Kepada
aku, kamu, dan siapa saja yang terperangkap di dalamnya: Selamat
subuh. Subuh bagiku untuk memulai awal hari setelah bangun dari lelap tidur
sebagai siklus istirahat. Dan aku ingin berbagi kisah hidup dengan harap,
semoga bisa menginspirasi aku, kamu, dan siapa saja yang (merasa) terperangkap
dalam dunia sunyi.
Aku
tak bisa berharap banyak dari kisahku ini; bahwa yang baca akan bangkit jika
terpuruk, atau lega karena masih ada yang berbagi dunia sama lantas merasa
senasib sepenanggungan untuk bangkit.
Aku
bukan orang hebat, bahkan dalam keterbatasan indraku, aku belum bisa memberi
kontribusi berarti bagi lingkungan sekitar. Aku tidak bergabung dalam komunitas
pemberdayaan perempuan yang memiliki keterbatasan, malah bergabung di komunitas
mana saja yang sesuai bagi gerak hidupku. Komunitas orang-orang normal
nondisabilitas.
Ya,
sepanjang hidupku aku harus belajar dan membaur di lingkungan “orang normal”
yang sejujurnya kerap pula membuatku merasa tersesat karena berbeda, seakan
tidak berada di tempat yang semestinya. Lalu di manakah tempatku harus berada
sebagai the stranger? Aku berbeda
karena memang berbeda atau mereka membedakanku?
Lalu bagaimana caranya agar bisa sama?
Tahukah
kamu, sepanjang hidupku aku berupaya keras agar bisa sama seperti mereka yang
nondisabilitas. Sama dalam artian bisa melakukan hal yang mereka lakukan.
Masalah yang kumiliki hanyalah komunikasi: aku tidak memahami ucapan mereka dan
mereka tidak memahami ucapanku yang intonasi suaranya kacau. Jadilah ada yang
merasa percuma berurusan denganku karena seakan tidak nyambung.
Mungkin
orang-orang yang merasa percuma itu bukan bagian dari duniaku, mereka tak punya
urusan untuk memahami karena merasa di dunia yang berbeda dan tak perlu peka
atau berempati. Mereka hanyalah sampel dari apa yang harus aku, kamu, dan siapa
saja yang senasib untuk dihadapi dengan lapang dada meski kesabaran kita ada
batasnya kala menghadapi cemoohan merendahkan.
Namun
percayalah, dunia tak melulu berisi sampel insan macam demikian. Masih ada
banyak insan nondisabilitas yang peduli dan nuraninya masih memiliki ruang
untuk empati bahkan simpati.
Coba
lihatlah sekitar, adakah yang demikian padamu -- yang berbeda itu? Rela berbagi
dan bertukar dunia dengan sukacita, seakan perbedaan hanyalah kenyataan yang
tak perlu diingkari, dan keterbatasan hanyalah pengingat agar senantiasa rendah
hati.
Bersyukurlah
kamu jika bertemu insan ramah disabilitas, meski populasi mereka cuma sebagian
kecil saja dari masyarakat sekitar yang kerap abai.
Hem,
soal masyarakat yang abai disabilitas, sebenarnya kita punya tanggung jawab
juga untuk mengingatkan. Berilah kontribusi pada dunia luas, meski peran kita
kecil adanya. Aku melakoni dunia menulis sejak tahun 1999. Namaku belum
terkenal, dan bisa jadi teman-teman di jejaring sosialku tidak tahu siapa aku
selain sebagai teman sesama penulis saja atau narablog (blogger).
Justru
itu membuatku sadar, kemampuanku tidak dilihat dengan cara karena aku berbeda,
yang dilihat adalah bagaimana karya.
Kamu
tahu, meski kita memiliki banyak keterbatasan karena terperangkap dalam dunia
sunyi, kita masih bisa menjalin banyak relasi dengan nondisabilitas juga,
bahkan kalau bisa menjalin silaturahmi dengan sesama disabilitas untuk saling
memotivasi dan mengagendakan banyak hal.
Salam
hangat dariku!
Cipeujeuh, 6 April 2018
Rohyati Sofjan, tunarungu
sejak usia 6 tahun, menjalani 12 tahun sekolah umum tanpa alat bantu dengar,
ikut ekskul karate kala SMU Al Fatah, Balubur Limbangan. Mukim di sudut kampung
nun di wilayah Balubur Limbangan, Garut.
Esai ini disertakan dalam
“LOMBA MENULIS SURAT INSPIRASI KARTINI 2018”. Sayang tak terpilih sebagai
pemenang maupun finalis, Jadi saya pajang saja di blog dengan harapan berfaedah
bagi yang baca. Salam.
#LombaMenulis #Surat #Curhat
#InspirasiKartini2018 #KayumanisFoundation #Disabilitas #Tunarungu
~Foto tangkapan layar dari
akun Instagram Kayumanis Foundation
Peluk hangat dari jauh...
BalasHapusTerima kasih, Teh Anggi.
HapusPeluk hangat dari jauh...
BalasHapusHapunten pisan naros. Kutan Teh Rohjati tunarungu? Kumaha pangalaman nalika sakola di sakola umum tanpa alat bantu dengar?
BalasHapusTeu sawios, Teh Aam. Abi tos ngadamel postingan kanggo ngaelaskeun. Hatur nuhun.
HapusApapun yang terjadi, bagaimanapun kondisinya, Kakak Rohyati telah membuktikan dan mematahkan pesimisme dengan karya. Itu yang tidak bisa dibantah oleh siapa pun. Terimakasih Kakak telah mengajarkan nilai semangat itu pada kami semua pembaca blog ini.
BalasHapusTerima kasihg, Nonamuda. Saya belajar optimisme dari lingkungan pegiat literatur. Dan menjadi narablog membuat saya kian bersemangat. Akhamsulillah, jika tulisan saya bisa membawa manfaat.
HapusSemangat selalu mba Rohyati, tulisan ini mungkin gak masuk pemenang lomba menulis, tapi sudah memenangkan hati kami para pembacanya.
BalasHapusSemoga mba selalu semangat dalam berkarya, tak pernah kenal lelah, apapun yang terjadi.
Karena hidup adalah perjuangan, dan hanya orang-orang yang gak kenal menyerahlah yang akan memenangkan perjuangan tersebut.
Teruslah menginspirasi mba, jangan pernah bosan :)
Terima kasih, Mbak Rey. Terharu dapat dukungan semangat dari jauh. Tiap baca komen teman di blog ini rasanya dapat asupan semangat. Inaya Allah selama saya masih diberi kesempatan dan jalan untuk berkarya, semangat itu tetap menyala. Harapan yang sama ula dari saya untuk teman-teman yang setia berkunjung ke sini. Mari saling beerbagi kisah. Semoga menginspirasi.
Hapus