JUMAT siang, sepulang
sekolah Palung menagih janji untuk ke kecamatan hari ini juga, tidak Minggu
esok. Anak itu selalu bersemangat dan tak sabaran jika menyangkut jalan-jalan.
Pergi ke tempat jauh dari rumah adalah hal istimewa bagi budak kampung yang dibesarkan dengan cara sederhana dan penuh
keterbatasan.
Mamah
yang semula enggan karena baru rendam cucian di jolang besar dan sibuk ngadepin kerjaan di depan komputer yang
rasanya tak kelar-kelar saking banyaknya rencana tulisan, terpaksa mengalah
setelah Bapak bujuk Mamah.
Alasan
Bapak, jalan desa sedang diperbaiki dari atas ke bawah, dan Bapak khawatir
nanti jalannya jika sudah di bawah akan ditutup karena proyek perbaikan,
kendaraan roda dua dan empat tidak bisa lewat. Dan hari Minggu esok bisa repot.
Bapak
kasih bekal 300 ribu rupiah. Uang itu hasil keringat Bapak dari kerja sebagai
asisten tukang bangunan. Di kampung, asisten demikian disebut laden. Tugas utama laden adalah membantu tukang agar kerjaannya cepat beres. Jadi laden itu lebih berat daripada tukang,
harus mondar-mandir angkut ini-itu berupa barang berat macam batu kali besar,
bata, pasir, genteng, dan matrial lainnya; campur adonan pasir, semen, dan
lainnya untuk menembok dinding; memastikan kebutuhan tukang terpenuhi dengan
gesit bergerak ke sana ke mari; pokoknya kerja kuli yang menguras energi namun
Bapak ikhlas melakoninya demi keluarga tercinta.
Bagi
Mamah, Bapak adalah suami dan ayah yang baik, tipikal lelaki rumahan yang
sayang istri dan anak karena kami hanya bertiga saling menggantungkan diri
bersama. Tiada pihak lain dalam hidup kami. Dan Bapak ingin membahagiakan kami
meski dengan cara sederhana, membuat anak dan istri bisa jalan-jalan ke
kecamatan untuk belanja ke pasar dan makan di Alun-alun Limbangan.
Sayang
Bapak tidak mau ikut dengan alasan menghemat uang. Hari Jumat Bapak sedang
libur kerja dan Sabtu besok mulai kerja di kebun Pak Wawan untuk memanen
kunyit. Ya, kunyitnya dibongkar, dipilah-pilah, lalu diangkut dari kebun ke
tempat Pak Wawan yang beda RT. Ada pasutri Pak Mii dan Bi Otin yang ikut
membantu agar kerjaan bisa cepat beres. Semoga saja harga kunyit di bandar
kulakan bagus, tidak dihargai komoditi murah. Karena, meski nanam kunyit tak
butuh modal besar dan paling cuma butuh umbi rimpang utama lantas dibiarkan
tumbuh liar, tetap saja pemilik kebun butuh modal untuk memanennya. Ya, seperti
membayar upah pekerja untuk proses penanaman, pembersihan dari belukar (ngored), sampai kala panen. Itu jika
pemilik kebun tak punya banyak waktu karena ada pekerjaan utama lain.
Eh,
ini mau bicarain pertanian atau
jalan-jalan? He he.
Balik
ke topik semula sebelum melantur alias out
of topic, akhirnya Mamah dan Palung berangkat juga ditemani payung
kembang-kembang merah-hitam besar. Takut kehujanan karena cuaca mendung. Bawa
payung besar untuk jalan-jalan kesannya ribet dan takut ketinggalan di
sembarang tempat, namun apa boleh buat kami tidak punya payung lain. Payung
kecil abu-abu malah ketinggalan di rumah teteh sepupu kala kami ke rumahnya di
Bandung 2 tahun lalu.
Kami
naik ojek, motornya punya tetangga dekat rumah. Yang ngendarain keponakannya,
anak SMU. Ade paham benar rute jalan desa berbatu-batu itu jadi tahu bagaimana
menghindari badan jalan rusak yang bisa menyebabkan motor tergelincir.
Benaran,
jalannya rusak parah, aspal terkelupas dan meninggalkan wajah jalan penuh
bebatuan tidak rata yang mengguncang. Para pesepeda motor yang kerap lewat
adalah offroader tangguh agar tidak
jatuh.
Mamah
dan Palung berkendara dengan berguncang-guncang meski Ade sudah berupaya
menghindari titik berbahaya. Guncangan yang ditimbulkan akibat melintasi jalan
berbatu-batu tidak mulus. Hal wajar sekaligus mendebarkan demi menempuh sekira
3 km kurang lebih menuju jalan raya kecamatan yang merupakan jalur selatan
lintas antarkota-antarprovinsi.
Alhamdulillah,
akhirnya kami tiba dengan selamat di depan BRI. Sudah bayar 12 ribu tadi
sebelum berangkat, lantas Ade berlalu setelah Mamah ucapkan terima kasih dan
pesan agar hati-hati.
Kok,
BRI? Yah, mamah ada urusan ke ATM dulu untuk transfer pembelian 4 judul buku
pada 4 pihak berbeda. Soal pengalaman di ATM, ada ceritanya. Lain kali Mamah
sambung dalam tulisan panjang.
Habis
dari ATM kami langsung menyeberang jalan, tidak mudah menyeberang jalan zaman
sekarang. Arus lalulintas senantiasa padat kendaraan membuat kami khawatir.
Syukurnya kami bisa menyeberang setelah ada jeda jarak jauh dengan pesepeda
motor yang akan melintas.
Mamah
sempat ngaco, ajak Palung swafoto di depan Puskesmas Limbangan. Soalnya Mamah
suka jalan depan puskesmas sudah dibuat trotoar dari paving block, bikin
nyaman pejalan. Terakhir lewat tempat itu, kami harus menghindari genangan air
yang besar.
Di
pasar, tujuan pertama Mamah adalah beli koran di lapak jajanan yang jual koran Pikiran Rakyat dan Tribun Jabar. Cuma ada koran “PR” saja, harganya 3 ribu. Biasanya Mamah
kalau ke pasar suka borong koran apa saja yang dijual. Mamah butuh referensi
bacaan cetak meski bisa baca berita secara daring (dalam jaringan). Koran cetak
lumayan bisa untuk bahan kliping kalau Palung ada tugas dari sekolah.
Lalu
kami ke kios langganan yang jual bahan untuk baso. Mamah beli nugget ayam dan lainnya. Untuk bahan
masak. Kios itu menjual macam-macam. Nanti saja, deh, diceritain dalam
tulisan lain. Lantas kami ke kios buah-buahan beli sebungkus apel hijau kecil.
Cuma 4 ribu untuk setengah kg. Apelnya untuk Palung doang. Mamah cuma makan satu saja. Bapak tak ikut makan.
Suasana
pasar sudah sepi, maklum Jumat siang. Banyak kios yang tutup lebih awal. Mamah
kebingungan mau beli apa, Palung tidak sabaran ingin segera ke kios yang jual
kelereng. Jadilah kami mutar-mutar dikit
cari kiosnya. Mamah kerap lupa rute di antara lorong-lorong pasar yang panjang
berliku karena jarang menyambanginya.
Akhirnya
kami tiba juga di kios A Heri. Hanya ada seorang Aa yang di sana. Langsung saja Palung bilang pengen beli kelereng
kala Mamah suruh ia untuk menyampaikan apa yang hendak dibelinya.
Sebungkus
kelereng ditaruh di atas meja etalase. Berikut senter kecil, sandal jepit untuk
Bapak, 2 sikat gigi, mancis, seperangkat alat tulis untuk Palung. Itu saja. Dan
Mamah lupa beli tempat pensil, kertas post
it jika ada, plus selusin buku tulis. Mamah tidak bawa catatan belanja, sih.
Habis
itu kami beli singlet dan cangcut untuk Palung, lagi-lagi lupa beli kaus kaki
untuk Palung dan Bapak. Lorong pasar tempat mangkal PKL yang jualan sandal dan
baju obralan sudah bersih dari pedagang. Belinya di kios paling ujung.
Sudahan
dulu.
Cipeujeuh, 9 April 2018
#Jalan-jalan #MamahdanPalung #Kecamatan
#Pasar #BaluburLimbangan #ATM #Belanja
~Foto hasil jepretan kamera ponsel
ANDROMAX PRIME~
https://rohyatisofjan2018.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah singgah, silakan tinggalkan jejak komentar sebagai tanda persahabatan agar saya bisa lakukan kunjungan balik. Komentar sebaiknya relevan dengan isi tulisan. Nama komentator tidak langsung mengarah ke URL pos blog agar tidak menambah beban jumlah link pemilik blog ini. Jangan sertakan link hidup dan mati, apalagi iklan karena termasuk spam.Terima kasih banyak. Salam. @rohyatisofjan