Selasa, 06 November 2018

Belajar dari Ayam




JIKA kita bersandar pada teori humanisme untuk menganalisis cerita dalam bentuk fabel, Ayam yang Ingkar Janji (Penerbit Rainbow, 2014), masuk kriteria tersebut. Sebagai bahan pedagogik bagi anak.



JUDUL          : Ayam yang Ingkar Janji (Dan Kumpulan Cerita Ayam Lainnya)

PENULIS      : Winkanda Satria Putra

PENERBIT    : Rainbow (Penerbit Andi)

CETAKAN     : 1, 2014

TEBAL          : vi + 66 Halaman

ISBN            : 978-979-29-4596-6


Bimbingan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak atau orang lain yang belum dewasa disebut pendidikan (pedagogik). Jadi, pedagogik berarti suatu usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk memengaruhi seseorang atau sekelompok orang lain agar menjadi dewasa (atau tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi).

Dalam bentuk lain, pedagogik dipandang sebagai suatu proses atau aktivitas yang bertujuan agar tingkah laku manusia mendapat perubahan. Tingkah laku seseorang adalah setiap respons yang dapat dilihat atau diperlihatkan oleh orang lain. Pedagogik termasuk ilmu yang sifatnya teoritis dan praktis. Oleh karena itu, pedagogik banyak berhubungan dengan ilmu-ilmu lain seperti: ilmu sosial, ilmu psikologi, psikologi belajar, metodologi pengajaran, sosiologi, filsafat dan lainnya.

Mengacu pada uraian di atas, buku Ayam yang Ingkar Janji sangat direkomendasikan untuk alat bantu pedagogik sendiri. Sebagai koleksi perpustakaan pribadi untuk anak atau proyek pengadaan koleksi perpustakaan sekolah.

Winkanda Satria Putra sebagai penulis seakan membimbing anak untuk memahami nilai-nilai kebaikan dan pranata sosial yang berlaku di sekitar. Subjek cerita bertumpu pada tokoh ayam dengan beragam perangai.  Sedang tokoh hewan lain beperan sebagai karakter pendukung, bisa sebagai protagonis atau antagonis.


Buku ini unik, karena menjadikan ayam sebagai pelakon bisa merupakan lekatan agar anak terkesan. Ayam ternyata punya banyak kisah, beragam pula. Ceritanya singkat namun padat dengan nilai rujukan, Paragraf dan dialog tidak kepanjangan. Memudahkan anak untuk mencerna. Dan di setiap akhir cerita pendek ada pesan moral berikut pertanyaan. Sedang jawaban ada di akhir kesemua cerita, dalam judul dan halaman tersendiri (52-63).

Ukuran buku yang 19 X 19 Cm memudahkan anak atau orangtua memegangnya kala mendongeng untuk pengantar tidur. Dan isi cerita utama 66 halaman. Mungil tetapi bernas. Winkanda bersungguh-sungguh mengolah fabel tersebut meski pendidikan terakhirnya pasca-sarjana Kimia dari UGM dan bekerja sebagai supervisor PT Pharos Indonesia. Fabel bisa dibuat siapa saja (apa pun latar belakangnya).

Bagi Winkanda, dalam prakatanya, “Fabel adalah cerita yang menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang. Fabel biasanya berisi pendidikan moral dan budi pekerti. Fabel juga mengajarkan etika, keteladanan, dan semangat berusaha. Tepatlah kiranya bila fabel dijadikan teman pengantar tidur adik-adik tercinta.”


Kita mulai dengan mitos pertanyaan tak berujung pangkal dalam “Telur atau Ayam?” Seekor anak ayam yang selalu ingin tahu mengajukan pertanyaan sulit yang membebani pikirannya pada hewan lain yang dianggap lebih banyak tahu.  Ia selalu disuruh bertanya pada yang tingkatan pengetahuannya lebih tinggi daripada yang ditanyai. Dan pada akhirnya ia hanya beroleh jawaban bahwa pertanyaan mengenai asal-muasal mana yang lebih dulu tak sepenuhnya kita tahu. Di sini Winkanda mengajak anak untuk rajin mempelajari banyak hal namun tetap rendah hati dalam ilmu karena hanya Dialah Yang Maha Tahu.

Winkanda juga mengajak anak untuk memahami bentuk-bentuk persahabatan. Ada yang langgeng karena sama-sama saling tahu menempatkan diri dan tolong-menolong seperti dalam “Ayam dan Anjing”. Ada yang retak karena sembarangan memegang amanah sehingga menimbulkan permusuhan abadi dalam “Ayam dan Jarum Ajaib Milik Elang”. Ada yang retak pula karena sifat egois, serakah, malas, dan manipulatif; dalam “Ayam dan Kelelewar”, “Ayam dan Kera”, dan “Ayam yang Malas”.

Nilai-nilai kebaikan yang disampaikan pada anak sebaiknya menghibur pula agar anak tak merasa bosan apalagi digurui. Bagi anak, dunia penuh hal-hal baru tak terpahamkan, dan dengan buku mereka bisa belajar sekaligus menualangi dunia imajinasi. Imajinasi yang kelak akan mengajarkan mereka untuk merenungkan hal-ihwal kehidupan. Agar nilai-nilai kebaikan meresap ke alam bawah sadar, untuk diterapkan dalam keseharian.

“Anak Ayam dan Seekor Musang” mengajarkan anak agar mematuhi pesan atau nasihat orangtua demi kebaikan. Sangatlah berbahaya memiliki sifat ceroboh dan tidak waspada pada orang asing atau lingkungan sekitar. Dengan demikian, diharapkan anak tahu menempatkan diri sekaligus bisa menjaga diri secara mandiri.

“Musang dan Induk Ayam” mengajak anak belajar tak mengulangi kesalahan serta bisa menyiasati kelicikan pihak lain agar diri sendiri tak dirugikan lagi. Memahami setiap perbuatan pasti ada balasannya, entah baik atau buruk. 

Sombong itu hal buruk dan tercela, diri sendirilah pada akhirnya akan binasa seperti yang dicontohkan dalam “Perkelahian Dua Ekor Ayam Jantan”. Berbuat curang sama sekali tak berfaedah karena bisa saja pihak lain pada akhirnya unggul secara tak terduga padahal ia tak melakukan kecurangan atau menghalalkan segala cara, seperti dicontohkan dalam “Ayam yang Beruntung”. 


Ayam sebagai peran sentral cerita memiliki beragam pembagian watak seperti halnya manusia. Sifat-sifat baik atau buruk yang melekat pada manusia digambarkan oleh perwatakan ayam sedemikian rupa. Mengingatkan kita untuk berhati-hati, tak mengentengkan sesuatu, termasuk pada janji. Seperti yang dicontohkan dalam “Ayam yang Ingkar Janji”.

Satu hal lagi, egoisme diri yang kebablasan itu akan merugikan diri sendiri. Rasa tidak puas dan kurang bersyukur akan membuat kita takabur agar bisa lebih dari yang lain, itu yang dilakukan “Ayam yang Tidak Pernah Puas”. Ingin menjadi makhluk paling hebat lalu lebih hebat, dan lebih hebat lagi, lantas berakhir sebagai yang terlemah.

Para tokoh ayam adalah cerminan diri kita yang sebenarnya. Winkanda tidak berpretensi menelanjangi diri, ia hanya ingin mengajak anak belajar memahami sifat-sifat dasar. Pendidikan dini semacam itu siapa tahu kelak akan membangun karakter anak agar lebih kuat dan menerapkan dasar-dasar pedagogik yang telah diserap.(*)

Cipeujeuh, 20 Januari 2018

#BukuAnak #Resensi #DongengAyam #Fabel #WinkandaSatriaPutra #PenerbitRainbow #2014

~Foto koleksi pribadi~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah singgah, silakan tinggalkan jejak komentar sebagai tanda persahabatan agar saya bisa lakukan kunjungan balik. Komentar sebaiknya relevan dengan isi tulisan. Nama komentator tidak langsung mengarah ke URL pos blog agar tidak menambah beban jumlah link pemilik blog ini. Jangan sertakan link hidup dan mati, apalagi iklan karena termasuk spam.Terima kasih banyak. Salam. @rohyatisofjan

Disabilitas Mengelola Komunitas

Arti disabilitas adalah keterbatasan aktivitas dan partisipasi akibat  ketidakmampuan mental atau fisik. Hal itu bisa menjadi stigma dalam m...