PADA hakikatnya saya
bukan seorang pemuja Khalil Gibran sehingga mempraktikkan platonis sebagai
konsep cinta bawah sadar. Saya hanya merasa harus tahu diri dengan keadaan. Di
kala remaja sampai dewasa tentu saya merasakan apa itu yang namanya rasa suka
pada lawan jenis; dan suka itu saya artikan sebagai cinta karena ada rasa
peduli, kasih, sayang, rindu, sekaligus cemburu.
Hal
yang ironis dari cinta platonis saya semasa remaja adalah senantiasa bertepuk
sebelah tangan. Tentu karena kami masih sama belia, atau yang saya jadikan
korban subjek cinta platonis bukanlah orang tepat -- hanya saja sayanya terlalu
bebal menepatkan atas dasar cinta pada pandangan pertama.
Cinta pada pandangan
pertama?
Ya,
demikianlah saya, entah mengapa demikian, selalu seakan falling in love at first sight. Seakan merekalah, sang subjek cinta
platonis yang berjilid-jilid itu sesuatu yang cemerlang sekaligus mengguncang
sehingga membuat saya abai pada sekitar: pada stok lelaki lain yang bisa jadi
diam-diam menyukai saya namun tak berani mengungkapkan.
Lalu
mengapa saya selalu berpraktik cinta platonis, apakah tak ingin pacaran atau
jadi pacar sang subjek?
Kondisi
fisiklah yang mengalang saya untuk demikian. Saya tak bisa mendengar dari kecil
sejak usia enam tahun namun berupaya keras menjalani dan memiliki kehidupan
normal.
Karena
itu saya tak percaya diri untuk sekadar dicintai, apalagi sang subjek cinta
platonis jilid 1 terang-terangan tak tertarik pada saya karena sudah dari dulu
mengincar yang lain, teman saya sendiri kala kami belum pernah bertemu.
Waktu
saya langsung jatuh cinta at first sight
pada subjek cinta platonis (CP) jilid 1, usia saya baru 14 tahun, masih ABG
labil yang doyan baca apa saja. Terpengaruh romantisme cerpen majalah remaja
yang saya baca. Sang subjek kala berpapasan dengan saya di gang dekat rumah
hanya tersenyum tanpa maksud apa-apa, sekadar sopan santun sebagai sesama orang
kampung.
Namun
saya yang sedang memegang mangkuk baso panas seakan merona dengan rasa asing yang
ajaib; buncahan bahagia dan gede rasa campur aduk hanya karena senyum seorang
remaja lelaki kelas 2 SMA.
Sejak
itu saya mencanangkan rasa cinta padanya dengan ingin selalu melihatnya atau
sekadar berpapasan lagi; hanya demi melihat senyum itu. Senyum yang bodohnya
tak dimaksudkan untuk apa-apa!
Pada
akhirnya saya mengenal apa itu patah hati dan kecewa karena bertepuk sebelah
tangan. Dan tidak hanya pada dia saja. pada subjek cinta platonis jilid 3 dan
4. Keduanya teman sekolah kala SMP dan SMU. Yang SMP sekelas, yang SMU beda
kelas namun sama-sama ikut ekskul karate di sekolah.
Jilid
3 dan 4 tak tertarik pada saya dengan alasan keterbatasan fisik. Lah, ‘kan
mereka berpendengaran normal karena saya sekolah di sekolah umum padahal
pendengaran tak berfungsi.
It’s okay,
tak mengapa, sawios; kami itu
sama-sama remaja labil yang memiliki kriteria tentang lawan jenis idaman untuk
dijadikan yang spesial sebagai pacar. Saya memang patah hati dengan sikap
mereka yang berjarak, namun diam-diam sang jilid 4 kerap memperhatikan saya
dari kejauhan meski menjadikan gadis lain sebagai pacar.
Saya
tetap setia selama 2 tahun masa SMP dengan menyukai orang yang itu-itu saja
tanpa keinginan untuk memiliki -- meski diselingi rasa cemburu kalau dia dekat
dengan gadis lain yang jadi pacarnya.
Saya
juga tetap setia selama 3 tahun masa SMU dengan menyukai orang yang itu-itu
saja meski proyek CP saya malah terbongkar gara-gara analisis anak lain, teman
sekelasnya, yang memergoki kekerapan dan cara menatap saya dengan dosis beda
dibanding pada sang penganalisis, barangkali.
Hal
ajaib dari itu adalah meski saya berproyek CP demikian, anehnya dekat dan
nyaman dengan seorang teman lelaki yang itu-itu saja selama tiga tahun tanpa
pacaran. Seseorang yang menjadi sumber inspirasi untuk saya cerpenkan.
Sampai
saya bingung sendiri, pada siapa, sih,
CP itu ditujukan?!
Jujur,
saya merasa nyaman dengan sang teman dan tak ingin pacaran karena rasanya itu
akan mengkhianati komitmen saya pada CP jilid 4 tersebut. Atau sayanya tak
percaya diri dan takut kami renggang jika pacaran lantas kehilangan rasa dekat
satu sama lain tanpa ganjalan?.
Jujur,
saya abai pada sekian banyak anak lelaki di sekolah, kakak kelas maupun adik
kelas yang bisa jadi secret admirer.
Saya pada dasarnya tak nyaman untuk terlibat dalam suatu hubungan. Beginilah
rasanya krisis kepercayaan diri ini.
Bagaimana dengan CP jilid 2?
Oh,
kami tak pernah dekat apalagi saling tukar senyum. Sayanya tak bisa namun
merasa nyaman tiap melihatnya atau melihat senyum dan tawanya -- yang bukan
ditujukan pada saya.
Rumah
kami bersebelahan di Bandung, sekolah kami beda, pun kelasnya yang satu tingkat
di atas saya. Bagaimana saya bisa tertarik padanya? Itulah cinta monyet yang
naïf namun sama-sama tak mengenal luka apalagi melukai.
Segalanya Berubah karena
Cinta Platonis Jilid 5
Boleh
dikata cinta ini hadir kala usia saya dewasa, 24 tahun! Dan pada pandangan
pertama karena senyumnya yang tidak ditujukan untuk menggoda atau apa. Mungkin
inilah cinta pertama secara dewasa dalam hidup saya setelah fase remaja yang
labil.
Dia
adalah jawaban bagi doa saya agar bisa jatuh cinta pada orang yang tepat, meski
pada hakikatnya dia jelas bukan orang yang tepat karena not single. Namun saya tak peduli karena tak menginginkannya dalam
kepemilikan. Saya hanya ingin menjadikannya sebagai subjek CP lagi setelah tiga
tahun tak tertarik pada lelaki mana pun.
Hati
telah membawa saya padanya. Hati itu pula yang entah mengapa menjadikan saya
bersemangat menjalani hidup karena ada yang cemerlang sinarnya. Seakan menerangi
saya. Dan dia ternyata tidak sekadar menerangi tetapi membukakan sekian pintu
untuk saya ketuk dan masuki.
Dia
lebih dari sekadar cinta platonis, dia seakan malaikat dalam wujud manusia bagi
saya.
Kami
jauh dan dipisahkan jarak sekaligus kemasing-masingan, namun kami juga saling
mendoakan. Perasaan saya yang dulu menggebu-gebu telah tawar dan berganti
penghormatan.
Kala
saya masih lajang dan di Bandung pun, tetap menghormatinya dengan jalan menjaga
jarak. Saya seorang lajang yang tak berpikir untuk melakukan hal tercela dalam
relasi antarinsan. Saya lajang yang jomlo karena keadaan dan belum saatnya
beroleh pasangan.
Dia
adalah sumber inspirasi saya untuk menulis cerpen dan puisi. Saya tak peduli
dia pada akhirnya tahu dan cinta platonis seakan tak murni platonis lagi karena
terungkap. Saya hanya ingin mendedah rasa yang membuncah agar tak gelisah
Cipeujeuh, 10 Mei 2018
#CintaPlatonis #MasaRemaja
#Kenangan #Nostalgia
~Gambar hasil paint sendiri dan love karya Ai Ghina S.M.
Aku mengenal cinta tatkala masih SD, aduh cinta yang begitu menyenangkan walau bertepuk sebelah tangan. Anak seorang guru yang menjadi idamanku saat itu. Ah jadi mengingatkan masa laluku.
BalasHapusHa ha, Mas Bumi. Ternyata yang namanya cinta platonis bisa menghinggapi siapa saja. Dan wow juga Mas Bumi kala SD, hi hi. Palung saja minta ampun ternyata suka pada teman sekelasnya, anak manis yang kalau namanya saya sebut akan bikin Palung GR. Saya tahu kala ia iseng mencorei kaca depan dengan nama. Ha ha. Anak kelas 3 MI yang umurnya 9 tahun sudah kenal rasa suka. Mamah cuma geleng-geleng kepala.
Hapus