masuk akal dan menjurus musyrik. Sedang suaminya kurang memiliki
pemahaman agama Islam jadi tak bisa jadi qowwam
yang menyeimbangkan.
BACA JUGA: Menjadi Penulis Sekaligus Narablog? Pasti Bisa!
BACA JUGA: Menjadi Penulis Sekaligus Narablog? Pasti Bisa!
Saya
sendiri tak ingat bagaimana muasalnya hingga bisa kehilangan fingsi
pendengaran, secara pelan namun pasti sehingga sekarang saya tuli total. Yang
saya ingat, sangat tidak menyenangkan belajar di sekolah umum bagi seorang anak
kecil yang butuh penanganan khusus.
Karena
itu, saya banyak bolosnya. Tak bahagia di sekolah, selalu merasa asing. Tak
paham dengan apa yang diterangkan guru, dan tak bisa jika harus menulis
pelajaran dari yang didiktekan guru. Untuk itu, saya harus melihat tulisan dari
teman sebangku.
Banyak
bolos ditambah tak bisa mendengarkan pelajaran yang diterangkan guru sungguh
membuat saya sangat frustrasi. Rasanya penghargaan diri saya rendah sekali.
Saya butuh lingkungan yang aman dan nyaman agar betah belajar. Saya memang
masih memiliki kemampuan untuk membaca gerakan bibir dan mulut lawan bicara
berkat interaksi yang kerap dilakukan dengan lingkungan sekitar, namun itu
tidak cukup bagi seorang anak kecil yang butuh penanganan khusus.
Kala
itu pada tahun 1981 sampai 1987 saya adalah anak kecil yang seakan menjelma
alien dan kerap terima penolakan dari lingkungan sekitar. Jadi, meski sekolah
masih bisa menerima saya untuk belajar, rasanya seperti bobohongan karena saya tak sungguh-sungguh belajar. Belajar yang
sesungguhnya hanyalah dari banyak membaca buku, koran, majalah atau apa saja di
luar sekolah.
Toh, saya lulus juga.
Barangkali dengan kemudahan karena alangkah melelahkannya bagi pihak sekolah
jiika terus menahan saya di sana untuk belajar. Namun bukan berarti tahap
selanjutnya akan mudah.
Saya
harus mengalami 3 tahun masa vakum sekolah, tak bisa melanjutkan karena
seharusnya ke sekolah luar biasa (SLB) bukan sekolah umum. Saya sudah bilang
pada ibu, namun entah dengan alasan apa ibu tak mengizinkan anak perempuan
satu-satunya untuk belajar di sana. Seakan kurang peduli pada masa depan anak
karena terlalu mengedepankan egoisme dirinya yang berlebihan.
Hidup
kami saat itu sulit karena bapak sudah pensiun sebagai PNS di PJKA (sekarang PT
KA Indonesia). Yah, ibu punya banyak andil dalam melemahkan sendi perekonomian
keluarga dengan sifat mubazirnya yang sudah mendarah daging, selalu hidup demi
kesenangan masa sekarang dan tak mau tahu kalau kelak masa depan akan sulit
karena pola hidup demikian. Tak punya tabungan, perabotan rumah pun tak bertambah.
Uang belanja bulanan amanat suami habis karena gaya hidupnya? Gampang, tinggal berutang ke rentenir yang dikenal tanpa setahu suami tentunya. Gaji bapak yang menjabat sebagai kepala yang mengurus penghitungan gaji karyawan seakan tak pernah cukup bagi ibu meski lumayan besar. Padahal gaya hidup bapak sederhana, baju kantornya cuma beberapa helai, barangkali selusinan di lemari. Punya ibu bisa numpuk puluhan, sedangkan punya anak-anaknya tak seberapa dan dibelikan baju setahun sekali jelang lebaran.
Uang belanja bulanan amanat suami habis karena gaya hidupnya? Gampang, tinggal berutang ke rentenir yang dikenal tanpa setahu suami tentunya. Gaji bapak yang menjabat sebagai kepala yang mengurus penghitungan gaji karyawan seakan tak pernah cukup bagi ibu meski lumayan besar. Padahal gaya hidup bapak sederhana, baju kantornya cuma beberapa helai, barangkali selusinan di lemari. Punya ibu bisa numpuk puluhan, sedangkan punya anak-anaknya tak seberapa dan dibelikan baju setahun sekali jelang lebaran.
Setelah
masa tiga tahun yang sulit bagi saya, alhamdulillah, ada sekolah di kampung ibu
yang terima saya untuk belajar di sana meski secara resmi keluarga kami masih
tinggal di Bandung namun punya rumah di kampung.
Saya
punya tekad tersendiri dengan serius belajar setelah alami masa tiga tahun yang
hilang. Bersyukur karena MTs. YPI Ciwangi bersedia menerima saya untuk belajar,
meski tak pakai alat bantu dengar. Sesuatu yang entah mengapa diabaikan orang
tua namun mereka mampu membangun rumah permanen di kampung. Seakan gengsi lebih
penting daripada kehidupan anak yang membutuhkan alat bantu dengar.
Saya
tetap alami kesulitan dalam belajar sebagaimana biasanya untuk memahami penjelasan
guru yang menerangkan pelajaran, namun syukurnya teman-teman banyak membantu.
Teman sebangku mengizinkan saya melihat tulisannya kala guru mendiktekan
pelajaran.
Rasanya
aneh, guru mendiktekan pelajaran, saya ikut mencatat sambil melihat buku tulis
teman yang sambil mencatat. Lebih nyaman jika saya berada di posisi kanan karena
akan memudahkan saya mencatat. Saya dan teman sebangku tak kidal, jadi posisi
terbaik bagi saya agar tak mengganggunya adalah di sebelah kanan.
Rasanya
tak enak juga karena harus bergantung pada teman sebangku atau teman lain untuk
itu. Syukurnya mereka mengerti dan sangat membantu. Pun guru-gurunya paham akan
keterbatasan saya.
Jadi,
bagaimana caranya agar saya tetap punya nilai bagus dan malah berprestasi?
Dapat peringkat kedua di kelas kecil yang muridnya hanya belasan karena sekolah
itu baru berdiri?
Belajar
sendiri lewat banyak membacalah yang membantu saya demikian. Mudah mencerap
pelajaran dan daya ingat kuat. Saya tak menyadari bahwa home schooling sendirian secara terpaksa selama 3 tahun setamat SD ini besar pengaruhnya. Atau karena
usia saya 3 tahun lebih tua daripada teman-teman sekelas, jadi lebih mudah memahami
sesuatu dalam pandangan remaja 15 tahun?
Sayang,
saya hanya setahun saja belajar di MTs., ibu memaksa bapak agar jual rumah di
Babakan Sari untuk membangun rumah baru di Babakan Sumedang. Ibu senang
berpindah-pindah rumah tanpa pertimbangan matang. Dan rumah yang di kampung pun
dijual demi tambahan dana untuk membangun rumah di tempat baru. Akibatnya
sekolah saya lagi-lagi terancam. Saya terpaksa mengikuti orang tua pindah rumah
meski bingung adakah sekolah yang akan menerima saya di Bandung. Dan ternyata
ibu berbohong dengan mengatakan sudah ada sekolah yang menerima saya.
Namun Allah masih melindungi saya, SMP Muhammadiyah 8 Antapani, Bandung yang
dekat kawasan Babakan Sumedang bersedia menerima saya, belajar di sana sebagai
murid khusus.
Sudah
dulu kisah ini, semoga nanti bisa saya lanjutkan dengan kisah masa SMP di
Bandung, lalu SMU di Balubur Limbangan, Garut. Kepala saya pening. Efek kurang
tidur.
Selamat
malam dan salam.
12 Januari 2019
#Kisah #Kenangan #Sekolah
#PendidikanInklusif #SHSTJanuari 12
Foto hasil Jepretan kamera ponsel
ANDROMAX PRIME
Istirahat mbak kalon kurang tidur, hehehe
BalasHapusditunggu kisah inspriratif saat SMA ny mbak, sepertinya seru, yang pasti sekarang bia menjadi orang yg inspiratif bagi setiap orang ya mbak, malah mempunyai nilai lebih. Semangat mbak
Iya, ya, Mas Adhi. Gak bagus juga saya sekarang ini, berpengaruh pada isi tulisan. Kurang tidur kala malam bikin siangnya sayua jadi lesu damn pengantuk.
HapusTerima kasih/
Teteh, hebat. Dengan segala keistimewaannya, saya kagum.
BalasHapusPercayalah, semakin berat beban yang dipikul, semakin kuat pula pondasi mental kita.
Teruslah menginspirasi.
Hanya orang biasa yang dibuat berbeda, Teh Anggi. Beban hidup kita ada takarannya masing0masing dan tak bisa digeneralisasikan. Yah, semoha saya bisa lebih kuat dan bermanfaat. Hatur nuhun.
HapusTeteh, hebat. Dengan segala keistimewaannya, saya kagum.
BalasHapusPercayalah, semakin berat beban yang dipikul, semakin kuat pula pondasi mental kita.
Teruslah menginspirasi.
Setelah membaca tulisan diatas, saya sangat terharu sekali Mbak...
BalasHapusSaya akui tidak mudah menjadi seorang " Rohyatisofyan ".
1. Mbak sudah sangat hebat sekali, karena dibalik keterbatasan itu, Mbak bisa menulis dengan sangat baik sekali, sehingga karya tulisan Mbak, bisa dimuat di banyak Surat Kabar.Mungkin di dunia menulis ada jalan rezeki buat mbak, silakan di kembangkan tulisan Mbak.
2. Setiap ujian tertentu akan dititipakan hanya kepada Hambanya yang mampu, dan Mbak sudah membuktikannya.
3. Di balik ujian ini, mungkin Allah SWT, ingin Menghindarkan Mbak dari pendengaran yang berbau dosa.
4. Coba dech Mbak belajar menghafal Al _ Quran, mudah2an dengan amalan itu akan mengantarkan Mbak bisa merasakan sesuatu yang indah.
5. Pernah coba , pakai alat bantu dengar Mbak ?
6. Maafkan dan doakan kebaikan buat orang tua, walau ia mengecewakan kita, Agar Allah SWT memberikan rahmat buat kita semua.
7. Maaf Mbak, saya sok menasehati, heheheh...... senyum dong..... :)
Saya pernah coba pakali alat bantu dengar di klinik King Aid sebagai ujicoba, cuma ortu tak menindaklanjutinya. Uang malah dipakai ibu untuk hal lain. Padahal bapak sudah susah payah kumpulin uangnya. Saya tersenyum, Kang. Dan terima kasih atas nasihatnya. Saya belum terpikirtkan untuk menghafal Al Quran meski beberapa kali khatam. Berat juga untuk jadi hafizah itu karena niat saya kurang kuat untuk demikian. Yaasin saja hafalnya separuh. Itu berkat baca berulang-ulang. Jadi terpikirkan bahwa Palung mulai sekarang harus hafal Yaasin juga agar terbiasa.
HapusKadang saya mensyukuri bahwa indra saya terjaga dari pendengaran yang tidak-tidak. Memaafkan itu memang tidak mudah, butuh waktu lama dan proses panjang. Semoga saya bisa.
Terima kasih banyak, Kang Nata.
Ada pertanyaan yg mengelayuti pikiran saya Mbak :
BalasHapus1. Bagaimana sich cara Belajar Untuk Penyandang Tunarungu ( maaf bukan utk menyinggung ) agar bisa sepintar Mbak ?
2. Bagaimana tips2 agar tulisan kita bisa diterima dan dimuat oleh harian surat Kabar ?
3. Bagaimana cara menulis yang benar berdasarkan pengalaman Mbak ?
4. Apa sich Rahasianya sehingga Mbak bisa juara satu lomba blog ?
semoga jawabannya bisa ditulis dlm bentuk artikel : )
Ya ampun, Kang Nata, Banyak juga pertanyaannya, he he, Semoga bisa saya tuliskan dalam bentuk artikel di blog. Saya mulai mengantuk jam segini. Menguap melulu. Insya Allah, akan saya upayajkan di lain kesempatan. Terima kasih.
HapusKumaha damang, teh Rohyati? Aku baru tau nih yg sebenarnya. Aku jadi salut loh dg segala kerja keras dan ketekunan mbak dlm menulis. Memang ga ada sekolah cara menjadi orangtua yang baik dan sempurna. Tapi sebaik2nya anak ada pahalanya memaafkan orangtua. Sedih ceritanya hiks. Sing sabar nya ��
BalasHapusKurang fit, Teh Nurul, sayanya gak pernah olah raga lagi. Jadi pengen latihan karate lagi agar bisa tetap bugar, soalnya olah raga itu melatih otak dan gerak secara bersamaan. Saya tak bisa berenang seperti Teteh, he he.
HapusIya, terima kasih. Saya juga sedang berjuang agar bisa jadi ortu yang baik bagi anak, ngeri jika jadi toxic parent, dampaknya buruk bagi kejiwaan anak.
Kisah yang sangat inspiratif, menurut saya, ketika Kakak menceritakan ini - tentang perjuangan Kakak untuk terus melangkah maju di tengah kondisi yang seperti itu. Berat sekali, pasti, tapi Kakak tidak menyerah. Itu poin pentingnya ... waktu itu Kakak belajar membaca gerak mulut / bibir guru dan teman kah Kak?
BalasHapusTerima kasih, Nonamuda Memang berat dan rasanya tak ingin mengulang lagi peristiwa itu. Malah lega tahapan hidup demikian telah lewat meski membekas juga.
HapusSaya biasa belajar membaca gerak mulut secara alami. Dulu kala kecil mah mudah karena tak ada gap year, setelah alami gap year selama 3 tahun maka interaksi sosial saya berkurang Saya pun alami kesulitan memahami gerak mulut lawan bicara, bahkan sampai sekarang juga. Kerap pula anatopi mulut bahkan kumis yang menutupi bibir mengganggu pembacaan saya yang mengandalkan penglihatan pada bagaimana bentuk mulut dan lidah yang mengucapkan suatu kata.
mbaaaa... saya baru baca tulisan ini.
BalasHapusDan ternganga membayangkan mba Rohyati kecil terasing di sekolah.
Saya saja yang sulit berbaur waktu kecil merasa masa-masa sekolah bukanlah hal yang menyenangkan.
Apalagi dengan keadaan seperti ini.
Semoga mba Rohyati selalu diberi kemudahan olehNya, yakin banget kalau Allah nggak pernah membuat hambaNya tak mampu memikul bebanNya.
dan salut banget mba *peluukkk, spechless banget huhuhu