Kamis, 03 Januari 2019

Media Massa yang Telah Membayar Honor Pemuatan Tulisan Saya




ADA banyak media massa cetak dan daring (dalam jaringan) di Indonesia, meski rasanya tak sesuai dengan jumlah rakyat negaranya. Alasan utama yang klise adalah rendahnya minat dan budaya baca masyarakat, dari dulu sampai sekarang. Hal demikian berimbas pada pemasaran media sehingga terbatas oplah cetaknya. Hanya kalangan tertentu yang seakan ekslusif saja jadi pembeli dan pembaca setia media massa, jumlahnya pun cuma sekian persen, sangat tidak sebanding.

Sekarang saja, media massa cetak hanya bisa mengandalkan pemasukan dari iklan yang ironisnya mulai jarang, seiring berkurangnya jumlah pembeli hasil cetakan medianya. Pemasang iklan mulai beralih ke media daring dengan alasan harga pemasangan iklannya lebih murah. Tidak heran, banyak media massa cetak (koran, majalah, dan tabloid) yang tumbang. Seperti tabloid Bola yang beberapa bulan lalu terpaksa berhenti terbit, padahal termasuk tabloid khusus olahraga yang usianya sudah tua. Ada pertimbangan yang membuat Kompas Grup terpaksa menghentikan penerbitan Bola. Senja kala penerbitan di Indonesia!
Senja kala demikian tentunya berpengaruh pada honor yang harus dibayarkan media massa cetak. Ada media yang sengaja terang-terangan mengumumkan tak menyediakan honor, jadi penulis yang karyanya tayang di sana harus rela jadi kontributor gratisan. Padahal penulis juga butuh modal untuk memasarkan karyanya ke mana-mana. Termasuk modal agar bisa tetap bertahan hidup, jika jalan mencari nafkah satu-satunya hanya menulis!



Bersyukurlah masih ada media yang menyediakan honor pemuatan bagi penulis luar yang karyanya dimuat. Meski jumlahnya hanya sebagian kecil dari keseluruhan media cetak dan daring yang ada di Indonesia.
Saya hendak bahas soal honor pemuatan yang telah diterima dari media, sejak awal mula memasuki dunia menulis sampai sekarang. Dari tahun 1999 sampai 2018. Jangan kira sebagai penulis saya kaya, tetap berada di kalangan ekonomi menengah ke bawah. Menjadi penulis untuk media massa itu tidak mudah.

1.   Pikiran Rakyat, honor pertama saya dari pemuatan dua puisi. Satu puisi mungkin 30 ribu soalnya saya dapat 60 ribu. Senang banget dapat uang pertama meski segitu. Saya ambil langsung di kantornya sore hari. Kala itu kantor redaksi dan bagian keuangan masih di Jalan Soekarno-Hatta, Bandung.
2.   Galamedia, honor puisi dalam satu kolomnya (bisa untuk beberapa puisi) hanya 20 ribu tanpa potongan. Cerpen 50 ribu. Esai atau artikel 50 atau 60 ribu, bergantung panjang barisnya. Honor diambil sendiri ke kantornya setelah menelefon redaksi. Ada penjaga wartel (warung telefon) yang baik bantu konfirmasi.
3.   Annida, rubrik puisinya berhonor 100 ribu tanpa potongan, ditransfer kemudian setelah pemuatan. Sayang sekarang majalahnya tak terbit lagi, padahal saya suka nuansa islami dan sastranya. Itu majalah untuk remaja namun tetap oke dibaca yang sudah dewasa, lelaki maupun perempuan meski khusus ditujukan untuk perempuan.
4.   Republika, honor esai sastra yang berjudul “Imajinasi Kencing” 300 ribu rupiah, tanpa potongan, namun saya harus konfirmasi soal honor karena sebulan tak dibayar. Lalu ada lagi, kisah untuk rubrik POLAH dapat 150 ribu rupiah. Ditransfer langsung tanpa saya konfirmasi soal pemuatan karena tak tahu.
5.   Suara Karya, cerpen dan esai lupa apakah 150 atau 200 ribu rupiah. Sudah lama, sih.
6.   Angsoduo, media daring itu membayar penulis luar yang karyanya tayang di sana, puisi saya dimuat dan dapat honor 100 ribu rupiah. Sayang untuk cerpen malah tak dibayarkan honornya. Mereka kesulitan dan terpaksa menutup situsnya karena tak beroleh bantuan dari pemerintah Jambi; yang diharapkan berkontribusi untuk membangun sasfra dan budaya daerah. Sedih juga baca kisah yang dipaparkan redakturnya kala saya menanyakan soal honor.
7.   Syir’ah, beberapa puisi untuk rubrik khusus puisi dalam majalah itu diganjar dengan honor 100 ribu rupiah tanpa potongan, langsung ditransfer tak pakai lama. Majalahnya tutup karena dianggap kontroversi.
8.   Jawa Pos, esai sastra “Menjadi Editor” berhonor 400 ribu rupiah potong pajak, ditransfer seminggu atau 10 hari setelah tanggal pemuatan.
9.   Titikoma, situs sastra yang diasuh Hasta Indriyana dan kawan-kawan itu menyediakan kaus oblong sebagai hadiah kontribusi. Langsung dikirim lewat JNE tanpa pemberitahuan, saya malah tak tahu bahwa cerpen dan esai saya dimuat mereka. 3 pasang kaus dengan logo Titikoma.
10.               Kartika, cerpen 300 ribu rupiah, opini 200 ribu rupiah. Sayang majalah itu tak terbit lagi.
11.               Imut, cerpen anak 100 ribu rupiah potong pajak. Majalah khusus anak yang sayangnya tak bertahan lama.
12.               Aku Anak Saleh, cerpen 100 ribu, honor dikirim setelah sebulan tanggal pemuatan berikut bukti terbit majalahnya dan slip bukti transfer dari BRI (mungkin karena rekening saya BRI). Sayang juga sudah lama tak terbit.
13.               Tribun Jabar, kebanyakan artikel dalam bentuk opini. Honor 200 ribu rupiah tanpa potongan, langsung ditransfer sepekan atau 10 hari setelah pemuatan.
14.               Pikiran Rakyat, cerpen 250 ribu rupiah potong pajak. WISATA BAHASA 150 ribu rupiah potong pajak. Sebaiknya konfirmasi redaksi soal honor pemuatan. Kala itu saya pulang kampung ke Balubur Limbangan, Garut, jadi tak bisa ambil sendiri setelah telefon. Hubungi nomor telefon yang ada untuk transfer honor ke rekening.
15.               Jawa Pos, esai sastra ada peningkatan honor, bergantung isi dan baris. Saya pernah dapat 700 ribu dan 650 ribu rupiah, potong pajak. Jumlah yang besar. Namun itu dulu, tahun 2014.
16.               Pikiran Rakyat, lagi-lagi hanya esai bahasa yang bisa menembusnya. Kali ini ada kenaikan jadi 250 ribu rupiah potong pajak. Untuk tahun 2018.
17.               Riau Pos, esai bahasa untuk rubrik ALINEA yang diadakan oleh Balai Bahasa Provinsi Riau, honornya 250 ribu potong pajak dan biaya lainnya (mungkin transfer). Pencairan honor 6 bulan setelah pemuatan, diakumulasikan dengan para penulis yang karyanya dimuat dalam waktu 6 bulan. Yah, agar sekaligus karena barangkali dananya cair per semester. Bahkan tulisan saya harus masuk daftar tunggu dulu setelah dianggap lolos seleksi dan akan dimuat. Sabar. Anggap tabungan. Redakturnya memberi tahu jika akan dimuat, plus bukti transfer honor disampaikan lewat WA oleh bagian keuangannya.
18.               Denpasar Post, resensi tentang buku puisi Angga Wijaya honornya 50 ribu potong pajak. Angga bantu cairkan dan transfer. Jadi malu karena ia tak mau melakukan pemotongan untuk biaya transfer.
19.               Pos Bali, esai tentang buku puisi Angga Wijaya, kali ini Angga bantu cairkan lagi dan transfer sendiri ke rekening saya. Jadi segan sekarang karena dia tetap tak melakukan pemotongan sesuai saran saya. Kalau ada tulisan Anda yang dimuat di sana, silakan hubungi bagian redaksinya lewat telefon atau surel (e-mail).
20.               Rakyat Sultra, esai bahasa saya yang dimuat pada tanggal 30 Oktober dibayarkan honornya pada tanggal 21 Desember. 425 ribu rupiah potong pajak dan lainnya. Pembayaran per 3 bulan sekali, disekaliguskan dengan honor penulis lain.

Itu saja, sih. Kalau media lain yang tak bayar honor saya karena tak bisa atau karena tak berhonor, mah, tak masuk hitungan.
Saya harap semoga tahun ini benar-benar produktif agar bisa beroleh lebih banyak lagi honor pemuatan dari beragam media. Masih banyak media incaran yang menyediakan honor secara benar pembayarannya, belum bisa saya tembus.
Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Tempo, Detik, Basabasi, Mojok, Tirto, Simalaba, Adzkia, Kurungbuka, dan entah apa lagi yang berhonor jelas serta benar-benar dibayarkan. Saya lebih pilih media demikian karena menulis itu butuh modal!
Modal kerja keras, ide yang diwujudkan secara nyata, riset, pustaka, alat (gawai), listrik, dan pulsa untuk paket data. Dan silakan Anda tambahkan sendiri, misal ongkos untuk transportasi ke warnet dan rental seperti yang dulu saya lakukan.

Saya baru selesai menulis ini malam hari. Mulainya pagi, namun berhenti untuk tidur dulu karena saya lelah setelah bangun jam setengah 4 dinihari untuk beberes rumah dan masak. Lalu komputer mendadak hilang ikon LOCAL AREA NETWORK dari ruang network connection kala disable-nya kumat. Tak tahu apa sebabnya, setelah saya klik diagnose, hasilnya laporan kerusakan. Lalu mendadak ikonnya hilang padahal sebelumnya masih ada. Sudah mulai ulang (restart) komputer, hasilnya tetap sama, dan di sudut kanan bawah tempat biasanya ada ikon koneksi malah kotak dilingkari merah. Setelah aliran listrik padam dan komputer mati tanpa saya sadari karena hanya mengandalkan sambungan listrik lewat kabel adapter, magribnya komputer bisa dinyalakan dengan tampilan normal lagi. Lieur.
Sungguh, saya deg-degan karena punya target kerja harian, menulis setiap hari dan menayangkannya di blog setiap hari juga, plus blogwalking setiap hari. Ada banyak komentar dari para pengunjung yang belum saya balik kunjungi. Tulis ini dulu lalu jalan-jalan ke blog mereka.
Semoga komputer tetap bisa bertahan lama sampai tiba masanya saya ada rezeki untuk beli gawai baru, lalu perbaiki komputernya di lain waktu.
Tulisan ini semoga bermanfaat. Bisa memberi info bagi pembaca yang ingin atau sudah memasuki dunia menulis. Semoga di lain waktu saya bisa menulis lebih detail tentang alamat dan tata cara kirim ke media.
Salam.
Cipeujeuh, 3 Januari 2019
#HonorMenulis #PembayaranHonor #MediaMassa #SHSTJanuari3
~Foto hasil jepretan kamera ponsel ANDROMAX PRIME, slip bukti honor dari Angga Wijaya
 

20 komentar:

  1. Balasan
    1. Terima kasih, Mak. Aamiin. Harapan yang sama juga dari saya untuk Emak.

      Hapus
  2. Wah, saya keren Mbak Rohyati. Saya kesulitan nembus media massa, paling Jaya Baya dan Panjebar Semangat. Lainnya belum, hihi ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tetap ikhtiar dan berdoa, serta tak lupa terus memperbarui diri dengan wawasan menuliis agar bisa lebih baik lagi. Jangan patah semangat, ya. Saya sudah ngabisin waktu hampir 20 tahun di dunia menulis, masih jalan di tempat. ZHarus terus belajar dan bekerja.
      Semoga dua media yang telah Mbak Afin tembus bisa merupakan batu loncatan agar dikenal. Yang penting konsisten.

      Hapus
  3. Keren Mba. Terima kasih atas sharingnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, senang bisa berbagi dengan blog dan tersebar secara luas. Terima kasih juga Mbak Denin berkenan singgah, nanti saya akan berkunjung, ya. Nuhun.

      Hapus
  4. Kece banget mbak. Saya harus banyak belajar membuat tulisan yang runut seperti karya mbak di Blog. Semoga saya bisa mengikuti jejaknya ❤️❤️❤️

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Mbak Ewa. Semoga kita bisa saling belajar dari masing-masing tulisan di blog. Saya juga bisa tambah ilmu tentang bullet journal meski tak bisa gambar karena tangan kanan kerap dipakai kerja berat dulunya. Jadi goresan saya kasar.

      Hapus
  5. Kadang bahagia itu datang di saat-saat tak terduga. Salah satu kebahagiaan seorang penulis adalah ketika mendapat honorium, walaupun nominal yang diberikan belum besar. Tapi setidaknya honorium adalah bagian dari penghargaan.

    Jika ada waktu luang, silakan mampir ke blog saya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Mas Anam. Honor adalah tujuan utama penulis karena sebagian besar penulis butuh honor sebagai penopang hidup mereka agar tetap semangat melakoni dunia menulis.
      Sedih jika kita sampai harus nanyain honor berulang kali seakan pengemis, jika medianya abai bayar honor.
      Saya dan beberapa teman lain pernah dam sering alami hal itu. Makanya saya kapok dan selektif kirim. Realis saja, saya butuh balik modal dan hasil, he he. Pemikiran khas mamah-mamah yang ingin bisa bantu suaminya.
      Siap singgah di blog Mas Anam. Terima kasih.

      Hapus
  6. Masha Allah mbaaaa, 4 jempol deehhh
    Saya merasa kayak remahan biskuit anak saya di depan mba hahaha
    Saya pengen bisa menulis seperti mba sebenarnya, cuman balik lagi ke gaya tulisan ala saya yang amburadul gini huhuhu.
    Kayaknya saya kudu rajin2 menulis di kompasiana nih biar bisa melatih tulisan yang baik dan benar.
    Emang keren kok tulisan mba, keliatan banget senior dalam hal kepenulisan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Rey,, aduh, jangan merasa gitu, dong. Saya jadi takut terjerumus untuk ujub. Padahal belum tentu saya lebih baik daripada Mbak Rey. Kita masing-masing pribadi unik. Jam terbang kepenulisan memang membedakan, namun semuanya butuh kegigihan.
      Tetap semangat, jangan khawatir, nanti seiring waktu Mbak Rey pun akan berproses lebih baik, kok. Insya Allah.
      Mbak rey sudah punya niat dan tekad untuk itu. Semoga Allah sayang Mbak dan memudahkan jalan. Semangat dan mari saling belajar, tak ada murid dan guru yang sebenar-benarnya. Yang ada hanyalah hubungan timbal balik untuk beroleh ilmu dan manfaat serta menyalurkannya sehingga masing-masing merasa berharga.

      Hapus
  7. Asiknya jika merasakan honor berupa uang dari hasil tulisan sendiri. Saya belum pernah ngerasain hadiah uang. Kebanyakan hadiah-hadiah itu berupa merchandise atau souvenir.lumayan buat koleksi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah banget Teh Atin dapat hadiah produk, lumayan bisa menghemat uang, kok. Lagi pula, adakalanya produk yang didapat lebih besar nilai nominalnya daripada honor tulisan, dan gratis ongkir jadi tak perlu bayar ongkit plis potongan antarbank jika ada.

      Hapus
  8. Tulisan mba yang ini izin saya bookmart deh, mau nyobain kirim tulisan ke media daringnya, mana tau bisa keterusan dapat honor

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silakan. Senang bisa membawa manfaat. Setidaknya jadi penyemangat tentang kisaran honor dari media berapa saja. Mas Irsyad sudah bagus tulisannya. Ada banyak media daring sekarang.

      Hapus
  9. Assalamualaikum mb, salam knal, keren mb. Sayangnya engga nyantumin email media nya buat ikutan kirim naskah, hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waalaikumussalam, Mbak Sri. Terima kasih. Insya Allah saya akan bikin tulisan tersendiri untuk itu. Harus kumpulkan data dulu, soalnya ada banyak media lama yang tumbang, media baru pun belum jelas apakah berhonor. Jadi bingung karena saya ingin tayangkan tulisan mengenai media berhonor, sayangnya sedikit sekarang ini. Media daring bagus sebagai alternatif.

      Hapus
  10. Wah keren Mbak Rohyati. Dulu aku pernah kirim tulisan di media cetak. Kalau dimuat seneng banget. Tahun 2009 terakhir dimuat majalah ummi. Di majalah ini ada 4 naskah yang dimuat. Kebanyakan naskahku di majalah2. Koran pernah tapi gak dapat uang. Setelah itu fokus ngurus keluarga karena punya bayi. Alasan sih. Aku orangnya malas, hihi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Nur juga keren, nembus majalah Ummi itu susah, iya karena saya jarang bisa nulis yang baik makanya mentok. Gak jadi kirim, he he. Lupa apa pernah kirim namun yang jelas karena temanya islami saya jadi kesulitan.
      Sayang sekarang majalahnya tumbang. Media cetak mah banyak yang senja kala.
      Yah, kalau korannay tak ngasih honor, sudah tentu bikin penulis malas da kapok. Mending fokus urus keluarga dan blog saja, ya, Mbak.

      Hapus

Terima kasih sudah singgah, silakan tinggalkan jejak komentar sebagai tanda persahabatan agar saya bisa lakukan kunjungan balik. Komentar sebaiknya relevan dengan isi tulisan. Nama komentator tidak langsung mengarah ke URL pos blog agar tidak menambah beban jumlah link pemilik blog ini. Jangan sertakan link hidup dan mati, apalagi iklan karena termasuk spam.Terima kasih banyak. Salam. @rohyatisofjan

Disabilitas Mengelola Komunitas

Arti disabilitas adalah keterbatasan aktivitas dan partisipasi akibat  ketidakmampuan mental atau fisik. Hal itu bisa menjadi stigma dalam m...