SORE sebelum azan ashar
berkumandang dari masjid RT 06, Tuan Tukang Suruh mengendarai motor matic-nya melintasi gang panjang yang
masuk wilayah RT 07. daerah kekuasaan yang diketuainya, bagian paling barat dari
RT-RT sebelumnya, berhenti di depan rumah warga lalu memarkir motor di bawah
pohon mangga.
Tujuan
utama Tuan Tukang Suruh bukanlah rumah di depan pohon mangga melainkan lebih ke
belakang dari rumah itu, di bagian paling bawah. Ia berjalan melewati jalan
setapak sempit yang hanya muat dilewati satu orang, jalan yang sama sekali
belum tersentuh beton seperti gang yang barusan dilintasi dengan motornya.
Sendiri
dan terpencil dari rumah warga lain dan dikelilingi ladang adalah rumah milik
Kacung. Dan tujuan utama Tuan Tukang Suruh untuk menemui empunya rumah. Kacung yang sedang sibuk membuat atap untuk
pekarangan samping rumahnya terganggu dengan kedatangan Tuan Tukang Suruh. Ia
bosan berurusan dengan Tuan Tukang Suruh karena sudah pasti akan disuruh-suruh
seperti yang kerap dialaminya, dan tanpa bayaran uang.
Kacung
heran, apakah ia tak punya martabat sehingga Tuan Tukang Suruh lebih merasa
bermartabat dengan memperlakukan orang lain seenaknya. Ia memang hanya kacung
bagi orang lain. Bekerja sebagai buruh tani atau bangunan bagi pemilik kebun,
sawah, atau rumah yang akan dibangun. Ia bekerja demi upah tak seberapa untuk
penyambung hidup keluarganya.
Prinsip
Kacung, kerja apa saja asal halal. Karena itulah Kacung rela membarter
keringatnya dengan lembaran rupiah. Setengah hari kerja di kebun atau sawah
orang tanpa dikasih makan beroleh upah standar kampung 35 ribu, dan 30 ribu
jika dengan makan. Karena itulah hidupnya pas-pasan sebab mengolah sawah atau
kebun hanya pekerjaan musiman.
Beruntung
bagi Kacung, Mang Dul tukang tepercaya
di kampung karena hasil kerjanya rapi dan cekatan, mengajak Kacung kerja jadi laden alias asisten tukang. Kerjanya
memang sampai sore, bisa jam 5 pulangnya, namun upahnya lumayan. 65 ribu tanpa
makan atau 60 ribu jika dengan makan. Dan itu beroleh tambahan rokok, kopi,
sampai camilan sebagaimana kerja di kebun atau sawah juga.
Kerja
jadi kuli bangunan lebih baik daripada sawah atau kebun, setidaknya Kacung dan
orang yang senasib dengannya bisa menyambung kerja tiap hari sampai proyek
selesai. Itu berarti bisa mengumpulkan lembaran rupiah lebih banyak.
Syukur-syukur bisa ditabung sisanya.
Yah,
Kacung tahu mestinya menabung sebagai awal bukan dari apa yang tersisa. Namun
kebutuhan primer lebih mendesak. Setiap istrinya menyisihkan sebagian dari upah
ke dalam celengan kaleng yang bisa dikunci sebelum dibelanjakan, biasanya
sepuluh ribuan atau dua puluh ribuan,
kerap pula ia terpaksa mengambil tabungan tersebut untuk keperluan mendesak jika
Kacung menganggur.
Mereka
mengandalkan tabungan anak tunggalnya di sekolah sebagai tabungan rutin yang
tidak untuk diambil. Cuma 2 ribu tiap hari, kadang juga 5 ribu. Dan belum
mencapai jumlah 100 ribu.
Barangkali
bagi insan lain yang senasib dengan Kacung, keringat kuli sangat besar artinya
demi penyambung hidup keluarga. Kacung bisa mandiri dengan cara menggantungkan hidup pada orang
yang membutuhkan tenaganya. Itu kehidupan yang bermartabat meski berurusan dengan
tanah, lumpur, semen, pasir, sampai pupuk kandang yang diangkutnya di atas
punggung.
Dan
jika ia membandingkan hidupnya dengan Tuan Tukang Suruh, apakah dianggap tidak
bermartabat karena lebih miskin daripada Tuan Tukang Suruh. Ia memang hanya
Kacung, tak punya tanah-kebun-sawah-apalagi barang berharga lainnya.
Rumah
pun menumpang sementara di atas tanah carik. Hanya rumah panggung sederhana
yang dipindahkan dari tanah yang mestinya hak istri Kacung namun malah dijual
mertua Kacung secara semena-mena karena beliau terlilit utang bodoh pada sekian
bank dan lintah darat, lalu ingin
mengadu nasib di kota sendirian tanpa peduli anak cucunya berbekal uang penjual
tanah. Sekarang wanita itu barusan meninggal secara tragis, dimakan keserakahan
dan ambisinya yang tak berujung pangkal.
Kacung
menghentikan kerja memperbaiki atap, ikut duduk di bale-bale meski enggan.
Menyimak ucapan Tuan Tukang Suruh yang menyuruhnya ke rumah nanti lepas magrib.
“Omat!” katanya. Selalu saja kata omat yang berarti kata halus untuk
mendesak malah disalahgunakan untuk mengintimidasi dalam artian memaksa orang
yang tak berkenan. Omat yang sering
digunakan dalam nasihat kebaikan orang Sunda telah digeserkan maknanya jika
dipakai Tuan Tukang Suruh untuk menyuruh orang lain seperti Kacung.
Tak
jelas apa yang dimaui Tuan Tukang Suruh, Kacung enggan menanyakan lebih lanjut
karena ia malas utuk memenuhi permintaan atau lebih tepatnya suruhan Tuan
Tukang Suruh nanti.
Karena
itulah lepas magrib ia tidak datang, tidak juga hari-hari lainnya. Kacung sudah
muak. Ia bukan korban satu-satunya Tuan Tukang Suruh. Sebelumnya ada Pak Pii
yang pernah disuruh-suruh seenaknya juga. Dan sebagaimana Pak Pii, Kacung pun
mengalami nasib menggantung dengan upah 200 ribu yang sampai kini belum
dibayarnya. Itu upah dari anak Tuan Tukang Suruh kala Kacung kerja jadi laden
Tuan Tukang Suruh untuk bikin rumah anaknya.
Jika
Pak Pii harus makan hati karena upahnya lama sekali dibayar, Kacung tidak jelas
apakah akan dibayar. Tuan Tukang Suruh selalu beralasan belum ditransfer
anaknya, atau anaknya belum datang bawa uang. Itu kerja dari bulan puasa.
Sekarang sudah dua bulan ia tetap belum dapat bayaran. Entah apakah uang dari
anaknya dipakai Tuan Tukang Suruh dulu, atau Tuan Tukang Suruh ngeyel mengerjai Kacung karena mulai
tidak “patuh”.
Dulu
Kacung patuh, disuruh-suruh karena merasa bergantung pada Tuan Tukang Suruh.
Namun akal sehatnya berontak, ia merasa tak berfaedah gaul dengan insan macam
demikian. Berlagak bossy, meninggikan
diri, tidak menghargai. Apakah Tuan Tukang Suruh merasa sebagai “raja kecil” di
wilayahnya? Hanya karena pernah memberi kerja pada Kacung dengan bayaran uang
secara benar bukan berarti selanjutnya boleh berlaku tak benar.
Menyuruh
Kacung datang kapan saja, malam-malam padahal capai habis kerja jadi kuli di
tempat lain, lalu Kacung yang malang disuruh memijat Tuan Tukang Suruh yang
pegal atau apa saja, tanpa bayaran uang pula. Kacung kesal. Tiap disuruh
memijat Abah Ail atau cucu lelakinya atau siapa saja, Kacung selalu dapat
bayaran memadai. Bisa 15 sampai 30 ribu. Jangan harap beroleh upah dari Tuan
Tukang Suruh. Apa kopi, rokok dan
camilan cukup? Kacung tak bisa bawa pulang uang untuk jajan anaknya yang baru
kelas 2 Madrasah Ibtidaiyah, setara
SD.
Reputasi
Tuan Tukang Suruh di kampung memang tidak baik. Lelaki jelang 50 tahun itu kerjanya
saja tidak jelas apa. Sesekali ngojek, entah dapat uang dari mana. Kiriman dari
anak-anaknya di lain kota? Kacung tidak tahu. Dia hanya bingung dengan
nasibnya. Ia lelaki rumahan yang bertanggung jawab, sayang istri dan anak
karena mereka hanya bertiga dan tak bisa mengandalkan sesiapa.
Memang
ada Uwak Heni di kota yang kadang membantu mereka. Sepupu istrinya itu tiap
jelang lebaran selalu transfer uang barang 100 sampai 200 ribu untuk anak
Kacung.Pernah juga menggunakan tenaga Kacung untuk merenovasi rumah. Dan orang
semacam Uwak Heni serta suaminya adalah tipikal bos yang baik.
Bagi
Kacung, ia kenyang berurusan dengan tipe bos kurang atau tidak baik. Ia
bersyukur masih banyak bos baik bahkan superbaik -- karena bisa kasbon dan
kerap memberi beras atau bahan makanan lainnya untuk Kacung. Baginya Tuan
Tukang Suruh adalah bos yang mesti dihindarinya.
Istri
Kacung lega suaminya tidak bergaul lagi dengan Tuan Tukang Suruh, takut
terpengaruh. Ia hanya khawatir dengan reputasi lelaki tersebut yang konon gemar
minum miras dan main cewek.
Sekarang
Kacung memilih mengabdi pada Mang Dul, lelaki itu bos yang baik. Kacung hanya
berharap bisa menimba ilmu pertukangan pada paman istrinya. Dan jika sedang
tidak ada proyek dengan Mang Dul, Kacung jualan sarung tangan kaus
murah-meriah, 2 ribu rupiah per
pasang. Keliling
sampai kampung terjauh, nun di seberang kampung istrinya di bukit lain, bahkan
menyeberang sampai desa di kecamatan lain. Melewati kampung demi kampung sampai
pematang sawah demi menyambung hidup bahwa sebagai lelaki ia lebih bermartabat
daripada lelaki yang kerap menyuruh-nyuruh dengan seenaknya.***
Cipeujeuh, 11 September 2017
#Cerpen #KisahKampung #SubUrban #Kuli
#Petani #Laden #InsanBakhil
~Foto hasil jepretan kamera ponsel ANDROMAX PRIME~
Mbaaaa.. baca ini saya jadi teringat 4 tahun lalu pernah kerja di sebuah kontraktor yang spesial membangun rumah mewah.
BalasHapusSaya dipercaya oleh pak boss sehingga diminta mengurusin hampir semua kerjaan termasuk gaji pekerja proyek.
Dulu seingat saya upah asisten tukang tuh sekitar 65-75 ribu deh.
Dan saya ingat betul salah satu alasan saya keluar (selain anak) karena saya gak kuat liat pak boss terkesan semena-mena ama pekerja.
Meskipun sebenarnya pak boss gitu karena sering juga ditipu.
Jadinya dia seringnya jadi gak percayaan dan hitung-hitungan ama pekerja.
Yang pusing saya, bingung mau memihak yang mana.
Sementara saya tahu betul kalau pekerja itu amat sangat butuh upahnya yang gak seberapa, namun kadang juga ditahan ama si pak boss
Kembali lagi ini masalah stigma ya, khususnya stigma pekerjaan. Seperti kisah kacung yang sering kali di pandang sebelah mata. Padahal, tanpa kacung juga tukang suruh kelabakan. Mengena banget ini ceritanya.
BalasHapusBaca ini jadi haru, sedih, sayangnya tidak bisa berbuat apa apa juga.. fenomena aji mumpung tukang suruh ini memang ada di mana mana dengan posisi yang berbeda beda, bisa saja antar kawan, kakak angkatan, majikan, bahkan dalam keluarga.. intinya manusia bisa saja menjadi sangat jahat kalau ia tak sadar hakikat dirinya yang sebenarnya.. seseorang tanpa daya yang kelak akan terbaring tak berdaya tanpa siapa siapa dalam tanah yang kelam dan gelap, menunggu hari pengadilan..
BalasHapusKacung memang pesuruh tapi dia tetap manusia. Ya ini sedikit mengandung stigma pekerjaan, yang kadang tidak mengenakkan. Tapi aku suka dengan karakter Mang Dul yang menghargai pekerjaan si Kacung dan memberi upah yang sesuai padanya. 👍
BalasHapusMenarik banget ada cerpen semacam ini. Biasanya cerpen-cerpen mayoritas seting dan latarnya perkotaan dan luar negeri. Kalau membaca cerita-cerita seperti ini, pembaca jadi dibawa memahami kondisi rakyat jelata dan urban. Sekarang jarang banget lho nemuin cerpen-cerpen kayak gini. Kebanyakan bergaya perkotaan atau luar negeri.
BalasHapusKejujuran, memanusiakan manusia hal yang sudah langka sptnya jaman skrg. Orang tidak jujur krn tuntutan hidup, orang bs semena2 krn pernah tertipu dkk.
BalasHapusSemoga kita bisa menjadi pribadi yang baik kepada diapa saja tanpa.memandang pekerjaannya apa dkk
Tuan Tukang Suruh ini mewakili oknum yg sampai sekarang selalu ada di sekitar kita. Mereka yg hanya memanfaatkan orang kecil tanpa mau berempati dengan harga diri yg dimiliki. Meski menghargai orang tak melulu soal uang sih, tapi setidaknya tidak seenaknya sendiri. Makasih mbak sudah mengangkat cerita ini ya untuk mewakili hal sederhana yg masih sering terjadi.
BalasHapusKacung betah bekerja tergantung bosnya, kalau bosnya kejam ya pasti gak akan tahan juga, beruntunglah dapat bosnya yang manusiawi, membuatnya tetap bermatabat meski hidup cukup sederhana
BalasHapuskeren ceritanya nih teh..
BalasHapusMengajarkan kita, walau berada di strata status rendah secara tingkat sosial, bukan berarti kita layak untuk mendapatkan perlakuan tidak adil dan seenaknya..
Dan sebagai yang berada di atas, seharusnya lebih bisa mengayomi..
Menjadi kacung memang tidak enak, semua serba dikata mulu sama bos. Kalau melawan, ya gak nerima apa-apa, terlebih bagi yang jadi kacung dan punya tanggungan..
BalasHapusMau keluar dari lingkungan toxic, tapi mencari pekerjaan lain belum tentu dapat.. Serba salah memang..