Limbangan, 20 Mei 2007
Assalammualaikum,
Kaifa ha’luka, Sin?
Malam ini saya tidak sedang dalam
suasana hati yang enak. Barangkali masalah siklus bulanan yang bikin mood garing. Atau malah suasana rumah yang desperado,
hehe, bikin saya enggan menulis apalagi membaca apa saja.
Itu jelek! Mohon jangan ditiru! Desperate-nya
berkaitan dengan penyakit lama yang kambuh kala sikon tak kondusif.
Ya, ginilah, Sin. Saya tak disiplin
dalam menerapkan pola keseharian yang profesional jika ingin melakoni dunia
menulis secara total sebagai sumber mata pencaharian dan bukan untuk
iseng-isengan.
Tinggal di tempat yang jauh dari
akses mobilitas itu ternyata ada efeknya. Dibilang malas bukan, dibilang enggan
atau tak bisa juga bukan, dibilang tak mau kurang tepat. Jadi apa, dong? Cuma
masalah psikologi saja, bagi yang terbiasa dengan tantangan dan rangsangan
ditambah fasilitas sarana yang memadai (warnet dan rental komputer), rasanya kok
garing banget.
Teman banyak, apalagi jika ada yang
membutuhkan bantuan saya, cuma susah banget buat ketemuan. Korespondensi lewat
pos saja bisanya, meski saya suka angin-anginan untuk segera membalasnya (ada
sisi gelap dalam diri untuk gone with the wind -- lalu bersama angin --
pada kawan dekat atau siapa saja).
Saya tak tahu mengapa Sinta Nisfuanna
memilih untuk menghubungi saya. Tentu ada banyak nama dan
cerita yang telah Sinta jelajahi. Atau semua murni karena pilihan berdasarkan
keyakinan? Atau malah saran seseorang yang saya kenal juga? Wallahu a’lam.
Baiklah, surat perkenalan Sinta yang
singkat akan saya tanggapi secara panjang lebar plus bantaian atas “bahan baku”
yang telah disodorkan.
Bagaimanapun, Sinta telah
menghubungi saya via milis BCN, dan maaf saya tak membalas surel (surat
elektronik) tersebut sebab sikonnya tak mendukung, lebih baik “mengobrol” dulu
lewat chat di YM! sebab
waktu itu kebetulan ikon ID Sinta menyala kuning tanda sedang online.
Syukron untuk surelnya.
Afwan untuk kesan tak ramah yang
barangkali telah saya timbulkan karena menjawabnya tak asyik dan banyak
jedanya. Biasa, sedang sibuk kirim naskah ke media cetak plus chat juga
dengan Ivy Erli Desca dan Eria Widiarti.
Waktu saya terbatas, Non. Afwan,
ya? Berinternetnya harus “turun gunung” ke Bandung, itu pun jarang. Sekalian menemani
ibu ambil uang pensiun. Yah, sebulan sekali.
Cuma khawatir Sinta berpikir saya
dingin banget kayak penguin, hehe.... Penguinnya kelimpungan, Non, karena
tinggal di kutub kampung. L
Okay, mood saya membaik namun
harus jeda iklan eh salat Isya dulu. Wassalam....
• Tentang Menulis dan Jadi penulis •
Apakah sama? Menulis itu hal yang
mudah, bisa dilakukan siapa saja, di mana juga? Namun ada seni pembeda antara
“menulis biasa yang sekadar jadi” dengan “jadi penulis”. Bisakah Sinta rasakan
perbedaan itu?
Untuk mahir sebagai penulis yang
telah jadi tentu butuh proses, adakalanya proses tersebut panjang dan
melingkar. Tidak semudah yang diperkirakan. Berjuang adalah jalan yang harus
dipertahankan. Menjaga agar api itu tidak redup atau padam. Namun perjuangan,
sekeras dan segigih apa pun, akan sia-sia jika tidak ada yang membimbing atau
sekadar menunjukkan pintu-pintu untuk kita ketuk dan masuki.
Ya, pada dasarnya untuk menjadi
penulis itu harus terbuka dan memperluas cakrawala pengetahuan plus pergaulan.
Bukankah bergaul itu mutlak perlu bagi kita yang, seasosial apa pun, merasa
sebagai manusia dan belum ingin “pensiun dini”, hehe....
Bagi saya, komunitas penulis itu
penting asal jangan klik-klikan. Setidaknya kita tak alone lonely time so
much, yah kayak lirik lagu country yang lupa judulnya apa.
Sinta gabung dengan komunitas
penulis mana?
Namun, Sin, kadang kita butuh
sedikit “sentuhan pribadi” dari seseorang yang tepercaya untuk berbagi ilmu.
Seseorang yang mau peduli dan meluangkan segenap kemampuannya dalam hal waktu,
tenaga, uang, dan pikiran.
Saya siap membantu semampunya sesuai
kapasitas yang dimiliki. Namun siapkah Sinta membuat semacam komitmen bahwa
“berbagi” itu hal yang berharga dan tak akan menyia-nyiakannya? Bahwa, apa pun
yang saya bagi siap diserap Sinta dengan baik? Mau sabar dengan karakter sometimes
wanna be to gone with the wind? Tak suudzan pada kerumitan karakter
saya? Tidak begitu saja menelan omongan jelek orang lain tentang saya, sebab
ada sisi yang tak saya bagi?
Maaf, Sin, pertemuan kita bukanlah
lewat cara standar yang “normal”. Kita belum pernah bertemu secara langsung
jadi tak tahu bagaimana keseluruhan dalam hal kepribadian. Hanya karena Sinta
perempuanlah yang membuat saya mau menanggapi surelmu. Memberi alamat dan jalan
untuk diskusi secara korespondensi lewat pos. Sekarang saya harus pilih-pilih
orang untuk dijadikan kawan. Sudah cukup lelah saya dengan formalitas
perkawanan yang ternyata semu.
Bisakah Sinta memahami hal demikian?
Ini bukan soal ikatan, Sinta boleh
mengakhiri kapan pun jika sudah merasa cukup atau tak bermanfaat. Namun yang
saya butuhkan adalah kesungguhan. Kesungguhan untuk belajar dan mengajar saya.
Saya hanya membutuhkan separuh saja
dari segenap kesepenuhan yang Sinta miliki. Ini soal menulis dan menjadi penulis,
Non.
Belajarlah untuk membacacermati!
Selamat memasuki dimensi baru dari
pertukaran pemikiran. Semoga bermanfaat dan tak tersesat. Amin.
• Dasar untuk Melangkah •
Sudah
lama berkutat dalam dunia menulisnya? Kalau sudah, tentu ada dasar-dasar yang
telah Sinta kuasai atau minimal tahulah.
Apakah itu? Bahasa, Non.
Menulis berkaitan dengan penguasaan
bahasa yang baik (dan benar, he he). Kuncinya pahami dulu gramatika
alias tata bahasa. Jangan remehkan ilmu dasar yang sangat mendasar itu. Sebab,
bagi pemula, tak begitu saja langsung mahir menari dalam irama kata-kata. Pasti
ada kagoknya.
Namun jika telah belajar dasar
tersebut maka akan terbiasa dalam mengolah alur pikiran dan perasaan; itu
berkaitan dengan pembiasaan atas rasa bahasa yang secara otomatis telah
terstruktur mengalir begitu saja bahkan sampai tahap efek ketidaksadaran.
Saya banyak menulis “bimbingan
privat” untuk siapa saja. Sebagian besar tersebar di berbagai milis. Isinya
mengenai bahasan suatu karya secara panjang lebar dan mendetail -- kadang juga
malah melantur pada hal-hal lain.
Kebanyakan yang saya soroti adalah
kelemahan dasar berupa gramatika. Sebetulnya ilmu bahasa itu asyik, lho. Akan tetapi, mengapa bagi penulis
hal tersebut kerap disepelekan?
Kalau punya waktu luang, juga uang,
silakan Sinta cari dan telusuri di beberapa milis yang saya ikuti (alamat
milisnya ‘kan ikut tertera dalam setiap peruntukan posting e-mail/surel).
Buka saja halaman muka milisnya di yahoogroups, lalu ketik nama lengkap saya
di kolom/ruang search/cari, mudah-mudahan masih ada dan tak dihapus owner
atau moderator.
Yah, sekadar memperkaya bahan bagi
penguasaan dasar. Rencananya, insya Allah, akan saya himpun semua
ceceran tersebut ke dalam blog pribadi, jika ada dana untuk turun gunung ke
Bandung lagi. Soalnya sayang juga tuh semua hasil “lanturan” tersebut cuma
tersimpan begitu saja, tak “mengglobal”, hehe....
Sinta sudah punya blog?
Okay, hal pertama yang harus Sinta
miliki adalah buku Dasar Tata Bahasa
Indonesia. Harganya murah, kok. Saya pernah punya dan harganya cuma
Rp3500 saja, lalu dikasihkan pada teman lain.
Hal ke dua? KBBI alias Kamus Besar Bahasa Indonesia, sayang harganya masih mahal.
Sekira 200.000-an rupiah. Kalau belum punya nabung dengan tekun, ya. Saya sendiri
punya namun hasil hadiah dari Pak T.D. Asmadi dari Kompas yang Bos FBMM (Forum
Bahasa Media Massa).
Ke tiga? Coba bergabung di milis guyubbahasa FBMM. Itu milis para
“bahasawan” alias pencinta bahasa Indonesia. Di sana Sinta bisa belajar bahasa
Indonesia berikut segala dinamikanya.
Ke empat? Jangan malas atau alasan lainnya hingga angin-anginan menekuni dunia
menulis. Sayang tuh jika Sinta yang dibekali segenap potensi diri (plus sarana
yang memadai) malah menyia-nyiakan hal yang mesti disyukuri. Lihat sekitar,
Non, ada banyak insan yang tak beruntung.
Ke lima? Jadikan menulis sebagai ajang pembiasaan. Tulis apa saja setiap
harinya meski cuma sebaris kalimat saja. Kalau tak mood menulis? Yah,
jelajah imajinasi lewat bacaan. Kalau bacaannya dirasa garing karena merupakan
koleksi lama? Cari alternatif lain!
Gini-gini saya usahakan beli koran
Minggu Kompas dan Republika jika turun gunung ke kota kecamatan
untuk belanja di pasar demi warung kecil-kecilan milik ibu. Biar ada
penyegaran, gitu. Mudah-mudahan bisa menjadi inspirasi bagi tulisan
kita.
Ke enam? Perbanyak baca dan tak fokus pada bacaan tertentu saja. Kalau bisa
bikin target baca setiap hari. Catat semua kesan dalam buku harian, kesan
terhadap suatu bacaan, siapa tahu kelak bisa mendorong kita untuk menjadi peresensi atau kritikus sastra (yah, semacam itulah).
Omong-omong soal buku harian,
percaya ‘nggak, saya ini paling malas menulis ke dalam buku harian. Tak
tahu mengapa demikian. Barangkali berkaitan dengan trauma juga karena ada di
suatu masa silam saya pernah membakar semua buku harian plus surat-surat dari
teman.
Agenda saya tak diisi lagi, lho,
apalagi binder kecil. Kertas ini mestinya untuk menjadi pengisi binder, eh
malah dipakai menulis surat. Sayang banyak peristiwa yang tak terabadikan untuk
menjadi bahan muhasabah. Jangan-jangan saya tertutup pada diri sendiri juga,
Sin. Jangan ditiru, ya? Mumpung belum punya trauma maka tulislah setiap titik
terkecil peristiwa kehidupan sehari-hari yang Sinta rasakan ke dalam buku
harian.
Ke tujuh? Bergaul dengan sesama
pencinta dunia tulis agar tak merasa jalan sendiri. Di Malang ada FLP
(Forum Lingkar Pena) juga ‘kan, atau yang sejenisnya?
Ke delapan? Never give up! Yah, jangan menyerah. Setiap jalan pasti ada
aralnya. Namun setiap aral pasti ada jalannya.
Ke sembilan? Berdoa, bahwa ikhtiar kita karena-Nya juga.
Ke sepuluh? Dan seterusnya, dan sebagainya; demikianlah selalu ada hal-hal
baru yang akan Sinta temui. Semoga itu mendewasakanmu dalam soul searching yang Sinta pilih.
Demikianlah
sahibulnasihat itu saya cukupkan dulu. Ada jeda, harus menimba air di sumur
tetangga, malam-malam jelang Isya. Saya cuma bisa menulis malam karena butuh
ketenangan. Aktivitas siang terkuras untuk hal-hal domestik kerumahtanggaan
(plus jaga warung), ditambah lagi menjemur padi. J
Senin, 21 Mei 2007
***
Selasa, 22 Mei 2007
• Bersama “Doa untuk Saudara” •
Halo Sin, kita bahas satu demi satu
bagian cerpenmu secara mendetail, ya? Banyak banget kata dan kalimat yang harus
dicorat-coret karena dirasa kurang pas dari segi ekonomi kata dan rasa bahasa.
Saya sertakan naskah cerpenmu untuk
dikembalikan. Eh, kurang tepat. Saya kembalikan naskah cerpenmu untuk ditelaah
ulang, he he. Kayak Redaktur saja, main
balikin naskah.
Banyak banget juga, Sin. Masih kagok
tuh menyusun ceritanya, ya? Terpaksa saya tega main corat-coret dan mengganti
beberapa bagian sebagai semacam alternatif dari sekian kemungkinan. Tolong
telaah.
Halaman satu
·
Tolong beri format drop cap untuk fonem “W” yang
merupakan huruf pembuka dari kata “walaupun”.
·
Sin, saya pernah baca tulisan Pak J.S. Badudu tentang
ekonomi kata (atau ekonomi bahasa). Itu berkaitan dengan menghemat kata agar
susunan kalimatnya tak panjang apalagi bertele-tele. Kalimat: “Walaupun
matahari sudah meninggi dan memancarkan sinarnya, tapi udara tetap
terasa dingin.
·
Sin, kata “walaupun” menurut KBBI: merupakan partikel
(kelas kata yang meliputi kata depan, kata sambung, kata seru, kata sandang,
ucapan salam) dari kata “walau”. Dan “walau” sendiri menurut KBBI: p
(partikel) 1. dan jika: -- harus menembus bumi, tetap akan Kanda jalani; 2.
kendati; meski: -- hujan lebat, ia tetap datang ke rumah pacarnya.
·
Ada kaitannya mengapa saya perlu menggarisbawahi kata
“tapi” juga. Tapi -> tetapi -> p (partikel) kata penghubung
intrakalimat untuk menyatakan hal bertentangan atau tidak selaras: orang itu
kaya, -- kikir; rumah ini besar, -- sudah rusak; akan --, penghubung
antarkalimat atau antarparagraf untuk menyatakan hal yang bertentangan atau
tidak selaras: akan --, masalahnya tidak semudah itu.
·
Karena itu, Sin, jika kata “walaupun” dibenturkan dengan
kata “tapi” seperti yang telah Sinta tulis, maka akan dirasa janggal. Buang
saja “tapi”-nya, ya?
Maka:
“Walaupun matahari sudah meninggi
dan sinarnya memancar ke bumi, udara tetap terasa dingin; khas Malang, kota
yang dilingkungi jajaran pegunungan. Mungkin dikarenakan saat ini sedang musim
hujan, hawa dingin yang membuatku lebih malas untuk bersentuhan dengan air.
Sentuhan terakhirku hanya saat aku wudu untuk menunaikan salat Subuh. Itu juga
sambil menggigil.”
·
Bagaimana, Sin? Cuma satu paragraf. Ada yang saya kurangi
dan tambahi sesuai rasa bahasa. Intinya, ekonomi kata itu bukan berarti
mengabaikan estetika. Cuma”membuang” hal yang dirasa tak perlu, boleh juga
ditambahi hal baru.
·
Selain itu, akan kita diskusikan nanti. Saya harus fokus
pada kesalahan per paragraf.
·
Imaginasi -> imajinasi.
·
Rrrrrrrr..., getar HP-ku menyala, tanda ada SMS masuk.
Karena: pakai titik tiga lalu satu
koma, HP akronim dari Handphone, maka fonemnya harus kapital, begitu pun
dengan SMS.
·
Cermati diksi (pilihan kata) mana yang harus diketik
miring (italic) jika berasal dari bahasa asing seperti miscall.
·
Jangan sekali-kali menyingkat kata dalam tulisan untuk
dikonsumsi umum. Itu cerpen bukan SMS, Non.
·
Mengapa Sinta melewatkan tanda baca semacam titik di
akhir dialog? Begitu pun dengan koma?
·
Tanda baca titik digunakan sebagai penutup, sedang koma
jika masih ada lagi hal yang diungkapkan. Apakah Sinta ragu atau
tidak tahu akan tanda baca? Coba cermati setiap tulisan yang dirasa apik dalam
gramatika seperti koran Kompas karena di sana ada rekan guyuber juga.
·
Penggunaan angka ½ untuk setengah itu ada aturannya. ½
bisa digunakan dalam hal penjumlahan, namun sebaiknya jika dalam bahasa
percakapan atau hal lainnya yang tak berkaitan dengan kalkulasi, maka cukup
ditulis “setengah” saja jangan “½”.
·
Soal “teman” dan “temen” sebaiknya ditulis secara
konsisten dalam tulisan. Jangan “teman” lalu kemudian malah “temen”. Menurut
saya, enaknya “teman” aja, deh. J
·
...dia “mendapat” vonis “mempunyai”
penyakit....
Sin, mendapat = men-dapat, mempunyai
= mem-punya-i; itu kata dasar “dapat” dan “punya”. Jadi, menurut KBBI: dapat =
1. adverba (kata yang menjelaskan verba [kata kerja], adjektiva [kata yang
menjelaskan nomina/kata benda atau pronomina/kelas kata yang meliputi kata
ganti, tunjuk, dan tanya], adverbia lain, atau kalimat) mampu; sanggup; bisa;
boleh; mungkin: serangan musuh tidak -- ditahan; isi hatinya tidak -- kita
ketahui.
Aduh pusing, kok jadi ruwet banget
detailnya. Sudahlah, menurut saya, mendapat tidak bisa begitu saja dipadankan
dengan mempunyai dalam satu baris kalimat. Ganti saja dengan kalimat lain.
Halaman dua
·
Kata sapaan “Selamat Pagi” sebaiknya fonem P dari “pagi”
tak usah kapital; “teman-teman” merupakan bentuk subjek yang lebih dari satu
orang, nah, “t”-nya kapital, ya? Sebab merupakan kalimat langsung
sapaan.
·
Kami = kata ganti orang pertama dan ketiga jamak (saya
dan yang lainnya)
Kita = kata ganti orang pertama dan kedua jamak (saya dan kamu).
KBBI-> Kam i= pronomina 1. yang berbicara bersama dengan orang lain (tidak
termasuk yang diajak berbicara); yang menulis atas nama kelompok, tidak
termasuk pembaca; 2. yang berbicara (digunakan oleh orang besar, misal raja);
yang menulis (digunakan oleh penulis).
Kita = pronomina persona pertama jamak, yang berbicara bersama dengan
orang lain termasuk yang diajak bicara.
Maka, soal kami dan kita tentu
berbeda. Jangan sampai yang Sinta maksudkan dengan “kami” malah ditulis “kita”.
Perbaiki itu!
·
Telepon = dari kata Inggris “telephone”, maka bakukan
jadi “telefon”.
·
Pisahkan kata pun dari hubungipun menjadi hubungi pun.
Pun = juga, partikel pun itu ada
yang disatukan dengan kata dasar yang menyertainya, ada juga yang dipisahkan.
Untuk jelasnya baca buku tata bahasa, ya Sin. Please....
·
Belajar mencermati mana yang harus diberi tanda baca
petik dua (“) dan satu (‘).
Halaman tiga
·
Tau -> tahu.
·
Bakukan kata “sekedar” menjadi “sekadar”, (e-a).
·
Belajar untuk mengganti paragraf pada tempat yang tepat.
·
Sin, ada titik yang cukup ditulis 3X saja, ada juga yang
harus 4X jika berkaitan dengan akhiran. (Ada juga yang 3X titik lalu ditambah
1X koma [...,] jika ada kalimat sambungan dalam satu baris.)
·
Mengapa harus “Di depan sudah ada 4 sepeda motor yang sudah
penuh dengan penumpang”? Tolong ganti dengan kalimat lain untuk yang telah
saya garisbawahi.
·
Penulisan Rumah Sakit sebaiknya dengan huruf kecil, ya?
·
Kalau “RS Saiful Anwar” sudah tepat penulisannya karena
mengacu pada objek tertentu.
Halaman empat
·
Yah, periksa deh coretannya.
Halaman lima
·
nerima -> bakukan jadi “terima”.
·
Penulisan insyaAllah harus dipisah jadi insya Allah dan
diketik miring.
Halaman enam
sampai delapan
·
Wah, capai, Non. Kertasnya sudah dicorat-coret,
barangkali ada yang Sinta tak mengerti mengapa dan butuh alasan. Alasannya,
efisiensi dan ketepatan kata dalam susunan kalimat. Seperti “disana” yang
ditulis terpisah menjadi “di sana” karena kata “di” merupakan kata depan
(awalan) yang merujuk pada tempat.
Mencermati keseluruhan cerita dalam
“Doa untuk Saudara”, terasa cukup baik dalam ide namun masih gagap
penyajiannya. Kegagapan itu berasal dari ketidaktepatan pilihan kata dan
kalimat. Ada hal-hal yang dirasa tak lepas. Kesannya kaku dalam narasi.
Tolong perbaiki hal-hal yang telah
saya kritik dan garisbawahi, kalau bisa ganti kalimatnya agar enak dibaca dan
mengalir. Masih ada potensi untuk diperjuangkan menembus media massa, namun
dari segi penghayatan terasa Sinta mengambil jarak sehingga karakter tokohnya
kurang bergetar. Narasinya cenderung dalam nada paparan. Ketika orang pertama
tunggal (saya/aku-tokoh) bercerita tentang sahabatnya yang sakit berikut segala
sepak terjangnya dalam memperjuangkan cita-cita, cerita tersebut berjalan
datar. Tak ada unsur heboh.
Penting saya tekankan kekuatan aspek
emosi. Bukan berarti emosi tersebut harus jatuh dalam nada sentimental atau
melankolis. Emosi itu berupa “ruh”. Ya, ruh tersebut tidak dapat saya tangkap.
Saya ajak Sinta bermain kata secara
lincah dan leluasa, menjelajahi ruang-ruang kemungkinan dalam bahasa demi menghidupkan
imajinasi pembaca. Jangan terpaku pada cerpen-cerpen yang dimuat Annida
saja. Ada banyak cerpen lain yang bagus untuk Sinta apresiasi. Cerpen dari
penulis sekuler sekalipun. Bagaimana?
Sin, jebakan dalam sastra Islami
adalah sastra yang cenderung mendakwahi namun dalam nada datar dan monoton.
Padahal tidak demikian halnya. Sastra Islami itu ada, baik secara pelabelan
dalam cakupan sempit maupun Islami yang mengacu pada kehidupan
universal tentang kebaikan.
Kita boleh memilih yang mana? Sastra
sebagai media dakwah namun hitam putih dan “radikal”, atau sesuatu yang
dianggap sekuler?
Sin, saya memdapatkan hal-hal
mengejutkan dari media sekuler macam film, misalnya. Ada film barat yang bagus
dari segi ide dan narasi dan penyajian. Saya tidak melihat film tersebut
berhenti sebagai film tetapi substansinya. Kadang penulis skenarionya menggugat
kemapanan pola pikir tertentu. Itu yang bikin saya salut. Kalau mereka yang
sekuler bisa maju dan berani serta cerdas membuat terobosan, mengapa kita
tidak? (Jawab: kayak iklan rokok aja, “Tanya kenapa!”, he he.,,,)
Ada film jenis psycho-thriller yang
lupa judulnya apa. Tentang seorang pengacara yang kariernya hancur. Ia tidak
sadar dirinya terlibat dalam suatu permainan dari seorang maniak pembunuh yang
korbannya kebanyakan pengacara culas.
Ia telah digiring dalam situasi mana
untuk menunjukkan watak aslinya karena termakan keserakahan dan hasrat akan
uang dan popularitas; menerbitkan novel yang bukan karyanya! Novel itu masuk
kategori best seller. Banggakah sang pengacara itu? Tidak, nuraninya
terusik, permainan yang ia telan telah memerangkapnya. Menjadi korban atau
pemeran? Dibunuh atau membunuh?
Dalam film itu sarat elemen kejutan.
Ada suspens ketika cerita digiring agar mampu membuat penasaran penonton. Tidak
melulu fisik tetapi kerja otak yang cerdik. Ceritanya tak datar, Sin,
senantiasa bergerak. Sampai pada titik terang akan sebab-akibat. Pokoknya ada
pesan moral di sana namun tak menggurui.
Kamu, Sin, dalam “Doa untuk Saudara”
memaparkan segi-segi baik dan positif tentang manusia. Aku-tokoh sebagai
pengamat/narator pasif, Ludi sebagai sosok baik namun “dilemahkan” oleh
penyakit, sampai Aji yang berkebalikan dengan Ludi. Bisakah mengubah jalan
cerita itu tidak datar?
Sulit, Sin, jika kita berpikir
sulit. Ada keengganan untuk mengubah hal yang dirasa baik menurut kita. Namun
jika Sinta ingin maju, buatlah cerita tentang kalian dalam versi lain. Tentunya
versi yang lebih baik.
Kembali pada cerpen ini, pembuka oke
- alur maju dan mundurnya oke - kedodoran dalam penyajian narasi, lebih
tepatnya rasa bahasa dan gramatika - efek penutup yang menggantung ada elemen
kejutan, itu sudah boleh.
Jadi, asah terus rasa bahasamu, Non. Cermati pelajaran gramatika. Jangan cepat
berpuas diri.
Sekian dulu perjumpaan kita malam
ini. Wassalam.
23-24 Mei 2007
Ps.
• Sudah
beberapa hari ini saya futur. Futur berat.
Tidur saja tak nyenyak. Kadang terjaga dengan perasaan hampa. Biasanya pukul 3
dini hari. Adakah seseorang di luar sana yang mendoakan saya dalam tahajudnya?
Entahlah. Saya sedang “perang” dengan diri sendiri.
Maukah
mendoakan saya agar tenteram dan berdamai? Suasana hati demikian amat buruk
bagi fokus saya. Seolah ada sesuatu yang direnggut dan tak bisa kembali.
Maaf,
suratmu saya terima hari Kamis tanggal 16 Mei dan menulis jawaban pakai acara
dicicil segala. Tak bisa seketika. Ada surat dari Dian Hartati yang belum saya
selesaikan lanjutannya. Saya harus membahas puisi-puisi dalam antologi bersama Herbarium. Ih, ngotot amat harus mikirnya.
• Jumat, 25 Mei
2007
Tentang kisah sejati “Al Quran
Cintaku”, kalau tidak salah saya kirim pada bulan Januari 2007. Sempat
berprasangka naskah itu akan gagal muat seperti yang sudah-sudah, eh, alhamdulillah
malah dimuat Annida edisi Februari-Maret 2007.
Sudah berbulan-bulan saya tidak beli
Annida baru lagi, pas baca itu bulan Maret ternyata kisahya nongol juga.
Aduh, Sin, proses itu tidak mudah, lho. Bagaimana caranya agar bisa lolos
seleksi dari sekian naskah bagus, itu selalu menghantui saya. Terobsesi agar
bisa lebih baik dari yang sudah-sudah. Jujur, saya kesulitan mengikuti kaidah
menulis secara Islami sesuai acuan yang telah dicontohkan Annida,
misalnya.
Dua naskah lain, “Pelayaran Tristan”
untuk epik dan “Apa Makna Maut, Gabriel?” untuk cerpen rasanya telah gagal
memenuhi standar yang Annida cari. Makanya sempat tak percaya juga waktu
kisah itu dimuat Nida.
Sin, soal tak laik muat apalagi tak
menang lomba itu hal lumrah dialami setiap penulis. Anggap saja ujian, Non, dan
belum lulus karena persiapannya tak oke. Untuk lomba, cerpen “Doa untuk
Saudara” itu kayaknya terlalu biasa dari segi kekuatan cerita. Juri butuh yang
lebih demi menentukan pemenang. Teruslah berkarya agar suatu saat karya Sinta
menemu titik matang. Siapa tahu layak dibanggakan.
Oke, acungin dua jempol tangan
(bukan kaki, Non, kecuali kegatelan, he he...). Bahwa
Sinta siap bertarung memasuki pasar penulisan. Sip!
Baik, mari kita telaah cerpen
“Kerinduanku”.
Napa Sinta memilih judul itu? Tak adakah
judul lain yang lebih “menyetrum” sebagai semacam pilihan atau sudah yakin
dengan judul singkat dan sederhana itu?
Seorang Redaktur pernah menulis
dalam ruang ulasan cerpen (Tendy K. Somantri, Galamedia, tahun 2000 - 2001), bahwa judul adalah pintu
gerbang yang menuntun pembaca untuk memasuki ruang imajinasi dalam cerita
rekaan. Nah, pemilihan judul yang kurang tepat bisa berdampak jelek, tak
mengundang hasrat pembaca. Mereka merasa biasa-biasa saja atau tak menganggap
istimewa pada judul yang terbaca.
Anggap judul itu semacam label bagi bakery.
Adakalanya judul yang unik dan
menggemparkan lebih mengundang meski pada akhirnya cerita rekaan tersebut
datar-datar saja. Bagi saya, penting untuk mengeksplorasi judul. Sesuatu yang
bikin penasaran orang untuk memasuki gerbang cerita.
Judul boleh simpel asal mengena,
boleh juga panjang dan tak biasa; namun carilah judul yang pas dengan isi
cerita rekaannya.
Jadi, pertimbangkan sekali lagi
untuk judul yang telah atau akan Sinta pilih.
Soal kebiasaan dalam menulis,
jadilah diri sendiri, Sin. Jika gaya menulis Sinta lebih pada cerita humor
ketimbang “serius”, coba eksplorasi hal demikian. Entah mau humor Lupus-nya
Hilman (di novel Interview with Nyamuk, Hilman menulis edisi humor Lupus
dalam kategori humor hitam, entah disadari atau tidak, gaya humor Hilman
berbeda dengan serial Lupus sebelumnya), atau Forrest Gump-nya Winston
Groom, atau siapa saja tokoh penulis humor yang Sinta sukai.
Joni Ariadinata dalam ruang “Galeri”
Annida pernah mengeluhkan betapa keringnya karya yang bernuansa humor,
seolah penulis Indonesia pada serius semua, he he....
Mas Joni ada benarnya, tetapi tidak
semua orang memiliki selera humor yang baik sekaligus cerdas dan kritis;
kalaupun ada jarang yang bisa menuangkannya. Entah mengapa.
Menjadi penulis humor itu bukan
kerja main-main. Ada sih penulis yang mampu bertutur dengan gaya humor
dan membuat kita ketawa ngakak, namun sayangnya cerita tersebut tak lucu lagi
jika dibaca ulang. Nuansa humornya hilang karena membosankan.
Gitulah, Sin, kita tak selalu suka
pada humor garing. Berbeda dengan cerita serius yang tak kehilangan nuansa
seriusnya karena enak dibaca sehingga akan tetap dikenang dan dibaca ulang.
Mengapa demikian, humor versus
serius? Saya bukan psikolog dan kurang punya penjelasan secara bahasa. Yang
saya tahu kita selalu butuh hal-hal baru, gitu terus.
Oke, tulislah cerita dalam versi
bagaimana saja. Mau humor atau serius atau apalah. Toh, tertawa belum
dilarang di muka bumi, hehe.... J
Sekian dulu perjumpaan malam ini.
• Sabtu, 26 Mei
2007
Sehabis Asar.
Tanggal 14, hari Kamis itu, jam 8 pagi, ibu masuk kamar dan menyerahkan amplop besar.
Sayang tak berperangko dan ujung talinya copot, entah ada yang mengusilinya.
Dari siapa, tuh? Ternyata dari Sinta. Kok cepat amat, he he....
Eh, Sinta asal Malang, ya? Maaf saya
tak banyak tanya soala biodata Sinta. Tak bisa lama di warnetnya. Dan Kamis itu
saya menemani ibu ke Bandung untuk ambil uang rapel pensiun. Baca cerpennya di
sado dan angkot, lho. Di kereta tak melanjutkan bacaan. Lagi pusing belum
sarapan. Sempat ke warnet, cuma kompi (komputernya) bermasalah. Agak lamban dan
beberapa kali saya gagal kirim naskah. Entah mengapa. Sayang Sinta waktu Kamis
sore itu tak OL.
Oke, kembali pada soal biodata. Sudah
lama menulisnya? Napa menulis? Betulkah ingin menjadi penulis? Ada yang
bimbing? Di Malang dengan siapa? Dah lama baca Annida? Sekalian dah bisa
diskusiin isi Nida, ya, he he....
Sin, mumpung masih “segar” dalam
segi usia dan pengalaman, sebaiknya jangan takut mencari dengan berimprovisasi.
Ini masalah pembentukan karakter dalam dunia kepenulisan. Asah itu, Sin.
Mengambil suatu cerita sebagai ide
boleh juga. Salut, tuh, soalnya Sinta bisa mengambil celah dari cerita yang
telah dibaca untuk dikembangkan sesuai imajinasi secara persona.
Soal “Kerinduanku”, ya, penjiwaan
Ilham yang tunarungu sudah boleh. Pengamatan Sinta tentang itu tak asal. Adakah
insan tunarungu lain yang telah Sinta kenal? Soalnya, Sin, soal Ilham yang
tertatih-tatih belajar mengaji Quran itu memang hal wajar. Akan tetapi, ada hal
mendasar baginya yang barangkali tak Sinta tahu; ditertawakan anak lain kala
mengaji!
Mengatur intonasi suara dan
artikulasi itu tidak mudah. Bagi orang normal seolah menjadi lelucon. Lalu apa
Ilhamnya tak menemu aral macam saya? Yah, jika lingkungan pengajiannya baik,
maka akan selamat dari hinaan.
Jika tidak?
Coba beri sedikit sentuhan rumit
pada perjalanan hidup Ilham. 4 halaman itu masih dirasa kurang. Kurang padat,
lebih tepatnya. Jangan biarkan cerita berjalan datar, berilah sedikit riak.
Entah keluarga Ilham, atau sekolahnya, atau teman-teman sepergaulan. Juga, di
usia senjanya Ilham menjadi apa dan bagaimana? Ini cuma sekadar saran, Sin.
Oh ya, saya perbaiki bagian
gramatikanya. Sinta bisa simak hasilnya. Kalau ada yang kurang jelas, silakan
tanya lagi. Mudah-mudahan saya bisa memperjelasnya. Selain itu, jangan
sekali-kali memasukkan bentuk tulisan gaya SMS ke dalam cerpen, misalnya.
Menulis Allah dengan 4-J-J itu
salah. Allah cukup ditulis “Allah” saja, Sin.
Hampir terlewat, uf, dah Magrib. Jeda dulu. Menulisnya pukul
setengah enam tadi, he he....
• Habis
Magriban
Mengajinya cuti dulu. Sinusitis bikin susah bernapas. Cara bicara saya
bagi orang normal sudah dianggap “parah”, apalagi ditambah sinus. Sampai di
mana kajian Quran Sinta?
Kemarin selesai surat Az Zukhruf (Perhiasan),
juz 25. Tinggal baca Ad Dukhaan (Kabut). Belajar bahasa Arab? Saya butuh
mentor sungguhan! Bisa memberi tahu judul buku apa saja yang harus dipelajari?
Tak bisa meloncat-loncat. Itu sama dengan belajar bahasa Inggris. Ada dasar
demi penguasaan grammar yang bertahap. Kamus bahasa Arab saya tak
memadai. Itu kayak asal kamus. Penyusunnya saja payah dalam pemahaman bahasa
Indonesia. Bisa beri tahu saya, apa judul kamus bahasa yang setara dengan
KBBI?
Seandainya di Limbangan ada warnet, insya
Allah saya bisa lebih leluasa belajar di jagat maya. Sayang Limbangan
belum maju, Sin. Pengen kuliah di www.kampussyariah.com, tuh. Ada ‘nggak mata pelajaran, eh
mata kuliah bahasa Arab?
Sinta aktif di rohis atau bisa
bahasa Arab juga?
Mengaji itu, Sin, tidak mudah.
Apalagi jika hanya separuh hati. Bahasa Arab dalam Al Quran ‘kan beda dengan
bahasa Arab biasa. Lebih indah dan halus. Seperti puisi. Allah memang
Mahapenyair.
Ironisnya ada teman saya yang
dianugerahi “kesempurnaan” panca indra malah tak bisa mengaji Quran sama
sekali. Di kota memang biasa. Sinta sendiri punya cerita pribadi tentang Quran?
Oke, bagaimana jika efek getar dalam
cerpen “Kerinduanku” diperhebat? Tentang realitas sekitar, pemaknaan Al Quran
dan aplikasinya dalam keseharian. Juga renungan Ilham akan makna Al Quran
berikut gugatan atas takdir yang tak dikehendakinya. Atau apa sajalah.
Akan tetapi, jangan sampai cerita
tersebut jatuh dalam verbalitas yang gamang. Susunlah kerangka cerita yang
kuat, baik dari segi penjiwaan sampai penuturan.
Maaf, “Kerinduanku” memang
mengharukan, namun kurang kuat ruh ceritanya. Perkuat itu, Sin. Cari setiap
titik lemah dari cerita yang telah kita buat dan perbaiki itu.
Intinya, jangan lekas berpuas diri,
Non.
Okay, 20 halaman sudah saya
tuangkan. Mudah-mudahan mencerahkan (kalau sebaliknya dirasa menggelapkan,
jangan segan bertanya biar terang, pokoknya terus terang saja).
Apa kabar cuaca Malang? Di sini
panas, meski lebih dingin Limbangan daripada Bandung. Ah, Malang kota
yang pernah ingin saya jelajahi meski entah kapan.
Apa kabar juga Ludi dan Aji? Mereka
nyata, Sin? Cerita yang Sinta tulis dari keseharian? Peraslah keseharian itu
hingga tinggal inti dan sarinya. Intisari suatu cerita yang lebih dari sekadar
cerita.
Teruslah mencari bentuk pematangan
diri dalam kepenulisan. Semoga lancar. Amin.
Dan jangan berhenti pada satu
bidang, satu media tertentu, atau satu apa pun, kecuali hanya pada satu
keyakinan.
Tersenyumlah. Selalu ada cerita
untuk kita bagi pada sesama. Cerita yang semoga bermakna.
Wassalam,
Rohyati Sofjan
ini blog kedua yach Mbak ? Kalau mau suatu saat dapat job review atau Content placement sebaiknya segera pasang domain berbayar Mbak. Trus isi dengan kategori Wisata,lifestyle,bisnis,hiburan, teknologi,,,biasanya dengan kategori tsb blog akan lebih mudah lolos atau dilirik oleh si pemberi job.
BalasHapusSyarat wajibnya ya itu tadi... pakai domain berbayar.
Pengen banget beli domain berbayar, Kang. nanti jika ada rezeki, butuh modal, nih. Blog punya Akang bagus isinya juga banyak pemasang iklan. yah, sepertinya kehidupan urban lebih dominan padahal saya tinggal di kampung.
HapusSaya sudah bikin label namun belum bikin kategori. Pusying juga karena harus belajar desain. Pelan-pelan saja saya kerjain sendiri agar lebih asyik dan menikmati proses.
Ohy...sebaiknya isi blog lama jgn dicopas diblog ini, biarlah blog lama tetap berjalan.
BalasHapusBlog lama ada masalah, Kang, makanya saya bikin blog baru. Eh, gitu tahu apa akar masalahnya saya sudah nyaman dengan blog baru ini. Merapikan postinagn yang acak-adut. Makasih sarannya, Kang. :) Blog lama mungkin akan dihapus atau akan saya isi hal lain, entahlah.
Hapus