Hujan. Selalu demikian di
bulan Januari 2001 ini, hujan benar-benar mewarnai hari. Sore. Ya, pukul empat
lebih, hujan seperti pantulan manik-manik kaca menderas seketika dengan
anggunnya. Aku menyesal, sumur di luar pasti akan keruh lagi airnya, mestinya
diberi atap nanti.
HUJAN. Aku duduk di sini,
dekat jendela kaca memperhatikan curahan air yang mengguyur serentak dari
udara. Seperti apakah bunyinya? Di atas atap, di dedaunan, di tanah becek,
bahkan di kolam ikan yang berderet nun di luar? Aku tak tahu. Sunyi. Kecuali
gelegar petir yang menghantam bumi. Ya, hanya itu yang kurasakan.
Aku
ingat kamu. Kamu. Aku suka hujan, aku suka suasananya yang begitu kontemplatif.
Kurasakan ekstase tertentu jika hujan. Memberiku inspirasi untuk menulis puisi.
Bahkan juga menulis surat untukmu dalam suasana hujan kupikir cukup romantis,
meski isinya terkadang bernada humor yang ironis.
Aku
rindu suratmu. Yang selalu hangat dan menggembirakan, simpel dan terkadang
menggetarkan. Namun mungkin kamu sudah kecewa dengan kenyataan yang kuungkapkan
dalam suratku yang barusan kukirimkan. Mungkin kamu kebingungan dan terpaksa
bertanya pada orang yang kebetulan pernah bertemu denganku, entah Mas Herwan FR
atau Agus Kresna, meski ada yang merasa tak berhak untuk mengatakan apa-apa
karena aku sudah memintanya agar jangan dulu mengabarkan kehadiranku pada
orang-orang untuk suatu alasan.
Dan rentetan kemungkinan lainnya mengendap
dalam benakku. Namun aku harap kamu benar-benar cukup dewasa untuk menerima
realita dalam hidup yang penuh ketakterdugaan.
Aku
kesepian.
Apa
yang kulakukan. Duduk di kursi sembari mengangkat kaki, dan di rumah hanya ada
aku sendiri. Aku membayangkan kamu. Sosok yang tak pernah kutemui. Hanya foto
yang kamu kirimkan melengkapi imajinasi: seorang lelaki gondrong yang menarik,
dan merasa dirinya secara psikologis sudah dewasa dalam usia 23 tahun.
Heran,
di luar belasan burung entah apa namanya berseliweran dalam guyuran hujan
begini, apa yang mereka cari? Barangkali kamu lebih tahu ekologi dan mau
berteori?
Aku
kedinginan.
Aliran
listrik padam. Barangkali segelas teh manis panas bisa menghangatkan tubuhku.
Apakah di Bandung saat ini sedang hujan juga, dan kamu tengah bagaimana? Mengisap A Mild
ditemani secangkir kopi panas? Menulis puisi, cerpen, esai, surat, atau tugas
mata kuliah? Di kampus, di rumah, atau di suatu tempat entah? Membaca diktat,
buku tertentu, karya sastra, atau komik? Di depan monitor komputer,
mengobrol, atau nonton TV? Mendengarkan The Doors atau Ebiet G. Ade? Tidur
atau makan? Salat Asar atau menggigil kehujanan? Atau mengguyur badan di kamar
mandi? Atau tak melakukan apa-apa sama sekali? Cuma Tuhan yang tahu.
Relasi. Relasi yang aneh, katamu, karena lewat surat. Lalu
kamu menyuruhku belajar internet biar bisa bikin e-mail dan tak perlu ke perpustakaan konvensional. Dan kamu janji
akan mengajariku jika nanti bertemu.
Bertemu.
Aku juga ingin bertemu kamu. Namun untuk apa? Adakah makna dari pertemuan itu?
Kubayangkan kamu sebagai Indra, temanku, yang membagi dunia lewat tangannya.
Namun apa kamu bisa bahasa isyarat sederhana cara abjad?
Kamu
kecewa karena aku tuli? Apakah dalam surat pertamaku aku harus memberi tahu
siapa diriku secara mendetail? Aku telah mengambil risiko. Begitu pun kamu.
Risiko untuk merelasi diri dan berinteraksi dengan orang asing. Sebuah
silaturahim yang kumulai, haruskah berakhir sia-sia?
Aku
berusaha menerima diriku sebagaimana adanya dan menjadi orang biasa, meski aku
tahu orang-orang di sekitarku kecewa. Keluarga, teman-teman, sahabat dekat,
sampai siapa saja yang memang merasa harus kecewa. Bertahun-tahun, ada belasan
tahun mungkin, sejak usiaku ± 6
tahun sampai 25 tahun, kujalani hari dengan sunyi, sebuah dunia tanpa
bunyi-bunyi. Bisakah kamu bayangkan?
Ah,
aku tak akan bisa mendengar permainan harmonikamu, lalu membandingkannya dengan
permainan harmonika abangku. Atau
denting gitarmu dengan Eric Clapton. Atau
bagaimana suatu melodi tercipta dari puisi. Aku juga tak akan tahu warna
suaramu saat memusikalisasikan puisi, berdeklamasi, menyanyi, tadarus, berperan
dalam lakon teater, atau bicara biasa saja.
Kamu masih ingat, dalam salah satu suratmu, kamu menulis:
Setting: Kamar, 141000 – 21.20 WIB, Dewa
19 – Terbaik- terbaik.
Gurun yang baik,
Barangkali sekaranglah saatnya!
Lalu
kamu membiarkan selembar halaman kertas itu kosong. Aku mengerti artinya, kamu
ingin aku memutar lagu tersebut, dan membiarkan “Terbaik-terbaik” bicara. Sesuatu yang tengah menggambarkan
suasana hatimu saat itu? Sayang, aku tak bisa melakukannya. Kata teman-teman, lagu itu tentang cinta dan
persahabatan. Kurasa aku harus bertanya pada Rie, Indra, atau Nana; apa ada
yang punya teksnya? Ironis, bukan?
Tampaknya kamu senang menulis dengan diiringi musik. Aku
iri padamu. Karena aku ingin tahu juga seperti
apa indahnya musik klasik itu, entah Mozart yang kata Indra melankolis; atau Chopin di masa silam, gumam Cecep Syamsul Hari dalam puisi “Meja Kayu” yang kembali
muram-surealis, menulis lagu pedih
tentang hujan2; atau tahu di mana letak jeniusnya Beethoven yang mencipta komposisi meski tuli; dan
bisa mengerti mengapa ayahku sangat menyukai musik klasik selain country.
Aku rindu bunyi gamelan, dan ingin kembali belajar
menari. Entah jaipong Jugala, tari
klasik Jawa, atau mungkin sendratari seperti yang sering kusaksikan di TVRI
waktu kecil dulu. Aku ingin berperan sebagai Drupadi atau Srikandi, perpaduan
antara kelembutan dan keperkasaan.
Kamu lebih suka
karakter Bima? Aku suka karakter Yudistira, ia satu-satunya yang (hampir)
berhasil mencapai puncak Mahameru sementara saudara-saudaranya satu per satu
berguguran. Kamu tahu artinya, ‘kan?
Aku lupa penggalan kisah ini dari komik wayang R.A. Kosasih atau majalah Ananda -- yang pernah kita baca waktu
kanak-kanak dulu meski mungkin dalam dimensi berbeda.
Sudahlah, setidaknya aku bisa tahu minatmu, dan kamu tahu
minatku.
Aku tak tahu banyak tentang musik, padahal kamu pasti
asyik sendiri dengan The Corrs, Dewa, Kubik, Jim Morrison, bahkan juga Jimi
Hendrix. Mengapa, sih, dalam cerpenmu
yang barusan dimuat koran, kamu menulis soal Jimi Hendrix dan Jim Morrison? Itu mengingatkanku pada Abuy teman SMU-ku yang
sangat mengidolakan mereka dan senang cerita soal itu padaku, seolah merekalah
yang bisa meluapkan kegelisahan terpendamnya yang liar menuju muara kebebasan.
Lucu, adakah orang tuli yang begitu besar rasa ingin
tahunya tentang sesuatu yang tak mungkin bisa dirasakan. Katakan aku aneh. Aku
memang orang aneh. Namun aku juga berharap bisa tahu lebih banyak tentang
Iqbal, Rumi, Camus, Dylan, Gibran, Cummings, Malna, sampai Rendra. Ya, itu jika
kita bertemu. Mungkinkah itu?
Tempias hujan tidak deras lagi, namun kesedihan itu masih
menghantam ruang terdalam. Aku butuh kawan. Kamukah orangnya? Tidak, kamu
mungkin sudah berharap agar aku jadi
seseorang yang ke lima setelah kamu kecewa dengan sekian perempuan yang masuk
dalam hidupmu, meski itu terlalu dini karena kita baru tiga kali saling menyurati.
Semudah itukah hatimu terpaut, atau kamu cuma ingin mengujiku?
Tidak. Aku tak berharap apa-apa darimu. Aku hanya ingin
jadi kawanmu. Kawan biasa. Bukan pacar. Meski aku juga ingin punya pacar,
sebagaimana perempuan kebanyakan. Seseorang yang membuatku jatuh cinta
sungguhan. Seseorang yang mencintaiku apa adanya. Seseorang di mana bisa
berbagi dunia. Naifkah?
Hujan. Aku kembali memandang ke luar jendela kaca. Di
sana gunung begitu dekat dengan latar pepohonan seperti hamparan permadani
hijau kebiruan, dan kabut yang mengental; terasa beku dalam pelukan
kegaiban-Nya. Ya Tuhan, barusan kulihat kilatan petir membelah langit
desa di sebelah utara. Subhanallah,
indah sekali bentuknya; kilatan warna perak yang abstrak dengan latar kelabu.
Aku membayangkan bagaimana seandainya jika petir tiba-tiba menghajarku.
Sudahlah, mungkin lebih baik aku membayangkan diriku sebagai Walter Spies atau Alain Compost; akan
kuabadikan keindahan panorama hujan.
Tidak.
Aku bukan mereka. Aku cuma punya kata-kata. Bukan kuas atau kamera. Namun
kata-kata yang berhamburan dari mulutku pasti tak akan kamu mengerti sepenuhnya
jika kita berbicara. Kamu akan membutuhkan waktu untuk mengenali warna suaraku
yang kacau intonasinya, seperti teman-teman dekatku. Mungkin cukup lama. Apakah
kita akan bertemu dan bicara seolah kawan lama dengan akrabnya? Atau kaku lalu
merasa sia-sia?
Aku
bukan May Ziadah, Elizabeth Whitcomb, Mabel Hubbard-Graham Bell, Marlee Matlin,
atau Jane Mawar. Atau perpaduan perempuan mana yang pernah kau kenal.
Hujan….***
Cipeujeuh, 24 Januari 2001
Catatan:
1 Semacam sejarah yang terkubur, maaf bagi
yang bersangkutan, sebab telah kuambil pelajaran akan arti perkawanan pun
penolakan .
2 Aku telah minta izin pada Kang CSH lewat
surel panjang untuk mengutip kalimat dalam puisinya dan copy-nya masih tersimpan dalam sent
meski tak ada tanggapan, namun semoga Kang CSH mengizinkan.
~Telah dimuat di H.U Suara Karya, Kamis, 8 November 2008
#Cerpen #Curhat #Hujan #Melankolia #2008
~Foto hasil jepretan kamera ponsel
ANDROMAX PRIME
Ini cerpen punya pukulan telak saat tertulis 'tuli'. Cerpen yang indah, sekaligus bermakna dalam tentang cinta (dan penolakan seorang lelaki?).
BalasHapusTerima kasih, Nonamuda. Yah, sebenarnya sulit juga membuka diri. Terutama pada seorang lelaki yang perkenalannya saya awali karena tertarik pada pemikirannya, lalu cerita malah bergulir lain. Dan ujungnya ada rasa patah yang pahit. Demikianlah penolakan itu.
HapusCinta? Ehm, saya sedang berproyek cinta platonis pada lelaki lain sebelumnya. Berupaya menyukai lelaki lain dan jatuh cinta namun gagal melulu. Ujungnya jelas, patah hati, ha ha. Karena penerimaan adalah hal yang kadang mustahil saya rasakan.