Jumat, 02 November 2018

Menyoal Pelakor dan Ironisme yang Terkuak di Facebook



PELAKOR merupakan akronim dari perebut laki orang, laki yang dimaksud adalah suami (orang lain). Istilah tersebut seakan menjadi hits alias trending topic gegara kasus suami artis tertentu yang kawin lagi dengan artis lain secara diam-diam atau sirri (padahal masih terikat perkawinan yang sah), beberapa bulan yang lalu.

Pelakor seakan tambahan kata baru dalam bahasa Indonesia yang sayangnya citraan negatif lagi setelah persekusi. Namun berbeda dengan persekusi yang mengacu pada istilah mandiri, pelakor adalah akronim dari masyarakat sendiri untuk melabeli insan yang dianggap merugikan tatanan sosial ideal mereka.

Idealisme masyarakat bisa jadi merupakan wakil dari suara yang tertindas, atau sebaliknya malah ingin menindas parasit rumah tangga orang. Demikianlah masyarakat dengan kekuatan bahasanya seakan memiliki kekuasaan untuk menghakimi sang perusak rumah tangga orang. Bersatu-padu membentuk semacam power, entah dengan alasan solidaritas atau sekadar pelampiasan bagi kenyinyiran terpendam.

Istilah pelakor lebih blak-blakan karena sesuai fakta yang terjadi, yah, laki atau suami seorang istri direbut perempuan lain. Maka labeli saja perempuan lain itu dengan perebut laki orang. Stigma yang diharapkan bisa membuat malu atau jera.

Sepertinya di zaman milenial ini generasi X dan Y juga Z lebih tegas memainkan fungsi bahasa agar sesuai dengan aspek psikososial mereka. Di zaman generasi sebelumnya pelakor dapat eufimisme berupa madu -- tak manis bagi pihak yang direbut lakinya. 

Istilah dimadu entah bagaimana bermula, mungkin manis bagi lakinya namun tidak bagi istri utama -- yang dimadu. Dear.

KBBI 3 memuat arti madu sebagai: istri sah yang lain dari seorang suami berdasarkan pandangan istri pertamanya; orang yang menjadi saingan dalam percintaan; pesaing dalam percintaan.

Saya tidak tahu kapan dan bagaimana istilah madu atau dimadu bermula. Padahal bagi sebagian kalangan istri yang mengalami bagaimana pahitnya dimadu atau berurusan dengan madu, itu bukanlah hal manis, sama sekali tak berfaedah selain memecah-belah rasa rumah tangga.

Kejayaan eufimisme sepertinya mesti karam di era milenial sekarang. Bahasa harus tunduk pada kesesuaian zaman penggunanya. Pelakor hanyalah satu dari sekian tebaran bahasa kekinian. Akronimnya pun begitu pedas dan terang-terangan seakan demikianlah masyarakat mentransformasikan diri di era digital sesuai laju gerak dunia yang cepat.

Lalu bagaimana pelakor memosisikan diri di tengah gempuran bahasa yang menyudutkannya? Tahu atau tidak bahwa ia telah merebut laki orang? Yang lebih utama lagi, pihak lakinya bagaimana hingga bisa diposisikan sebagai “sumber rebutan”? Toh, ia kawin lagi dengan alasan krusial baginya, secara diam-diam atau terang-terangan.

Mungkin pelakor ditujukan bagi perkawinan ulang yang tanpa sepengetahuan apalagi beroleh izin istri utama. Saya katakan utama bukan tua, karena istri tua seakan memberi citra negatif bagi posisi istri yang direbut lakinya. Citraan kalah atau pecundang. 

Pada hari perempuan kemarin, di beranda Facebook saya menemukan ironisme tak terduga dari teman SMU yang menumpahkan amarahnya ke depan publik. Dimulai dengan status ada orang ketiga dalam rumah tangga, lalu terang-terangan menyoal pelakor dalam bahteranya.

Maka tanggapan sesama teman dan kerabat pun beragam; ada yang memanasi, ada yang bersimpati dan menyabarkan, sedang saya lebih memilih empati dengan mengajak mencari solusi.

Saya sadar masalah rumah tangga yang diumbar ke ranah publik macam jejaring Facebook hanyalah keragaman status hidup pelakonnya. Meski ada yang mengecam bahwa mengumbar aib keluarga di ruang publik bukanlah hal bijak dan mengganggunya, namun marilah melihat dari sudut pandang “pengumbar” sendiri.

Bahwasanya ia terluka dan butuh dukungan; merasa kesepian dan tak berharga; harga dirinya seakan dicabik-cabik pihak egois; perjuangan hidup bersama seseorang yang dikasihi dan dihormatinya demi anak-anak malah bernasib di ujung tanduk; ia depresi dan mengirim sinyal SOS ke mana-mana karena benar-benar butuh pertolongan. Lalu di mana cinta ditempatkan kala terbelah?

Keterbelahan cinta semacam itu seakan abai diperhatikan suami pengumbar sendiri. Ia asyik dengan peran barunya seakan jemu melakoni rutinitas dengan yang itu-itu saja. Mulai khilaf bahwa esensi utama pernikahan adalah ibadah pada Allah. mengesampingkan asas adil dan bijak sebagai pengayom keluarga. Lebih parahnya, demi egoisme diri lelaki, mengabaikan aspek psikologis anak dan istri. Akan ada yang terluka karena pengkhianatan. Lalu bahtera yang dibangunnya selama 20 tahun lebih terancam karam demi bahtera sampiran.

Mungkin ia bermasalah dengan istri utama namun haruskah masalah tersebut berujung pada pelarian cari baru? Tiadakah solusi bagi masalah pasutri? Sudahkah mencoba konseling rumah tangga? Dan beragam tanya lainnya memusar.

Lalu, bagaimana dengan pelakornya sendiri? Adakah hati nurani sebagai perempuan karena telah merebut hak milik orang lain, mengusik kebahagiaan dan keutuhan sebuah keluarga? Kebahagiaan yang dibangunnya di atas pondasi reruntuk perasaan pihak yang remuk niscaya akan mengundang kutuk.

Dan dalam rangka peringatan hari perempuan, saya ingin mengetuk hati nurani pelakor, apakah tiada jalan lain selain menjadi predator sesama kaumnya sendiri? Jika memang telah yakin dengan jalan demikian, maka selamat menelan stigma sepanjang hayat sebagai pelakor.

Sebagai penutup, mari kita cermati UU pidana pasal 279 KUHP, ancaman penjara 5 tahun bagi yang melakukan perkawinan padahal sudah tahu bahwa perkawinan sebelumnya telah menjadi penghalang yang sah; dan kedua, bagi pihak yang mengadakan perkawinan padahal sudah tahu bahwa pihak lain akan menjadi penghalang untuk demikian.

Undang-undang dibuat sebagai tata hukum yang mengatur pranata masyarakat. Kalau pelakor, suami yang kawin lagi dengan pelakor tanpa izin istri utama, sampai pihak yang mendukung terjadinya hal demikian (entah itu oknum lebe/penghulu atau lainnya); bisa diperkarakan dengan gugatan pidana, akankah praktik pelakor binasa?

Kita tidak tahu itu. Pernikahan adalah komitmen bersama dua orang insan sebagai suami-istri demi membentuk keluarga. Kalau di tengah jalan ada hal tertentu yang membuat bahtera rumah tangga mereka diamuk badai, itu adalah pilihan untuk tetap lanjut dengan mencari jalan keluar yang bijak, atau sama-sama karam ditelan laut kehidupan dengan mengorbankan awak bahtera*
Cipeujeuh, 11 - 12 Maret 2018.
~ Rohyati Sofjan adalah istri utama dari seorang suami bersahaja, ibu rumah tangga beranak satu, anak dari pelakor yang telah belajar dengan melihat bagaimana runyamnya hidup istri dan anak utama dari ayah kandungnya.
#Pelakor #Sosiolinguistik #Perempuan #Bahasa #Pernikahan #Keluarga #SuamiIstri
~Gambar hasil paint sendiri~


16 komentar:

  1. Waahhh baru tau ada postingan lama yang belum saya baca mba.
    Saya selalu baper kalau baca mengenai pelakor.
    Saya heran banget deh, mengapa orang kok ga mikir jauh ke depan gitu.

    Merebut suami orang, dengan cara yang tidak baik, apa gak takut direbut lagi suatu saat nanti.

    Ada banyak kok kejadian yang orang akhirnya diselingkuhin suami lagi karena awalnya juga mereka selingkuh.

    miris yaaa..
    Semacam gak ada hal lain selain cinta2an ckckckc

    BalasHapus
  2. Uya, miris. Contoh semacam itu saya peroleh dari sepupu juga. Ia sekarang bimbang apa akan lanjut dengan perkawinannya jika sang suami selingkuh. Jadi pelakor ternyata ada tak enaknya juga.
    Saya harap semoga kita dijauhkan dari pelakor karena masa depan anak harus diutamakan, semoga para suami tak egois, ya, Mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin :)

      Iya mba, makanya kadang heran dengan pola pikir para pelakor, plus juga kasian sih sebenarnya.
      Banyak pelakor yang jadinya melakor karena gak bahagia dengan kehidupannya

      Semoga apapun tantangannya, kita selalu bisa mempertahankan rumah tangga ya mba, aamiin :)

      Hapus
  3. Saya suka tulisan Mbak yang ini ^^ Bahasa mengikuti zamannya. Dulu disebut madu padahal sama sekali enggak manis, pahit malah buat perempuan istri pertama. Budaya dan zaman telah berubah. Dulu perempuan kedua seolah punya tempat karena patriarki masih sangat kental. Kini perempuan sudah mulai memperoleh posisi yang setara dengan laki-laki. Lebih dihargai sebagai subyek, bukan obyek. Lantaran itulah, perempuan kedua kini disebut pelakor. Di era digital, keberadaannya akan ditelusuri lalu dirisak oleh netizen. Seperti kasus Je**n, dan Layangan Putus.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Kak Nieke. Memang bahasa mengikuti perkembangan zaman. Sekarang lebih ke akronim atau pelesetan kata.

      Saya juga tidak setuju dengan istilah madu karena itu bahasa patriarki dan kolonial. Seakan merupakan penghalusan untuk perempuan lain seorang suami yang menikah lagi. Padahal istri bisa saja tidak tahu atau tidak setuju.

      Sakitnya pasti mrndalam. Keluarga bisa berantakan, anak-anak bisa bingung

      Pelakor meski telah beroleh bahasa lugas malah kian lugas mempertontonkan ulahnya tanpa rasa malu atau bersalah.

      Hapus
  4. sayangnya selalu perempuan yang disalahkan, padahal pastinya ada kesepakatan kedua belah pihak makanya hal itu sampai terjadi. baik laki-laki maupun perempuannya, jadinya yang salah ya perempuan sama laki-lakinya. teteh semoga kita semua dilindungi dari kejadian seperti ini ya teh.

    BalasHapus
  5. Sama, Mbak ...kalau ada yang sampai membuka keperihan rumah tangganya di medsos, saya menganggap dia sedang butuh dukungan yang tak diperolehnya dikehidupan nyatanya dari orang2 terdekat. Kasihan sebenarnya, jangan langsung dihujat atau dihakimi.

    BalasHapus
  6. Relate banget beberapa tmn dekat curhat suaminya selingkuh, ada yg proses mau menikah resmi.sbg istri.kedua mana anak istri pertama 5 trs baru melahirkan anak.ke 5.

    Ironisnya lagi calon madu ini adalah janda yg selama ini.di bantu bulanannya dg niat membantu anak.yatim...tegaa merebut suami pdhl sdh di ksh solusi uang bulanan tinggi tanpa harus menikah.

    Sedih mbaa tmn deket bbrp.mengalami hal.spt.itu saya gatau hati.nurani.emrrka terbuat dr apa.

    Btw saya kaget dg kejujuran mb rohyati anak.pelakor?? Serius mb??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, saya anak pelakor. Sungguh tidak nyaman dengan predikat gitu. Ibu saya sebelum bertemu bapak kandung adalah janda satu anak lelaki. Bapak punya anak perempuan dari istri pertama. Istri pertama masih sepupu atau sepupu beda buyut, saya tidak tahu.

      Mereka bercerai entah setelah atau sebelum bapak menikah lagi. Status ibu terangkat jadi nyonya pegawai negeri.

      Status istri pertama? Tetap menjanda barangkali trauma. Tapi kasihan teteh tiri tidak diperlakukan dengan baik oleh ibu, malah dicurigai macam-macam dan difitnah jadi tidak betah dan balik ke Pangandaran.

      Bagi saya itu tragedi karena ada pengabaian dan ketidakpedulian. Bahkan bapak terpaksa putus hubungan dengan anak kandung karena istri keduanya termasuk toxic.

      Saya berpikir sebagai seorang anak, kenapa hubungan baik dipaksa diputuskan. Makanya sampai sekarang saya masih membenci sifat ibu yang tidak pernah membawa ketenangan bagi orang sekitarnya. Bahkan sampai akhir hayatnya tetap gitu.

      Merebut suami orang itu kayaknya gampang, gak mikir ada banyak jiwa yang terluka dan tidak ikhlas.

      Semoga perkawinan saya dijauhkan dari hal seperti itu karena menjalani kehidupan yang tenang bersama suami dan anak-anak adalah keinginan saya.

      Yang mau nikah lagi dengan cara rebut suami orang apakah tidak mikir ada 5 jiwa anak yang akan terluka?

      Istri utamanya juga pasti tidak ikhlas. Jijik membayangkan suaminya berbagi kasih dengan orang yang telah ditolong. Padahal sudah dibantu kehidupan yang lebih baik.

      Ada saja perempuan berwatak kemaruk. Harusnya berdoa agar Allah pertemukan dengan jodoh yang baik tanpa harus menganiaya orang lain.

      Hapus
  7. Aku sih lebih setuju adanya kata pelakor. Kata madu untuk pelakor itu eufemisme. Madu itu manis dan bergizi. Nyatanya tidak bagi istri sah dan anak-anaknya. Sebenernya laki-laki selingkuh pun perlu dilabeli. Karena perselingkuhan terjadi akibat gayung bersambut.

    BalasHapus
  8. Tujuan pernikahan adalah untuk kebaikan, kalau pada akhirnya tidka baik berarti ada yang salah. Bisa dari niat, bisa dari masing-masing yang mau menang sendiri dna merasa paling benae hingga mencari pelarian. Na'udzubillah. Semoga kita semua dijaga

    BalasHapus
  9. Sejauh yg saya tau pelakor itu ada biasanya karena menginginkan harta dan status untuk menjadi orang yang berada, sampai saat ini tentu saja pelakor tetap ada karena mereka ingin instan jadi orang kaya tanpa memikirkan perasaan perempuan lainnya, susah dibasmi memang lebih susah daripada membasmi kecoak

    BalasHapus
  10. Suka banget sama tulisan ini.. Memberikan cakrawala baru tentang tatanan bahasa. Penggunaan kata pelakor memang memberikan dampak psikologis mendalam bagi pelakunya. Dan sebutan ini pas untuk mereka dan bagi yang ingin menghardiknya, baik itu atas dasar solidaritas ataupun atas dasar meluapkan kekesalan yg mungkin terjadi di rumah tangga sendiri, tapi memilih untuk mendiamkan masalah. Untuk masalah curhat di sosmed, meskipun kurang bijak, tapi layak diakui bahwa dampak positifnya mungkin lebih besar, di mana si korban bisa mendapatkan lebih banyak perhatian dari orang lain dan support.
    Perlu juga regulasi yang jelas, agar seseorang yang sudah menikah, jika ingin menikah dengan orang lain harus dipastikan dulu statusnya. Rada aneh juga terhadap oknum oknum yang menikah kan orang orang yang sejatinya sudah punya suami atau istri..

    Dan sekali lagi
    Tulisan kakak ini keren banget sumpah kak🔥 nambah wawasan banget

    BalasHapus
  11. Pembahasan yang cukup lengkap, dari tinjauan bahasa, definisi, agama sampai psikologis ada.. paket komplit dan sangat komplit karena penulis pernah terlibat dalam salah satu kasusnya.. saya pribadi suka dan sangat setuju dengan pendapat Jeng yaitu pernikahan adalah ibadah kepada Allah.. semoga dengan lurus hati kita beribadah, Allah bantu kita selesaikan segala masalah

    BalasHapus
  12. Kok miris ya mbak sekarang ini bermunculan isu pelakor. Biar bagaimanapun juga, tetap pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Jika suami sudah tak ada rasa dengan istri sah, maka alangkah lebih baik disudahi secara sah terlebih dahulu

    BalasHapus
  13. Kadang pelakor yang salah atau bisa jadi laki laki bersuami yang bersalah. Tapi selalu merujuk ke orang ketika iru perempuan ahhh stigma gemes. Tapi sebagai anak yang orangtuanya hampir pisah gara gara pelakor ikut geregatn juga menyelesaikannya mba

    BalasHapus

Terima kasih sudah singgah, silakan tinggalkan jejak komentar sebagai tanda persahabatan agar saya bisa lakukan kunjungan balik. Komentar sebaiknya relevan dengan isi tulisan. Nama komentator tidak langsung mengarah ke URL pos blog agar tidak menambah beban jumlah link pemilik blog ini. Jangan sertakan link hidup dan mati, apalagi iklan karena termasuk spam.Terima kasih banyak. Salam. @rohyatisofjan

Disabilitas Mengelola Komunitas

Arti disabilitas adalah keterbatasan aktivitas dan partisipasi akibat  ketidakmampuan mental atau fisik. Hal itu bisa menjadi stigma dalam m...