MENULIS cerita untuk anak, baik dalam
bentuk dongeng atau kisahan nyata bukanlah hal yang mudah. Sekarang ini
ternyata ada acuan tertentu yang harus dipatuhi penulis mana pun jika tertarik
untuk menggelutinya.
JUDUL :
Nyanyian Sasa Angsa
PENULIS : Lia Herliana
PENERBIT : Rainbow (Penerbit Andi)
CETAKAN : 1, 2015
TEBAL :
iv + 60 Halaman, 20 x 28 Cm
ISBN : 978-979-29-4455-6
Acuan
tersebut mencakup terlarangnya kata (sifat) negatif dalam cerita. Kata negatif
tersebut berupa malas, bodoh, bandel, pelit, jahat, iri, boros, dan lain
sebagainya.
Tentu
itu membingungkan! Bagaimana kita akan menulis cerita yang sarat hikmah dan
nasihat bagi anak jika kata (sifat) negatif merupakan hal terlarang untuk
diumbar? Apalagi kata negatif demikian kerap dialami sebagian besar pelakon
kehidupan, anak-anak pun. Kata negatif cuma contoh untuk berdampingan dengan
kata positif, sebagai semacam pembanding. Agar anak paham mana yang baik dan
buruk, mana yang benar dan salah, juga, mana yang boleh dan terlarang. Dengan
demikian anak-anak beroleh panduan atau pedoman.
Membaca
Nyanyian Sasa Angsa dan 14 Cerita Seru
Lainnya (Penerbit Rainbow), karya Lia Herliana, kita justru akan diajak
menelisik kata (sifat) negatif sebagai semacam perubahan ke arah kata sifat
yang lebih baik lagi. Dan tidak melulu menggurui, justru nasihat yang tersirat
dari ucapan tokoh cerita (atau hasil-akibat yang dialami tokoh cerita),
merupakan kesatuan utuh bagi pembentukan karakter agar anak-anak beroleh
pengalaman positif dari hasil pembacaan buku tersebut.
Tengoklah
Raihan yang rajin membantu ibunya dengan menitipkan dagangan donat ke
warung-warung hingga kerap terlambat masuk sekolah karena sepedanya rusak dan
harus jalan kaki, ia bermimpi memiliki sepeda agar memudahkan mobilitasnya.
Raihan dikompori sahabatnya agar ikut lomba menulis, siapa tahu bisa menang dan
beroleh hadiah uang untuk pembeli sepeda idaman. (“Impian Raihan”)
Raihan
yang rajin pada mulanya “malas” ikut lomba karena “tidak percaya diri”, namun
bujukan positif dari sahabatnya menggugah minat untuk “berani mencoba dan
berusaha keras meski tidak mudah”. Ada sosok “bukan guru” yang mengajari dan
menyemangati. Sosok yang memahami cara menulis karena merupakan serang penulis.
Dengan kata lain, profesi penulis pun punya arti.
Kita
lihat bagaimana Lia Herliana berupaya menyandingkan kata (sifat) negatif
sebagai tahap-tahap yang harus dialami seorang anak. Namun kemudian si anak
berupaya agar bisa mengikis hal negatif tersebut, menggantinya dengan kata sifat
baru berupa hal positif.
Pakem
semacam ini saya rasa masih memungkinkan sebagai cerita untuk anak, karena cara
bertutur Lia cenderung tidak nyinyir apalagi menggurui. Ia hanya memaparkan dan
menyerahkan pemaparan tersebut pada pembacanya. Namun ia juga menggiring opini
pembacanya untuk turut terlibat dalam cerita.
Dalam
dongeng “Si Penghuni Baru”, Lia menggiring opini pembacanya agar bebas
prasangka. Lewat dunia fabel, Lia mengisahkan kehidupan hewan yang dalam
kenyataannya di habitat mereka berperan sebagi “pemangsa dan yang dimangsa”,
sebagai sesuatu yang berkebalikan. Bahwa mereka hidup berdampingan tanpa
mengisahkan bagaimana cara memangsa dan dimangsa, mereka cuma bertetangga biasa
sebagaimana halnya kaum manusia. Dan mereka pun punya prasangka.
Alkisah,
Kedi Kadal rajin menyapa tetangga barunya, Ola Ular, namun tak ditanggapi
sebagaimana mestinya. Kedi dan kawan-kawan (dalam kehidupan nyata adalah
santapan lezat bagi kaum ular) ramai-ramai menggunjingkan dan menghakimi Ola
sebagai makhluk yang sombong. Di sini, pengetahuan biologi Lia layak diacungi
jempol, ia memahami bagaimana
sifat-sifat bawaan kaum hewan. Dalam kerajaan binatang (animal kingdom) bangsa ular ternyata tidak punya pendengaran yang
baik.
Itu
bisa membantu anak untuk memahami perbedaan, bahwa kekurangan fisik bukan untuk
diprasangkai (buruk) apalagi digunjingkan. Lia berupaya menyisipkan nasihat
dengan contoh perilaku hewan yang memiliki empati dan mau bergaul dengan
kaum difabel.
Juga, Lia mengajak anak untuk merasa malu jika telah berlaku buruk pada
penyandang disabilitas, bahwa kelemahan atau kekurangan orang lain bukan untuk
membuat kita merasa lebih superior daripadanya.
Masih
soal prasangka, dalam “Kebiasaan Aneh Sofie”, Lia mengajak anak untuk mencintai
lingkungan, dengan hal-hal sederhana berupa penghematan alat kebutuhan
sehari-hari berbahan dasar dari pepohonan. Masih banyak dari kita yang tidak
menyadari berapa banyak pohon yang harus dikorbankan untuk kertas, pensil,
bahkan tisu.
Seorang
anak pun bisa menjadi figur teladan atau pahlawan ala Kartini bagi anak lain.
Akhirnya Ririn yang bingung mencari figur demi tugas mengarang dari guru bahasa
Indonesia, menemukannya dalam “Mencari Kartini”. Ia belajar bahwa menjadi
Kartini tak harus melakukan hal-hal hebat, hal sederhana ala teman sebaya pun
bisa sangat mengesankan.
Mari
kita beralih memahami apa arti pagi bagi seorang anak. Ia yang semula malas
bangun pagi karena selalu tidur larut sehingga jam biologis membuatnya
menjalani rutinitas kacau setiap pagi. Hanya karena mati lampulah yang mengubah
Bobi untuk meresapi “Keajaiban Pagi”.
Berapa
banyak dari anak Indonesia yang menganggap rutinitas pagi sebagai aktivitas
menyebalkan karena mereka tidak menyadari sisi lain pagi? Lia seakan ingin
mengingatkan anak akan makna pentingnya istirahat.
Sesungguhnya
pakem cerita dalam Nyanyian Sasa Angsa
merupakan harmoni dari positif-negatif yang berdampingan. Harmoni semacam ini
adalah upaya Lia untuk mengajak anak ke arah kebaikan, menjauhkan anak dari
perbuatan tercela yang bisa jadi tidak disadari oleh anak sendiri. Pakem Lia
adalah cerita untuk anak yang menghibur sekaligus mendidik.
Anak
akan diajak memahami hal-ihwal kehidupan dari dongeng sampai kisahan lain. Kita
bisa belajar dari “Nyanyian Sasa Angsa” agar sadar diri dan tak narsis; “Kolak
Istimewa” akan membuat kita bahagia karena bersedekah; menghargai buku sebagai
petualangan menakjubkan dalam “Harta Karun Nenek”; sifat usil bukanlah hal baik
namun berani jujur mengakui kesalahan adalah perbuatan terpuji (“Kacamata Pak
Owl”); ada keajaiban siklus musim dalam “Kesedihan Pohon Kersen Kecil”;
kesetaraan gender pun perlu diajarkan sejak dini (“Laki-laki atau Perempuan”);
jujur dan sabar pun harus diterapkan (“Nina dan Sepotong Mendoan”); bagi “Bravo
Si Kuda Penari” potensi diri bisa digali; jangan ikut-ikutan menghakimi “Mbah
Marto” karena beliau ternyata punya alasan patriotik; doa pun bisa menjadi
“Kado Paling Istimewa”.
Demikianlah,
Lia Herliana berbagi dunia untuk anak dengan 15 ceritanya. Jadi, apakah pakem
menghindari kata negatif harus dituruti secara membabi-buta tanpa paham
substansinya? Bagaimanapun, masih ada cara lain untuk mengikuti kaidah
penulisan cerita bagi anak, seperti yang dicontohkan Lia Herliana dengan Nyanyian Sasa Angsa dan 14 Cerita Seru
Lainnya.
Anak-anak
memang perlu dibangun karakternya dengan hal positif agar mampu berpikir
positif, namun anak-anak pun harus memahami ada kenyataan pahit mendampingi hal
positif berupa hal negatif. Dengan demikian, anak-anak mampu melihat realitas
dunia agar tak mengalami gegar sosial-budaya. Tugas penulis cerita anaklah
untuk mengenalkan realitas tersebut dengan cara yang menghibur sekaligus
mendidik.***
Cipeujeuh, 16 Januari 2018
#BukuAnak #Resensi #LiaHerliana #PenerbitRainbow
#KisahTeladan
~Foto hasil jepretan kamera ponsel
ANDROMAX PRIME~
Melihat orang lain sudah nulis buku dan mungkin sudah menikmati indahnya Royalti, saya jadi ingin menulis buku juga nich.... tapi apa judulnya yach....... :)
BalasHapusAyo semangat, Kang. Tulis kisah humor Akang yang konyol atau parodi, ambil celah dari sesuatu yang unik dan belum ada namun diminati. Kayak Asikpedia itu seakan kumpulan kisah asyik.
HapusSaya sendiri belum bisa nerbitin buku, masih jalan di tempat untuk nantinya ambil ancang-ancaing begitu sudah siap. Dan blog adalah sarana latihannya. :)
Salah satu kunci buku cerita anak ini ya, Mbak ... kata (sifat) negatif sebagai semacam perubahan ke arah kata sifat yang lebih baik lagi. Dan tidak melulu menggurui.
BalasHapusJujur, buat saya sulit sekali menulis cerita anak. Sudah pernah mencoba membuatnya dan susahnya setengah mati hehehe.
15 cerita dalam 1 buku ini bisa jadi sarana dongeng pengantar tidur untuk anak-anak. Apalagi ceritanya bagus-bagus ya, Teh. Makasih resensinya.
BalasHapusdari awal sempat bingung dengan menghindari penggunaan bahasa negatif saat bercerita untuk anak-anak, untungnya makin kebawah makin membawa pencerahan. setuju banget teh dengan kalimatnya bahwa kita harus membentuk karakter anak ke hal positif dan di sisi lain kita juga harus mengenalkan bahwa hidup ini ada juga sisi yang kurang menyenangkan dan itu kita harus tetap bisa mensyukurinya dan menjadikannya sebagai tantangan untuk menjadi lebih kuat lagi. tulisan teteh selalu ada makna yang tersurat dan tersirat yang bisa diambil
BalasHapusMenarik sekali, dari dulu saya ingin menulis cerita anak, tapi saya belum pernah belajar bagaimana menulisnya..uraian dari jeng Rohyati betul betul bisa menjadi referensi saya, makasih ya
BalasHapusKeren nih yg bisa bikin kumpulan cerita2 gini. Bisa tuk dongengin anak juga ya teh.
BalasHapusWah baru tahu ternyata ada larangan menulis soal sifat-sifat negatif pada cerita anak. Menulis cerita anak ternyata enggak gampang ya. Buku-buku anak sekarang memang banyak bertebaran, tapi saya juga jadi bingung yang bagus yang mana buat keponakan. Saya enggak mau keponakan kemasukan unsur-unsur negatif. Terima kasih atas rekomendasinya.
BalasHapusJadi teringat masa kecil, saya suka baca dongeng Hans Christian Andersen, Lima Sekawan, Trio Detektif, Enyd Blyton.
Sekilas sepertinya mudah ya menulis buku anak, tapi ternyata tidak karena penulis harus menanamkan nilai moral juga di dalamnya agar buku lebih bermanfaat
BalasHapus