Curhat Rana
Adi seperti biasa sok cuek seolah-olah aku tak ada, jika
di depanku. Namun siang yang membosankan ini, ketika jam istirahat terasa
panjang karena aku tak punya kegiatan dan si tengil Abu tak masuk tanpa kabar
(barangkali madol lagi), aku beroleh
runtutan kejutan.
Kokom cs menggodaku ketika kami sedang menonton anak-anak
kelas satu main sepak bola di Lapangan Pasopati, dalam naungan pohon sawo yang rindang.
“Tuh, Adi ngeliatin kamu terus,” matanya membulat jenaka,
menambah elok parasnya. Tati, Yanti, Elis, Rini, Sophie, Nia,
dan Wida cekikikan.
Aku menoleh ke arah yang ditunjuk mata Kokom,
dara cantik dengan rambut terpanjang di kelas kami. “Masa sih?” sangsiku sebab Adi yang sedang nongkrong di
depan kelasnya bareng gengnya malah cuek. Yang kudapat hanya cekakakan menggoda
dari kawan-kawan Adi melihatku seperti ini.
“Bego,” Sophie gemas. “Mestinya jangan menoleh, ngerling
aja, gitu. Tu anak malah pura-pura.”
Aku hanya bengong. Apalagi Kokom bilang dari tadi Adi
ngeliatinnya.
Aku pusing, apa benar Adi merhatiin aku sekadar menggoda
atau ada maksud tertentu. Aku bertambah pusing ketika jip hard top merah
yang dikemudikan Kak Iwan lewat di jalan depan yang membelah lapangan sepak
bola dengan kompleks sekolah.
Ia melambai ke arahku. “Hai Rana!” Senyumnya begitu
lebar, seolah siang diliputi kebahagiaan. Ia bersama sepupu
lelakinya yang cengengesan. Gantian
kawan-kawanku bengong. Kecuali Sophie dan Rini yang cuma mesem-mesem.
Aku tidak tahu harus bagaimana ketika jip itu malah
berhenti tepat di depan kami. Aku ingin ngumpet saja. Sebelum Kak Iwan
turun dari mobilnya, aku beranjak meninggalkan kawan-kawanku.
“Mau ke mana?” tanya mereka hampir serempak.
“Aku pusing,” dan jawaban ini mewakili apa yang
kurasakan. Aku berjalan menjauh, tak memedulikan teriakan Rini bahwa Kak Iwan
ingin bicara denganku. Bicara? Uh, tidak sekarang. Aku tidak menoleh,
tidak juga ketika melewati kelas Adi dan kawan-kawannya. Aku hanya ingin duduk
di bangkuku. Mengaktifkan APAD dan selancar di dumia maya, duniaku.
Lonceng pertanda jam istirahat usai akhirnya
berdentang. Kokom cs menghambur ke bangkuku. “Gila, Rana!” sembur Rini
geregetan. “Kak Iwan ingin ketemu, kamunya malah kabur.”
“Emangnya buat apa ketemuan, Rin?” tanyaku enggan
mengalihkan pandang dari layar kecil. Aku sedang membaca situs sastra milik
seorang kawan maya. Rini hanya angkat bahu, mengatakan bahwa itu bukan
urusannya untuk tahu.
“Ayolah, Rana, bukankah itu lucu?” Kokom membuatku
mendongak. “Dari tadi kamu diperhatikan Adi, eh. tahu-tahu abangnya datang ingin
ketemu, ha ha....”
Aku membiarkan Kokom dan kawan-kawanku tertawa, aku
terlalu sedih dan bingung untuk mengiringi tawa mereka. “Adi tahu kejadian
itu?”
“Aku melihatnya beranjak masuk kelas begitu abangnya
datang, sepertinya ia tidak suka. Entahlah.” Rini angkat bicara. Ia tetangga
mereka, masih terhitung saudara jauh sebenarnya.
Aku membayangkan reaksi Adi, apakah hanya tidak suka
abangnya coba mendekatiku atau malah tidak peduli? Sudah dua tahun aku mengenal
Adi namun perkenalan kami cuma sebatas kawan-beda-kelas dan
kawan-selatihan-karate di sekolah. Ada jarak di antara kami. Aku tak pernah
berani menyapanya, ia cuma sesekali menyapaku dan lebih sering pasang aksi cuek
begitu berembus isu bahwa aku diam-diam naksir dia.
Bukan aku yang membocorkan rasa itu, rasa yang timbul
ketika pertama kali melihatnya di acara perpeloncoan orientasi sekolah. Aku
jatuh cinta pada pandangan pertama. Melihat sosoknya yang tinggi tegap dibalut
seragam SMP dan kulitnya yang kecokelatan dengan tahi lalat gepeng sebesar kismis
di atas tulang pipinya, aku langsung terpesona padahal tidak tahu apa pun
mengenainya. Nama hanya yang tertera di karton, aku Pion (dan seniorku bilang
Pilon), ia Topa (belakangan aku tahu itu nama sayang dari ayahnya).
Kami sudah dibedakan kelas sejak MOS bahkan sekarang, seolah rentangan jarak
semacam pemisahan dari takdir. Dan takdir itu yang membuatku lebih suka
diam-diam mencintainya secara platonis, sialnya ada kawan sekelas Adi yang
memergoki aku sering memperhatikannya. Aku, Rana Diandra, yang tak suka menonjolkan diri dan lebih suka tenggelam
dalam dunia fiksinya, menjadi sumber gosip baru di seantero sekolah. Gosip yang
barangkali membingungkan beberapa cowok, juga kawan-kawanku.
“Apa menariknya Adi hingga kamu naksir dia, Rana? Padahal
reputasinya suka godain cewek. Bisa patah hatimu.” Itu nasihat Ai
Nurrohmah sobat sebangkuku di
kelas satu, orang pertama yang
menanyakan kebenaran gosipnya.
Apa menariknya Adi, secara fisikkah? Aku tidak tahu.
Reaksi kimia memang rumit. Cowok itu bahkan di mata Ai tidak terlalu tampan,
lumayanlah. Prestasinya tak begitu cemerlang, ia pernah tinggal kelas waktu SD
kata Rini. Bagaimana aku menjelaskan pada Ai tentang konsep cintaku. Bagi Ai
hidup itu mesti nyata, termasuk pacarnya yang sekarang. Aku mencintai seseorang
namun enggan pacaran. Itu membingungkan orang-orang.
Tidak bagi Abu, sobatku, ia tak peduli pada siapa aku
melabuhkan hati sejauh kami tetap dekat. Kadang juga aku pindah ke bangkunya di
barisanku paling belakang. Kami hanya berkawan. Abu naksir Sophie, tetapi
Sophienya pacaran dengan Dadan. Cinta Abu seolah bertepuk sebelah tangan.
Banyak yang menduga kami pacaran. Yang jelas kedekatanku dengan Abu tak cuma
membingungkan orang lain, aku bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya kuinginkan.
Aku menyayangi Abu, dan rasa sayangku kukhawatirkan berbeda kadarnya dengan apa
yang ia rasakan. Maka aku ambil jalan aman.
Lalu Kak Iwan, lelaki sekira 24 tahun itu bagiku terlalu
jauh. Ia abang sulung Adi. Pertemuan kami bisa dibilang konyol. Aku, Rini dan
Sophie sedang menanti kendaraan untuk pulang; sado untukku ke perempatan Cianten lalu
disambung ojek motor ke rumahku yang jauh di Cipeujeuh, dan angdes (angkutan pedesaan) untuk Sophie ke daerah Selaawi.
Kami habis main dari rumah Rini. Berteduh di bawah
naungan atap gapura Randukurung, beberapa meter di depan rumah Adi, ketika sebuah vesva
melintas di depanku. Pengendaranya berhenti dan menyapaku, “Mau ke mana?”
“Pulang,” jawabku singkat. Aku hanya tahu dari Rini kalau
ia abang Adi. Sehari sebelumnya ia pernah menyapaku di atas mobilnya kala aku,
Rini dan Sophie berjalan beriringan menuju gapura; aku berteriak pada Rini agar
jalan bareng jangan kayak iring-iringan bebek. Saat itu Kak Iwan rupanya
mendengar ucapanku yang terasa lucu, ia tertawa ke arahku dan aku hanya bengong
melihat sosok yang sepintas mirip Adi. Siapa nyana kemudian lelaki itu coba
PDKT. Tidak cuma itu, setelah kejadian di sekolah, ia nekat datang ke rumahku
sore-sore. Mau apel, ceritanya. Padahal aku naksir saja tidak. Aku cuma kagum
pada keberaniannya dalam hal pendekatan, aku tak pernah berani undang kawan
lelaki main ke rumah. Bapakku streng.
Lalu, aku harus
bagaimana? Naksir adiknya, malah dikejar abangnya!
Kesah Topan
Rana cantik sekali pagi ini. Banyak tertawa, bercanda
bersama Abunya. Hatiku pilu. Aku hanya bisa melihat Rana dari kejauhan.
Selalu. Seperti sekarang di koridor ini, hanya dipisahkan taman kecil dengan
kelas Rana.
Aku tak punya keberanian untuk mendekati apalagi
menyapanya, malu selalu menyergapku. Bukan hanya pada Rana seorang aku merasa
malu (atau tak PD), pada perempuan aku selalu demikian. Tak tahu harus
bagaimana.
Sebetulnya Rana cukup ramah pada sesama, namun ia seperti
berkesan menjaga jarak pada lawan jenisnya. Ia bisa akrab dengan siapa saja,
menjadi kawan untuk curhat, bisa dipercaya untuk menjaga rahasia.
Pendengar yang baik sekaligus konsultan amatiran bagi beberapa kawan lelaki dan
perempuan yang butuh saran. Itu kabar yang kudengar. Ia bisa dermawan sekaligus
bisa pelit minta ampun. Ia bukan tipe gadis yang digosipkan matre. Namun ia
juga tak bisa dimanfaatkan.
Waktu aku pertama kali melihat Rana di acara MOS, ia
masuk jajaran senior yang menjadi panitia opsek. Ia bukan tipe senior yang over
acting mengintimidasi adik kelas. Ia hanya menugaskan kami untuk menulis
esai dua halaman bertema Mengapa Aku Sekolah. Boleh ditulis tangan,
katanya ramah. Justru karena ramahlah aku langsung jatuh cinta padanya. Dan
sialnya, bukan hanya aku yang mengaguminya, ada banyak cowok naksir Rana!
Yang menjadi pertanyaan adalah: pada siapa hati Rana
terpaut? Sebab sampai sekarang ia dikenal sebagai tukang tolak cowok. Aku yakin
Rana punya alasan untuk itu. Playboy tak masuk hitungan. Atau karena
seorang Adi, lelaki yang ditaksirnya sampai sekarang?
Tiga hari lalu, aku sedang bermain sepak
bola bersama kawan-kawan sekelas, jam olahraga belum
usai. Pak Kuswendi mengawasi kami. Anak perempuan main voli. Dan Rana, Irwan
menyenggolku. “Gadismu,” katanya singkat. Aku memalingkan muka ke arah yang
ditunjuk Irwan. Sial, pada saat itu bola yang sedang kugiring malah dicuri
Irwan. Aku memaki, Irwan hanya tertawa dan sudah berlari menjauh menuju gawang.
Untung Dani sigap merebut kembali bolanya.
Dan Rana luput menyaksikan adegan itu. Ia sedang menengok
ke arah lain. Arah Adi sedang nongkrong bareng gerombolannya. Aku merasa pilu.
Rana seolah hanya melihat seorang Adi saja dalam hidupnya, tidak aku yang
sering mencuri pandang ke arahnya, diam-diam sampai terang-terangan.
Dan siang seolah tak henti mengabar duka. Beberapa menit
kemudian, saat aku masih main sambil sesekali mengerling ke arah Rana. Jip
merah melintas. Aku tahu pengemudinya Kak Iwan, abang Adi. Yang tak kutahu
kemudian adalah ternyata ia mengincar Rana. Aku bermain dengan murung, merasa
lelah dan patah. Salahku juga aku tak punya keberanian untuk mendekatinya dan
menyatakan rasa sukaku. Rana bahkan tidak ingat sosok dan namaku. Padahal karena
Ranalah aku ikut latihan karate.
Usai olahraga
Irwan menepuk bahuku, “Jangan melamun, bro!”
“Dab, aku patah hati.”
“Rana?”
“He-eh....”
“Lupakan dia,” Irwan membuka kaus olahraganya, mengelap
dadanya dengan kaus itu. “Cowok di mobil yang tadi cari Rana, ya? Untuk apa
emangnya?”
“Tauk!”
aku hanya mengedik.
“Kalau begitu,” Irwan menambahkan, “Coba saja....”
“Coba apa?” aku penasaran karena Irwan sengaja
menggantungkan kalimatnya.
“PDKT.”
“Rana?”
“Siapa lagi?”
Aku mendengus.
“Jangan begitu,” Irwan seperti tidak sabar. “Hanya dengan
cara itulah kamu akan dapat kepastian ketimbang menyiksa diri terus dengan
cinta terpendammu.”
“Aku bisa ditolak, Dab!”
“Itu risikomu,” Irwan nyengir. “Aku hanya tak ingin kamu
terombang-ambing rasa aneh karena loving gadis itu. Rana berhak tahu,
‘kan?”
“Dan membuatnya kelak menjauhiku karena itu? Tidak, bukan
itu yang kuinginkan dengan mencintai Rana.”
“Hei, kenapa kamu berpikir negatif? Belum tentu ia
menjauhimu,” Irwan mengibaskan kausnya, hampir menyabet kepalaku. Huh, kaus
bau!
“Entahlah, Wan, mungkin nanti aku akan bisa menghimpun
keberanian.”
“Topan, kamu jangan menilai rendah dirimu sampai berpikir
orang lain akan menerapkan standar tinggi!”
“Rana cerdas,” aku menyimpulkan.
“Tapi tak berambisi jadi bintang kelas,” Irwan menambah
kesimpulan, “Tiga besar di kelasnya paling hanya peringkat dua atau tiga.
Setahuku ia pembenci angka, itu kesempatan bagimu untuk PDKT dengan dalih
belajar bersama matematika sampai fisika,” Irwan tergelak. Aku hanya melongo.
“Bagaimana kamu tahu soal itu?” Sungguh, meski otakku
lumayan aku tak tahu Rana punya kesulitan. Hitungan memang mengerikan bagi yang
tak doyan, tapi aku sangat cinta matematika.
“Aku tak sengaja nguping obrolannya dengan Abu di warung,
ayahnya yang streng tak peduli nilai bagus mata pelajaran putri semata
wayangnya, yang diincar hanya matematika. Dan itu membuat stres. Rana minta
diajari Abu, tapi kamu sendiri tahu ‘kan, Abu sekolahnya sering tak benar. Hobi
madol dan ngaret. Itu kesempatan bagimu, bro!” Irwan mengacungkan jempol
kanannya.
Aku diam.
“Kenapa diam?” Irwan tak sabaran.
“Aku adik kelasnya, Wan....”
“Apa salahnya? Kamu juga lumayan, Rana butuh pemahaman
bagi dasar. Siapa tahu, bukan hanya nambah pintar Rana, kamu juga bisa
memastikan soal rasamu.”
“Mengapa rasaku harus dipastikan segala?” Aku kesal.
“Seberapa dalam kamu mencintainya? Maksudku, kadar rasa
sukamu apakah akan berkurang atau bertambah dengan mengenal Rana lebih dekat.”
Itu yang menyebalkan dari Irwan, sok berfilosofi!
“Uh, emangnya emas, pake kadar-kadaran,” aku ngeles.
“Dunia ini tak diisi cewek bernama Rana doang, bro,
jodohmu bisa siapa saja. Tapi, bagaimana kamu bisa tahu jodohmu jika belum coba
PDKT. Takutnya...,” Irwan malah ketawa, “setelah kamu tak berani dekati Rana
sampai kapan pun, kamu juga tak berani dekati cewek lain. Anggap Rana
latihanmu....” Irwan ngakak.
Giliran aku balas menyabet kepalanya dengan kausku.
“Sembarangan!”
Dan sampai sekarang, di Sabtu pagi yang mestinya penuh
semangat karena aku bisa kembali melihat Rana, hanya bisa melihatnya;
aku lesu melihat adegan kemesraan Rana dan Abu. Irwan belum datang, tak ada
yang menghiburku. Setidaknya.
Rana tidak menyadari tatap kecewaku, asyik
tertawa-tawa dengan Abunya, entah apa yang mereka bicarakan, jarak mereka
terlalu sayup untuk kudengar. Bahuku ditepuk seseorang. Aku menoleh, kaget.
“Melamun!” Adi tersenyum. Tumben anak itu menyapaku. Ia
diiringi gengnya; Bule, Encep, Yosep, dan Ade.
“Gak,” aku kesal kenapa sainganku dalam urusan rasa suka
pada Rana malah sok akrab segala.
Adi tertawa, “Dari tadi situ kaget, pagi-pagi kesambet
apa?” Bah, kawan-kawannya ikut ngakak, tadi aku sempat tersentak. Tepukan Adi
keras banget, mana ia badag. Aneh, tawa Adi seketika terhenti, ia
seperti tercenung melihat Rana dan Abu. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan
sebab raut wajahnya segera berubah datar. “Sori, besok Minggu latihan karatenya
digabung dengan anak-anak di SMA Negeri Limbangan. Tolong beri tahu perubahan jadwalnya pada anak lain.”
“Mangga.”
“Juga pada Rana,” Adi menunjuk ke seberang. Eh, apa?
Memberi tahu Rana? Berarti aku harus ngomong padanya, padahal sekadar mendekati
untuk menyapa saja aku tak berani.
“Aku gak bisa!” ada dorongan spontan untuk bertindak.
Mata Adi menyipit tanda heran.
“Napa?”
“Kamu aja yang nyampein itu.”
“Apa susahnya?”
“Aku gak kenal, atau setidaknya Rana gak mengenaliku.”
Adi menggeleng, “Ada-ada saja. Sudah, kamu tinggal
ngomong sama dia, kenal atau gak no problem Bos. Sekalian kenalan....”
“Lalu pacaran, ha ha...!” sambar Yosep menggelegar. Diiringi tawa Adi dan
gengnya. Sialan! Jadi banci kaleng aku di depan mereka!
“Kamu saja, Di,” aku ogah jadi bulan-bulanan seniorku.
“Kabarnya Rana naksir kamu, ia pasti bahagia jika kamu yang nyampeinnya.”
Kena telak! Wajah Adi memerah, gengnya tambah riuh ngakak
sambil menunjuk Adi dan Rana bergantian. Dan pada saat itu, Rana menoleh ke
arah kami. Ia tertegun, matanya memicing heran. Memandang Adi dan gengnya. Lalu
Adi. Namun tidak padaku, tidak sekalipun ia melihatku. Aku patah!
Adi terbatuk-batuk, mengibaskan lengan pada gengnya dan
berlalu. Ekor mata Rana mengiringi kepergian Adi. Dan aku yakin Rana lebih
hafal sosok Adi dibanding lekaki lain, setidaknya di sekolah. Aku melihat Adi
berjalan menghampiri Rana. Aku pikir ia akan menyampaikan perubahan tempat
latihan, dan aku menyesal juga mengapa melewatkan peluang untuk mendekati Rana,
meski hanya sekadar bicara sebentar. Sungguh aku merasa bodoh. Eh, apa? Adi
melewati Rana begitu saja. Tidak ngomong atau memandangnya. Aku bengong.
Gengnya malah ngakak, dan meninggalkanku, mengikuti bos mereka ke dalam
kelasnya.
Aku melihat bias kecewa di wajah Rana. Tadi Adi berlaku
seolah hendak menyapanya, ternyata malah sekadar lewat saja. Aku jengkel pada
Adi sekaligus kasihan pada Rana. Dan rasa kasihan itu berubah jadi cemburu
ketika Abu menggandeng lengan Rana agar masuk kelas. Aku masih menyaksikan
sosok mereka menghilang ke ambang pintu ketika Irwan muncul dengan wajah segar
dan senyum terkembang. Aku hanya mengabarkan perubahan jadwal latihan karate
besok. Itu saja, lain itu tidak! Bel masuk sudah keburu berdentang.
Gerutu Adi
Apa hidup
ini hanya berkisar pada seorang Rana melulu, Rana yang dikelilingi orang
terdekatnya, abangnya, bahkan yang terparah ada adik kelasnya yang naksir juga!
Adi tak habis pikir. Rana yang cantiknya biasa saja, sebab kalah gaya, bisa
menggaet mata banyak cowok.
Pada hari Minggu, ketika latihan karate dan Rana tak
hadir, Adi bertanya pada Topan apakah sudah menyampaikan pesannya tentang
perubahan jadwal. Dan apa jawab Topan? Tak berani ngomong langsung pada Rana.
Sialan!
“Kenapa?” tanya Adi gusar, entah mengapa ia harus gusar
dengan ketidakhadiran Rana.
“Seperti kataku kemarin, aku gak berani ngomong,” namun
wajahnya pias seperti merasa sangat bersalah sekaligus khawatir. Biasanya Rana
paling rajin latihan, gerakannya lumayan luwes, sabuk hijau sudah menguasai
jurus kata yang diperuntukkan sabuk biru. Rana sangat serius.
“Kamu,” sesal Adi, “Kasihan ia kalau ke sekolah dan tak
tahu perubahan tempat. Udah, tahu nomor HP-nya?”
“Nomor HP Rana?” ulang Topan bego, “Enggak. Mana berani
aku tanya-tanya itu. Kupikir kamu....”
“Hai kalian, ada yang tahu nomor HP Rana, gak?!” seru Adi
pada segerombolan kawan-kawannya yang dijawab dengan gelengan. Ih, Rana tuh
pelit ngasi nomor, takut diisengi ‘kali.
Adi garuk-garuk kepala, mau apa lagi Sensei Junjun, Pak Marga Riswanda, dan Pak Kuswendi telah tiba dan bersiap memberi aba-aba
untuk pemanasan. Latihan karate kali ini tanpa Rana, Adi entah mengapa merasa
sepi. Dan di barisan belakang Topan tidak fokus latihannya. ‘Ke mana Rana?’
Istirahat latihan, sambil tertawa Irwan bilang, “Topan
tuh tak berani ngomong sama Rana sebab naksir....”
Adi diam, diliriknya Topan yang menunduk seperti
menyembunyikan wajahnya dari rasa malu. Huh! Naksir Rana, pantesan pikir Adi,
anak itu sering ngeliatin Rana.
“Bener?” tanya Adi yang segera berusaha menyembunyikan
rasanya dengan tertawa ngakak seolah itu lelucon besar.
“Tanya Topan,” senggol Irwan pada bahu Topan yang dibalas
dengan semburan, ember kamu!
“Kabarnya Rana naksir kamu, ya, Di?” Irwan seolah tak
peduli pada reaksi Topan maupun Adi yang kali ini jambon. Namun Topan
tegang ingin tahu reaksi Adi.
“Ah, gosip,” Adi berusaha ngeles.
“Tapi gosipnya bener, Di. Gimana sebenarnya rasamu pada
Rana?” cecar Irwan sambil mengedip ke arah Topan.
“Biasa aja,” Adi ngeles lagi. Biasa? Apa arti rasa tadi
ketika Rana tak hadir dan beberapa hari lalu Kak Iwan PDKT?!
Bajingan, abangnya ‘kan sudah punya pacar, kurang apa Teh
Didah dibanding Rana? Teh Didahnya tak mau dijodohkan dengan Kak Iwan, itu
masalahnya padahal Kak Iwan konon cinta. Huh, apa itu cinta? Sekarang ada bocah
ingusan kelas satu yang naksir Rana juga. Adi merasa tersaingi, entah mengapa.
“Ah, kalau gitu berarti Topan harus dibantu, Di.” Kurang
ajar betul Irwan itu, dibantu apa?
“Jangan tambah ngaco,” omel Topan.
“Loh, bukan ngaco, ini kan faktanya, Rana naksir Adi tapi
Adinya enggak, kamu naksir Rana, sekarang dapat kepastian ‘kan, maka kita bantu
comblangi Topan pada Rana.”
Adi tertawa, wajah Topan kayak udang rebus. “Bereslah,”
entah mengapa Adi merasa bisa mengucapkannya dengan ringan, namun ia ingin tahu
juga bagaimana reaksi Rana nanti. Baguslah kalau saingannya gugur, Adi
sebetulnya suka ditaksir Rana, namun ia tak tahu bagaimana cara menghadapinya.
Rana bisa sangat berjarak dan Adi takut jatuh gengsi ditolak Rana atau minimal
dijauhinya seperti pada Aceng anak kelas tiga, pleboi cap jempol yang pernah
coba PDKT. Dilihatnya Aceng cuma cengengesan. Kapok ia. Apalagi seperti tak
ingin bersaing dengan Adi sobatnya yang masih tetanggaan.
“Caranya?” cecar Irwan. Aneh, napa anak itu sangat
bersemangat. Yang naksir siapa?
“Ah, nanti kita pikirkan. Sekarang nyante dulu. Rananya
gak ada.” Ponsel Adi berdering. Ia meraihnya dan melihat di layar Kak Iwan
memanggil, dengan malas Adi menjawabnya. “Halo?”
“Di, ada pesan dari Rana latihannya di mana?”
“Latihan apa?” Adi sebetulnya berdebar juga bagaimana
Rana bisa menyuruh Kak Iwan untuk menghubunginya.
“Karate.” Deg, debar Adi kian kuat. “Kata Rana dari tadi
ia udah nunggu di luar sekolah, ditemani aku sampai lupa waktu, sekarang ia ingat dan bingung.”
“Oh itu,” Adi berusaha menyembunyikan rasa tidak sukanya
karena Rana bersama abangnya, huh. “Di SMA Negeri, udah telat ia, sekarang lagi istirahat. Bilangin
ke Rana.” Tahu rasa! Didengarnya Kak Iwan menyampaikan ucapannya. Dan ada suara
Rana yang ber-o. Adi gemas sekali dan segera mengakhiri pembicaraan.
“Itu tadi tentang Rana, Di, dari siapa telefonnya?” Irwan
penasaran.
“Abangku,” jawab Adi singkat. “Lagi bareng Rana di
sekolah nunggu latihan, ianya gak tahu perubahan tempat.” Diliriknya Topan yang
bengong.
“Kak Iwan?” desis Topan kecewa.
“Ah, ya.” Adi tidak tahu mengapa rasa kecewa Topan malah
menular padanya. “Sebetulnya abangku udah punya pacar dan bentar lagi mau
nikah.” Adi tiba-tiba merasa kasihan pada Rana.
Topan dan Irwan melongo. Aceng malah cengengesan terus,
“Kacian!” celetuknya puas. Adi hanya tersenyum getir tak menanggapi Aceng.
Dan sepulang latihan, kala angdes yang mereka tumpangi
lewat Alun-alun Limbangan, dada Adi berdentam melihat Kak Iwan membonceng Rana
dan berbelok ke kedai bakso. Ngapain saja mereka? Lelah dan lapar Adi merasa
sendirian, seharusnya ia yang berboncengan dengan Rana dan mengajaknya makan
sepulang latihan. Kadang Adi suka membayangkan itu kala melihat Rana sehabis
latihan namun tidak berani mengajaknya. Sekarang abangnya malah menyerobot.
Huh, mentang-mentang sudah kerja di Geofisika.
Hari-hari merayap cepat, kisah Rana dan abangnya menjadi hot
gossip di kalangan sekolah. Kak Iwan sering menjemput Rana dan bertandang
setiap hari Sabtu. Apel, ceritanya kala diledek Adi. Tidak sadar adiknya
ditaksir Rana. Tidak peduli sebentar lagi ia akan nikah. Apa perlu calon
pengantin pacaran sepuasnya dulu sebelum menikah, dan apakah kelak Kak Iwan
akan jadi suami yang baik dan tak selingkuh sana-sini? Adi tidak tahu. Namun ia
sangat terusik membayangkan reaksi Rana jika tahu.
Mungkin ini saat yang tepat kala ia berpapasan dengan
Rana di toilet. Adi tersenyum dan menyapanya agar ke kelas bareng. Rana
terlihat gugup namun mengangguk.
“Aku ingin ngomong dulu dengan kamu, penting.”
“Tentang apa?” Rana bingung.
Dan Adi menunjuk ke arah beranda masjid yang sepi,
sekarang jam pelajaran terakhir. “Yuk,” ajaknya.
Adi duduk diikuti Rana yang mengambil jarak. Huh,
seharusnya gadis itu berdekatan dengannya, pikir Adi, namun ia malu juga ketika
sadar gugup Rana karena malu.
“Kamu dan Kak Iwan pacaran?” bagaimanapun Adi harus
ucapkan itu, dan ia tak berani melihat Rana langsung. Matanya lurus ke depan,
ke jejeran kelas yang sepi. Para guru pasti sedang menerangkan pelajaran. Adi
ingin membolos saja agar bisa berlama-lama dengan Rana. Fisika tadi bikin
suntuk. Hening. Tak ada jawaban. Adi terpaksa menoleh ke sampingnya, Rana
terlihat bingung.
“Halo?” sapa Adi tak sabar.
“Aku tidak tahu.”
“Kok?”
“Abangmu sering jemput dan ajak jalan, tapi aku gak tahu
apa kami pacaran.”
“Kamu aneh,” sembur Adi. “Ngapain saja kalian?”
“Ya jalan, ngobrol, dan makan.” Rana seperti tidak nyaman.
“Belum apa-apa?”
“Apa maksudmu?”
“Tidak lebih dari itu?” Adi sadar ia tak berhak ajukan
pertanyaan macam itu sebab dirasa tak sopan, namun ia harus tahu sebab Kak Iwan
suka membual soal keahliannya dalam menggaet cewek.
“Insya Allah, tidak lebih.” Rana tersenyum, senyum
yang sulit diartikan Adi namun ia merasa senyum Rana tulus.
“Kamu harus tahu kebenaran tentang Kak Iwan dariku
sebelum orang lain memberi tahumu.” Bagaimanapun, Adi harus ucapkan itu. Mata Rana bertanya. Dan Adi tidak
tega. “Ia sudah punya calon istri,” ucapan itu sebetulnya bernada lembut namun
efeknya dahsyat sebab wajah Rana langsung pucat.
Hening mengambang di antara mereka. Adi merasa bersalah
sebab Rana terlihat sedih dan kecewa, entah mengapa ia merasa kecewa juga.
Untuk apa?
“Maaf, aku tidak tahu.” Suara Rana lemah.
“Maaf aku memberi tahumu.” Adi merasa jadi banci.
“Terima kasih.” Sendat sekali suara Rana.
Apa perlu Rana berterima kasih, pikir Adi. Sungguh ia
ingin bisa menghibur gadis itu, setidaknya menyediakan bahunya untuk menangis,
namun Rana tak menangis. Dan Adi tak berani berbuat lebih. Ia teringat Topan
yang masih berharap. Topan yang patah hati.
Bocah itu! Andai saja ia tak mengiyakan soal
mencomblangkan barangkali Adi bisa menggunakan saat ini untuk PDKT. Namun tak
etis, bukankah hati Rana barusan patah karena dikadalin abangnya. Apa yang
harus dilakukannya? Adi ingin sekali menggenggam tangan gadis itu. Tangannya
memegang bahu Rana. Rana menoleh kaget.
“Masuk kelas, yuk?” Bego! Napa kata itu yang ia ucapkan?
Seharusnya, ‘Aku suka padamu!’ Lidah Adi kelu. Ia merasa terpasung rasa khawatir.
Rasa itu yang menghalanginya untuk PDKT Rana. Ia merasa tersanjung disukai
gadis itu namun khawatir kelak Rana akan berhenti suka jika tahu kekurangannya.
Mengapa ia ingin terlihat sempurna di mata gadis itu? Lalu untuk apa segala
sikap jaimnya, pura-pura cuek jika berjumpa dengan Rana, namun diam-diam ekor
matanya akan mencari ke sudut mana Rana berada? Dan kekecewaanlah yang melanda
jika Rana malah berakrab ria dengan Abu.
Sebagai lelaki nalurinya merasa Abu pun menyukai gadis
itu, hanya soal waktu, barangkali. Mungkin Abu lebih punya keberanian untuk
menyatakannya, atau sama-sama pengecut sepertinya? Abu junkie dan tak
bisa lepas dari dunianya! Itu sudah jadi rahasia umum, dan Rana tak berdaya
untuk meluruskan Abunya. Mengapa Rana harus dekat dengan Abu, apakah gadis itu
pun sebetulnya menyukai Abu namun tidak sadar? Adi merasa mumet. Ia bangkit.
“Ayo!” Lebih bernada paksaan daripada ajakan. Ia tidak
suka berada dalam suasana diam yang aneh. Ia suka berdekatan dengan Rana namun
tak suka dengan efek yang telah ditimbulkan dari percakapan tentang fakta Kak
Iwan. Ia merasa tidak nyaman dan bersalah.
Mereka berjalan berdampingan dalam diam, menginjak rumput
yang kering diranggas kemarau. Udara terasa terik membakar, sebentar lagi jam
pelajaran usai.
“Pulang sekolah nanti kita pulang bareng, yuk. Aku ingin mentraktirmu ngebakso.”
Mata Rana mengerjap, ada binar bahagia di sana. “Napa?”
“Pingin aja.” Adi tersenyum. Mungkin ini sebuah awal
untuk berbagai urusan, menghibur Rana (atau PDKT?). Dan bagaimana dengan Topan?
Tidak sekarang, mungkin nanti ia akan mencomblangkan atau tidak jadi. Adi tidak
tahu. Yang ia tahu hanya ingin membuat Rana menyukainya apa adanya. Mereka
berpandangan dalam senyum dan sama-sama malu untuk melanjutkan percakapan.
Abu Sang Junkie
Rana Sayang, gue gak nyangka
akhirnya elo bisa dekat Adi. Di satu sisi gue senang elo hepi meski gue sedih
dan merasa kehilangan. Gue gak tau napa. Mungkin gue suka elo lebih dari
sekadar kawan, gue gak tahu. Gue suka perhatian lo, gue suka cara lo nanggapi
gue. Cara lo mengacak-acak rambut gue. Cara lo....
Sampai di sini Abu berhenti. Dipandanginya coretan di
buku catatan kimia. Norak! Pikirnya. Gue cuma bisa curhat di sembarang kertas.
Gak bisa ngungkapinnya pada Rana. Abu segera melempar buku itu ke atas meja
belajar. Ada rasa sepi menjalar. Tinggal di pesantren mungkin adem, ia bisa
belajar mandiri. Namun Abu adalah Abu, si bungsu yang manja dan susah diatur.
Seorang pencandu narkoba, sudah coba-coba sejak kelas enam SD dan sampai
sekarang masih keterusan. Tidak heran keluarganya kewalahan. Mereka berusaha
menyadarkannya dengan berbagai cara, termasuk menjebloskannya ke pesantren di
Cibiuk ini, sekalian sekolah di SMA swasta Al Fatah. Dan di sekolah itulah ia berjumpa Rana Diandra.
Abu tak menyesal didepak dari Jakarta ke
Garut. Namun mondok di pesantren tak
membuatnya merasa jadi santri, mengaji Quran ia bisa dan lumayan bagus, yang
sulit adalah mengaji kitab kuning salafi. Si anak betawi itu kesulitan memahami
bahasa Sunda. Bahasa Tionghoa sih bisa, Abu masih keturunan Tionghoa
campur betawi, kulitnya yang kuning sudah putih sejak sekolah di sini. Matanya
yang besar memang tidak kentara sipit,
dan kawan-kawan tak mempersoalkan itu.
Namun Rana lain, “Elo masih ada darah chinesse, ya,
Bu? Gue jadi ingat masa kecil di Bandung waktu malam-malam diajak bertandang ke
rumah sobat bapak yang keturunan Tionghoa. Rumahnya di Jalan Cikawao, rumah
besar zaman Belanda. Gue suka ke sana, Teh Santi anak Pak Abas baik, suka
jajanin gue di warung pinggir jalan. Sekarang gak bisa main ke sana lagi. Rumah
mereka digusur, katanya untuk pembangunan, eh malah dibikin pertokoan. Tega
banget. Bu Abas sampe sakit-sakitan. Mereka terpaksa ngungsi ke Cimahi. Tinggal
di rumah kecil, perumnas dekat bandara. Padahal anggota keluarganya banyak.
Rumah elo baik-baik saja, Bu?” Lucu celotehan Rana kadang ngalor-ngidul.
“Aman. Di Jalan Raya Kelapa Dua. Elo mau main ke sana?
Rumah gue besar, sodara gue banyak.”
“Main ke rumah lo? Gue gak pernah ke Jakarta. Mungkin
kapan-kapan. Mau nginap di mana gue kalo ke Jakarta?”
“Di rumah gue aja, lo bisa bobo di kamar gue, gue di
kamar abang. Liburan nanti ke sana yuk, sekalian ke Dufan atau Taman Safari
atau Taman Mini?”
“Gak, ah. Mungkin kapan-kapan kalo gue dah dewasa, he
he. Ortu melarang gue ke luar kota. Sebel!”
“Loh, emang napa?”
“Gue anak cewek satu-satunya, dan anak cewek di keluarga
gue harus dijaga baik-baik agar tak kena aib.”
“Itulah sebabnya elo suka jaga jarak ma cowok?”
“Yup. Bokap gue streng.”
Dan sampai sekarang Abu tak pernah bertandang ke rumah
Rana, ingin sih, namun ngeri juga gimana kalo bokap Rana yang streng tanya
macam-macam. Sekarang hari Minggu. Abu merasa sepi. Pasti Rana sedang asyik
latihan karate di sekolah, dan ditemani Adi. Adi yang di mata Rana macho
bagi Abu seolah menjelma rival. Ia tidak se-macho Adi. Tinggi mereka
sama namun Abu lebih kurus. Di beberapa bagian lengan kirinya ada luka bekas
jarum suntik. Sekarang ia telah berhenti nyuntik
namun kadang-kadang ngeboat. Kebiasaan yang sulit dihilangkan. Uang
kiriman dari orang tuanya cukup banyak namun Abu boros dan suka membelanjakan
untuk obat. Rana berusaha menyadarkan, namun Abu susah lepas dari dunianya.
Dunia itu pula yang membuat Abu ragu untuk menyatakan
rasanya pada Rana. Ia melihat Sophie sobat Rana, dan entah mengapa ia
menjadikan Sophie sebagai selubung bagi rasa sukanya. Sudah tentu ketika ia
ditolak Sophie. Dan anak-anak melihat ia sebagai junkie yang
tergila-gila pada Sophie. Ia sengaja menjadikannya demikian agar kedekatannya
dengan Rana tak diributkan orang lain. Abu sudah sering diledek kawan-kawan
lelakinya soal kedekatan mereka dan cuma senyam-senyum saja. Ia akan menyapa
Sophie dengan mesra di depan Rana hanya agar tahu bagaimana reaksi Rana. Ia
sangat ingin dibutuhkan dan dicemburui. Pemikiran dangkal yang lucu. Rana
seolah tidak peduli, tidak juga ketika Abu mulai cerita tentang cewek lain dan
rasa suka serta ketidakberaniannya untuk PDKT. Rana malah mendorongnya agar
berani. Abu kesal. Ia ingin agar Rana....
Ingin agar Rana apa?
Sekarang sudah terlambat. Rana dekat dengan Adi. Tidak
secara kentara di depan orang-orang. Seperti back street. Dan Abu merasa
Rana pun tidak berani bilang padanya. Ia tak sengaja memergoki mereka jalan
bareng, bukan sekali dua. Dan entah mengapa ia merasa dadanya sesak melihat
adegan keakraban mereka. Rana begitu jauh berbeda. Mungkin Rana lebih menyukai
Adi daripadanya sang junkie.
Tiba-tiba Abu marah pada diri sendiri. Obat-obat
terkutuk! Ia sungguh sangat ingin berhenti, namun darahnya sudah
terkontaminasi, dan ia tak kuasa menolak kehendak akan candu. Selalu sakaw
ketika mencoba secara bertahap untuk berhenti
Baru-baru ini ketika ia merasa ada yang tidak beres
dengan tubuhnya, hasil lab menyatakan positif HIV. Dan dunia Abu serasa jungkir
balik. Membayangkan masa depan suram. Ia bahkan tak berani memberi tahu
keluarganya. Jarum suntik yang pernah dipakai beramai-ramai dengan sesama
kawannya
kala di Jakarta adalah penyebab.
Susah payah Abu berusaha mencari informasi mengenai
pengobatan lewat internet maupun secara langsung ke klinik yang dirujuk. Karena
itulah kini ia sering membolos. Dan hanya Rana yang perhatian bertanya ke mana
saja. Rana begitu cemas ketika sakitnya kumat, tidak sadar dirinya sakaw.
Apa yang Rana tahu tentang narkober? Gadis itu sibuk mengurus dunianya, dunia
sastra yang bagi Abu terasa aneh. Apa jadinya jika si kutu buku bersanding
dengan junkie? Dan sang junkie kini nyaris sekarat.
Rana selalu cerita soal masa depan. Kuliah sastra di
Bandung atau Yogya. Dan mungkin nanti akan bertandang ke rumah Abu di Jakarta.
Kata Rana di Jakarta suka ada acara sastra yang menarik sampai pameran buku
akbar.
“Elo akan jadi apa, Bu?”
“Maksud lo?
“Dah rencanain masa depan atau usaha agar lolos PMDK.”
“Ah, jauh amat. Masih kelas dua.”
“Apa salahnya merencanakan arah hidup sedini mungkin agar
tak sesat.”
“Gue lom tahu minat gue apa. Kuliah males, mungkin gue
akan langsung kerja aja agar gak bebanin ortu dan sodara gue meski secara
finansial mereka kaya.”
“Gak apa, itu bagus. Masalahnya apa elo mau berhenti ngeboat?”
Rana menatapnya teduh, Abu merasa ada sesuatu dari tatapan itu. Rasa khawatir
yang teramat sangat.
“Jangan khawatir, Say. Gue akan berhenti, cepat atau
lambat. Tuh, Adimu lewat,” Abu mengalihkan pembicaraan. Rana menengok ke arah
Adi dan tersenyum, Adi membalas senyum Rana tawar seperti tidak suka kedekatan
mereka apalagi Rana dan Abu duduk berdempetan.
“Hai!” lambai Abu konyol. Adi cuek.
“Cowokmu marah tuh elo deket gue.”
“Cowokku? Kami gak pacaran, cuma berkawan,” elak Rana.
“Masa? Gue sering liat lo jalan bareng Adi dan dari cara
kalian bicara gue bisa mastiin lebih dari kawan.”
“Aduh, Abu. Jangan bikin gue bingung, dong. Biasa aja, lagian ia gak pernah ngomong I love
you.”
Apakah kedekatan dan rasa cinta harus selalu diungkapkan
dengan kata-kata verbal macam I love you atau aku cinta padamu? Abu
tidak tahu. Andai ia mudah ucapkan kata itu mungkin Rana bisa mengerti
perasaannya. Namun Abu kesulitan dengan kalimat verbal, ia lebih suka perbuatan. Dan sialnya Rana tak mampu
menangkap sinyal. Ia terlalu terpaku pada Adi! Ya, Adilah yang lebih dulu
dilihat Rana saat MOS ketimbang dirinya yang sekelas dengan Rana saat masa
orientasi itu.
Dan sekarang ia harus terima kenyataan betapa sulitnya
menyatakan rasa agar Rana menjadi lebih dari sekadar kawan. Ia ingin Rana
menjadi bagian dari belahan jiwanya secara terang-terangan. Namun mungkinkah
ketika HIV telah menjalar? Abu merasa lunglai. Ia ingin berterus terang pada
Rana, namun ia takut akan akibat yang ditimbulkan dari kejujuran. Ia tak ingin
Rana menjauh darinya. Ia ingin agar gadis itu selalu dekat dengannya. Ia ingin
Rana jadi PACARNYA! Dan mungkin kelak jika hubungan berkembang dalam
kesesuaian: jadi ISTRINYA!
Rana Diandra nama yang aneh. Kata Rana dari bahasa klasik
yang berarti Ratna, putri yang cantik. Namun Rana lebih suka menganggap dirinya
sebagai berani atau riang atau suka berperang. Dian berarti pelita. Dan pelita
itulah yang membuat Abu merasa terbakar oleh cahayanya.
Abu bangkit. Ia harus menyiapkan buku-buku untuk esok. Di
luar ramai dengan kawan-kawannya yang tengah bergurau. Aturan pondok sebetulnya
lumayan ketat. Namun Abu mulai suka tinggal di sini. Acil kawan sepondok asal
Depok masuk dan menyapa. Mereka sekelas juga.
“Sibuk apa, Bu?”
“Beresin buku.”
“Tadi gue ke Limbangan, mampir bentar ke sekolah buat
nemuin Ipih yang ekskul pramuka, di mulut Jalan Pasopati gue lihat Rana lo
dibonceng Adi. Gue sempet tanya mo ke mana. Adinya cengengesan bilang mo makan
di Asep Strawberry dekat Nagreg, ngajak Rana refresing, katanya. Dasar anak
tajir.” Ayah Adi pemborong.
Abu hanya menanggapi dengan senyum kecil. Rana pernah
bilang pengen makan di sana. Abu sebetulnya sudah menyediakan anggaran dana
untuk itu, ia akan ajak Rana ke sana November nanti. Ia ingin merayakan milad
gadis itu. Ia sudah menyiapkan kado, seuntai kalung unik dari CHLORIS. Ia
pernah berharap menjadi orang pertama yang ajak Rana makan di sana malah
keduluan Adi. Apa yang dilakukan Adi? Menembak Rana atau cuma makan sambil
jalan-jalan, berkuda atau bikin tembikar? Apa jadinya jika betul Adi menembak
Rana dengan I love you?
“Rana terlihat malu-malu kepergok gue dibonceng Adi,
langsung aja gue ledek mereka, ‘Kalian pacaran ya?’.” Sampai di sini Acil
menggantungkan kalimatnya. Leher Abu berputar ke belakang, ke arah Acil yang
asyik tiduran.
“Apa kata Rana?”
“Ia cuma senyum berjuta makna, dan Adi hanya ketawa. Lalu
mereka cabut. Duh, Rana pake megang pinggang Adi, haha!”
“Garing!”
“Elo gak cemburu pacar lo selingkuh?”
“Napa lo pikir kami pacaran?” Abu duduk di atas kursi,
menghadap Acil.
“Cara kalian dekat bagi orang bisa ditafsirkan lain. Gue
bisa liat cara lo mandang Rana beda pada Sophie, lo lebih dalem, lembut, dan
mesraaaa....”
Abu terkekeh. “Gue gak tahu apa gue pacaran dengan Rana,
gue gak berani ngomong langsung ma dia.”
“Gawat!” Acil tiba-tiba bangkit dan duduk di ranjang.
“Apanya yang gawat?”
“Bukan cuma lo aja yang gak berani ngomong langsung, gue
denger selentingan kabar dari Aceng tadi kalo Topan anak kelas satu dan
selatihan karate naksir Rana juga tapi gak berani nyatainnya. Wah, saingan elo
banyak, Bu. Buruan lo ngomong ma Rana. ‘Ntar nyesel keduluan. Bukan apa-apa
agar lo bebas berdua-duaan. Kalo dah jadi pacar orang, lo bisa habis dilabrak mereka agar gak sok akrab dengan
Rana.” Acil ngakak.
“Sialan lo!” tawa Abu ikut berderai, meski jauh di lubuk
hatinya ada semacam kekhawatiran. Acil benar. Namun bagaimana dengan virus HIV
yang telah menginfeksinya? Bisakah Rana menerima dirinya apa adanya? Seorang ODHA?!
Itu tidak adil bagi Rana. Ia punya banyak cita-cita, dan
hidup bersamanya pasti sulit karena ada banyak acuan agar aman. Tinggal
beranikah Sang Rana menjalaninya? Abu tidak tahu. Segalanya terlalu jauh
melampaui kenyataan, hanya sebatas angan. Ia sadar mencintai gadis itu, dan
dalam usianya yang sama belia bisakah kerasnya hidup dijalani dengan cinta
semata? Akankah cinta bisa pudar karena perbedaan atau ketidaksabaran?
“Aku cabut dulu,” Acil meninggalkan Abu begitu sadar
temannya hanya termangu.
Dan esoknya, Senin pagi yang damai Abu tidak sabar ingin
tahu apakah Rana sudah jadian dengan Adi. Di pintu kelas ia malah disambut
Rana.
“Bu, pinjam buku PR kimia elo, gue gak bisa bikin PR.” Wah, wajah gadis itu rusuh. Gak bikin PR? Ada-ada saja.
Abu segera membuka ransel Alpina merah marunnya
yang sudah lusuh tanpa komentar dan
menyerahkan bukunya.
“Makasih, Bu. Gue nyalin dulu sebelum upacara.” Kimia
adalah jam pelajaran pertama. Wajar Rana rusuh sebab takut disetrap Bu Rahma
yang kiler. Rana segera ke bangkunya di samping Sophie. Abu mengekor dan
meletakkan tasnya di bangku belakang mereka. Dilihatnya gadis itu dengan
tergesa menyalin soal-soal, rumus kimia yang bagi Rana njelimet. Abu
tiba-tiba teringat Rana sering minta diajari materi pelajaran hitungan.
Ia berdiri di samping gadis itu sekadar menikmati raut
wajahnya yang serius. Mungkin sudah saatnya ia penuhi permintaan Rana. Tangan
Abu menyentuh tangan kiri Rana.
“Ada apa?” Rana mendongak.
“Lo pernah minta gue ngajarin matematika, kimia dan
fisika. Lo masih ingin?” Tangan Abu masih tetap di atas tangan gadis itu. Mata
Rana berbinar.
“Lo mau? Lo gak sibuk?”
“Buat elo waktu gue banyak.”
“Makasih, Bu. Kapan?”
Abu hanya menjawab dengan senyum. “Kapan pun lo mau,
Say.”
Sebuah suara menyentakkan mereka. “Hayo, jangan pacaran
mulu! Buruan upacara!” Kosasih sang KM menghampiri mereka sambil
mengibas-ngibaskan tangan.
“Bentar, bikin PR dulu!” balas Rana malu. Ia lalu memandang Abu. “Lo duluan aja, Bu. Gue gak bisa
konsen ditungguin kayak gitu.” Rana tersenyum manis. Abu membalas senyumnya dan
berlalu mengikuti Kosasih yang geleng-geleng kepala sambil bergumam, ‘pagi-pagi
sudah pacaran’. Dibalas tawa riuh beberapa anak yang hendak
keluar.
“Biar
lebih segar!” sambar Abdullah sambil mengacungkan dua jempolnya. Entah menggoda
atau membela Rana yang suka memberi contekan PR bahasa Inggris, terutama
terjemahan.
Abu
dan Rana tersipu.
Beberapa menit kemudian, ada rasa lega begitu Rana
selesai menyalin PR-nya.
Kelas sudah sepi. Gawat! Ia bakal telat upacara. Rana bergegas membereskan
bukunya. Buku Abu terjatuh. Ia jongkok
memungutnya dan tanpa sengaja tangannya membuka bagian halaman curhat
Abu. Rana membacanya dan tertegun. Ada alir hangat meresap. Alir yang
membuatnya bimbang. Mengapa baru sekarang?
Perlahan dan hati-hati sekali, Rana merobek halaman itu.
Ia tidak ingin Bu Rahma yang suka memeriksa buku catatan anak-anak ngomel
karenanya. Ia akan menyimpannya dan menunggu Abu menyatakannya secara langsung.
Mungkin saat ini Rana belum siap. Adi yang ditaksirnya seperti menunjukkan
gelagat untuk PDKT namun tetap tak pernah bilang I love you padahal
kemarin di restoran Asep Strawberry mereka menghabiskan waktu sampai Asar.
Makan, jalan-jalan menyusuri sungai, flying fox, berkuda, dan bikin
tembikar.
Rana bimbang. Ia sudah meminta Kak Iwan berterus terang.
Lelaki itu tak pernah datang lagi. Tak juga mengusik kedekatannya dengan Adi
begitu kemarin mereka berjumpa di restoran yang sama. Waktu itu Kak Iwan sedang
dengan Teh Didah. Apakah Adi sengaja membuat pertemuan-seolah-tak-disengaja?
Kemarin Adi berlaku seakan Rana pacarnya. Dan Kak Iwan seperti ingin menghindar
melihat kedekatan mereka. Entah malu atau kalah.
“Rana, upacara!” Ketukan keras di pintu mengagetkannya.
Rana mendongak dan melihat Pak Kuswendi sang wakasek berdiri di luar pintu.
Biasanya selalu ada guru yang mengontrol kelas agar anak-anak ikut upacara.
Rana mengangguk dan mengikuti gurunya ke lapangan upacara. Pagi begitu damai.
Dari kejauhan ia bisa melihat punggung Adi, juga Abu. Dua lelaki yang membuat
cintanya mengepak bebas menjelajahi cakrawala lepas.***
Cipeujeuh, 21 April 2011
Keterangan:
·
Madol: bolos
·
Badag: besar
·
Dab: kata sapaan untuk menyebut teman
·
Junkie: sebutan untuk manusia sampah
#Novelet #MasaSMU #Remaja
#CintaPlatonis #KenanganManis #Fiksi
~Foto hasil jepretan kamera
ponsel ANDROMAX PRIME dan capture GOM
Player untuk drakor “Go Back Couple” plus film “Me Before You~
*Berapa kali Anda jatuh cinta secara platonis
pada pandangan pertama?
Saya 5 kali. 3 kali kala ABG SMP pada sesama
remaja. Dan yang terakhir 3 tahun kemudian setelah saya lulus SMU, pada seorang
lelaki dewasa yang kala itu tidak saya ketahui siapa ia sebelumnya apalagi
namanya namun saya sangat berterima kasih padanya -- untuk pintu-pintu yang
telah ia bukakan, untuk pemakluman pada seorang gadis naif 24 tahun yang jatuh
cinta begitu saja pada seorang lelaki dewasa 34 tahun.
Ini kisah tentang subjek
cinta platonis jilid 4 saya. Kala SMU. 3 tahun menyukai orang yang itu-itu
saja, ha ha. Meski saya dekat dengan tokoh Abu saya ragu apakah ia pun subjek
platonik saya, kami berpisah begitu saja begitu usai ujian sekolah. Sejujurnya
saya orang aneh yang ragu membuka diri pada lelaki, keterbatasan fisik
(disabilitas pendengaran) kerap membuat saya minder. Namun saya suka masa SMU
di Al Fatah. Saya pernah bahagia, berjumpa banyak kawan yang baik dan bisa
menerima saya apa adanya.
Yah, saya mulai kenal diksi
‘platonis’ kala berusia 13 atau 14 tahun gegara membaca artikel di majalah Gadis tentang penyair Khalil Gibran yang
mencintai May Ziadah secara platonis dan saya sangat terkesan sekali.
Ini hanya fiksi, diambil
dari apa yang pernah saya alami. Mohon maaf pada nama-nama yang tak disamarkan.
Pengingat dari kenangan yang hampir lekang.
Untuk Abu, di mana pun
berada, semoga hidup dengan baik dan bahagia. Saya tak bisa berhenti
menjadikanmu sumber inspirasi setelah cerpen “Abu” yang pernah dimuat majalah Kartika. Saya masih menyimpan pasfotomu
yang kamu berikan. Juga foto kala kita piknik bersama kawan-kawan sekelas di
Curug Cindulang. (Bersama Nani Napisah, Ipih Rodiah, Ayi Wahidin, Siti Sopiah,
Tati Kurniawati dan pacarnya, Kokom Komariah, Widaningsih, dan dua orang teman
perempuan Tati.)
Untuk Topan, adik kelas
saya, mohon maaf saya tidak tahu soal rasamu sampai Wiwin teman kita yang
rumahnya dekat Alun-alun memberi tahu, tetapi kala itu kamu sudah menikah.
Terima kasih atas rasa sukamu. Saya merasa tersanjung mendapat kehormatan
perasaan mendalam, namun saya selalu takut dan membuat jarak dengan para
“pengejar”. Saya kerap mengecewakan dengan penolakan karena tak punya
keberanian bahwa saya bisa hidup bersama seseorang tanpa mengecewakan karena
keterbatasan.
Saya juga minta maaf pada
sekian lelaki lain kala remaja. Entah itu tetangga sekampung, teman sekelas
atau lain kelas, kakak kelas, sampai malah adik kelas (lagi) juga. Cuma pada
suami akhirnya saya bisa percaya diri karena kami bisa saling melengkapi.
Untuk Kevin Nicholas G.
Petterson/Kevin Richard Putranto/Nicholas Kevin/Richard Kevin/atau siapalah
nama aslimu yang sebenarnya; apakah suka sekali membajak surat dua orang gadis
yang dikirim lewat pos pada tahun 1994-1997-lalu tahun selanjutnya, dan
menjadikan mereka tampak konyol menjadi subjek permainan psikopat? Apakah menikmati
kisah-kisah curhat kami yang khas?
Semoga hidup dengan baik dan penuh syukur. Maaf, saya menulis “Seberapa dalam
Lukamu”, menjadikanmu tokoh fiksi. Sampai sekarang saya ragu untuk
melanjutkannya. Dan Ujianto Sadewa pernah memajang karya itu di blog-nya.
Terima kasih sudah membaca
novelet panjang ini. Ditulis dengan perasaan yang hangat dan bahagia, semoga
Anda pun menyukainya.
Salam hangat,
~ Rohyati Sofjan/Gurun ~
Istilah madol ini saya dengar waktu masih SMP .... tahun 86-86 :D .. lupa dari lagu apa ya ... Btw karya ini dikirim ke majalah, Mbak?
BalasHapusIni artikel cerpennya panjang sekali, kompleks ceritanya, dan tentu saja berbobot. Apakah ini berdasarkan kisah nyata atau imajinasi penulis...
BalasHapusSalfok di konsep cinta. Manusia punya konsep tersendiri dalam cinta, jangan banyak tanya kalo si A suka sama si B, apalagi yang nanyain kapan nikah.
BalasHapusSeru banget.
Waaah cerpennya sangat mengalir, sekali membaca, akan penasaran dan tentunya akan dibaca sampai habis, mungkin berulang ulang ya.. apakah karya ini sudah pernah dipublikasikan?
BalasHapusMembaca cerita seperti ini aku jadi teringat masa-masa majalah cerpen seperti Anita Cemerlang berjaya. Ketika cerpenis-cerpenis seperti Cahya Sadar, Sarwendo dll kerap menulis juga di sana. Andai Anita Cemerlang masih ada yaaa. Karya kak Rohyati ini layak terpajang di sana. Sekarang aku pun bingung, di mana karya-karya sastra seperti cerpen dan novel yang ditulis dengan baik bisa mendapat tempatnya.
BalasHapusAhh keren sekali tetehku ini klo bikin cerpen. Ceritanya ttg abege lagi. Sy mau coba bikin jd gak pede. Gimana sih memulai n menentukan alurnya? Gimana cara agar ide cerita panjang gitu muncul? Hiks masih harus banyak belajar sayah
BalasHapusBagusss dan kerennn...seperti ada dalam situasi di tokoh nih sy baca nya ..pinter deh mbak bikin jln dan alur ceritanya
BalasHapusberasa lagi baca buku cerpen teh dan saya senyum senyum sendiri bacanya, jadi ingat saya dulu suka baca cerpen-cerpen seperti ini, jadi kangen, dari tadi saya enggak ngerti apa itu madol, ternyata dibawahnya ada keterangannya, lanjutkan teh bikin ceritanya
BalasHapus