DATA BUKU : CATATAN PULANG
PENULIS :
ANGGA WIJAYA
PENERBIT : PUSTAKA EKSPRESI
CETAKAN : PERTAMA, JANUARI 2018
TEBAL :
iv + 89 HALAMAN
ISBN : 978-602-5408-17-5
SKIZOFRENIA
adalah suatu penyakit jiwa yang ditandai oleh
ketidakacuhan, halusinasi, waham untuk menghukum, dan merasa berkuasa, tetapi
daya pikir tidak berkurang.
Paparan di atas saya kutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai
pengantar bagi ulasan terhadap antologi puisi Catatan Pulang karya Angga Wijaya.
Membaca Catatan
Pulang akan membawa kita pada dimensi arus kesadaran dan ketidaksadaran
penyairnya. Angga cenderung muram, dan sebagaian besar sajaknya memaparkan
kegelisahan berikut luka yang dialaminya. Ia berbagi luka itu dengan kita pembacanya
agar bisa memahami dan berempati pada lakon hidup yang dijalaninya.
Tak ada yang ingin beroleh stigma hanya karena
diri harus menanggung beban skizofrenia. Hidup sudah terasa berat karena ada
yang salah dalam sel-sel otak, dan itu bukan hal yang diinginkannya. Ditambah
perlakuan buruk dari sekitar berupa penghakiman atau pengucilan (“De Nerso”,
“Insomnia”, “Rumah”, “Skizofrenia”, “Skizofrenia 2”, “Skizofrenia 3”, dan
“Kenangan di Rumah Sakit Jiwa”).
Dalam “Skizofrenia 4”, Angga bercerita tentang
upaya suicide. Anda yang merasa normal mungkin tak akan paham, lantas
melakukan penghakiman, namun adakah
sedikit saja kesadaran dan empati bahwa perilaku tersebut merupakan akumulasi
dari rasa sakit tak tertanggungkan yang tak dikehendaki?
Suara-suara
itu berbisik di telingaku. Aku tak kuat lagi,/ kegilaan ini menyiksaku. Tokoh
dalam bukuku seakan/ hidup dan aku ada di dalamnya. Kau dengar, aku mulai/
berbicara sendiri, meracau tentang sesuatu yang tak/ kumengerti. Aku berpikir
untuk bunuh diri. Maafkan/ aku. Mungkin ini jalan terbaik untuk mengakhiri
semua.// Jalan menuju desa sepi pagi itu. Daun-daun gugur,/ burung berkicau
dengan riang. Sungai di dekat rumah/ kita mengalir deras. Air berwarna
kecokelatan, hujan/ semalam membawa lumpur dan keruh. Aku bergegas/ memakai
jaketku dan membuka pintu menuju ke sana./ Bisikan di telingaku makin keras dan
menyuruhku/ mengakhiri hidup. Aku tak tahan lagi. Menuju sungai,/ aku mengambil
batu dan kumasukkan ke kantong/ jaketku lalu masuk ke dalam air. Sesaat aku
tercenung,/ sebelum tenggelam ke dasar sungai. Kesunyian yang/ amat sangat.//
(2017)
Puisi di atas ditujukan untuk Virginia Woolf,
sastrawan yang suicide dengan cara menenggelamkan diri. Apakah itu merupakan
semacam penggambaran keinginan bawah sadar Angga untuk melakukan hal serupa?
Atau sekadar memaparkan bagaimana saat-saat terakhir Woolf sendiri sebelum
meniadakan diri?
67 puisi yang Angga torehkan selama 16 tahun
dalam Catatan Pulang adalah riwayat
hidupnya untuk bangkit dari kelam. Ia kerap menulis baris yang pendek dalam
baitnya. Baris-baris pendek semacam itu adalah esensi dari sunya yang ia rasai.
Jika kita ingin membuat perbandingan tentang
gaya berpuisi Angga, mengapa seakan kurang memainkan rima atau irama? Puisi
Angga bisa jadi semacam saripatinya kala menangkap momen puitik. Ia lebih
memandang esensi daripada majas atau permainan bahasa. Momen puitik yang ia
tangkap adalah sesuatu di balik
peristiwanya.
Namun Angga membuat saya merinding kala pertama
kali baca “Euforia”, ada keindahan di balik peristiwa yang dibidiknya. Pilihan
kata yang bergema karena merupakan hasil renung dari siklus perulangan tahun.
Penghujung tahun, kita menyalakan kembang api
dan/ mercon, menciptakan kegaduhan entah untuk apa./ Jalanan dipenuhi deru
kendaraan, mengantar jutaan/ orang pada ketiadaan dan kesia-siaan. Terompet/
dibunyikan, kita bersenang-senang dalam semalam,/ tanpa tahu esok kita masih
berada di sini ataukah mati/ dijemput maut.//
Angga memaparkan perilaku
euforia semacam itu kerap membuat kita lupa diri. Namun ia yang divonis
skizofrenia masih memiliki ruang untuk sadar diri: Di sudut sunyi, seseorang berdoa dan berterima kasih/ atas
keberuntungan dan kegagalan. Ia tak banyak/ menuntut, sebab ia percaya bencana
dan keberuntungan/ sama saja, seperti sebuah sajak yang ia pernah baca.//
Luka memang kerap membuat
kita pesimis menjalani hidup, namun Angga banyak menyiratkan optimismenya dalam
beberapa puisi di Catatan Pulang ini.
Layakkah insan sepertinya terus beroleh stigma padahal jauh dalam dirinya ia
ingin bersikap positif?
Pada saat-saat tertentu,
yang ia butuhkan kala “serangan” skizofrenia menghantam adalah pendampingan
selain obat-obatan. Kau tak akan memahami sikap halusinatif atau delusional
seseorang jika bukan pelaku. Dan Angga berupaya memaparkan hal tersebut dalam
puisinya, bukan sekadar terapi diri melainkan mengajak orang awam untuk belajar
berempati.
Puisi adalah medium kita
untuk mengungkap rasa, atau hal-hal tergelap dalam diri.(*)
Cipeujeuh, Januari 2018
~Dimuat di koran Denpasar Post, 11 Maret 2018
#Resensi
#Buku #Puisi #AnggaWijaya #ODGJ #CatatanPulang #Skizofrenia #Muram #PustakaEkspresi
#DenpasarPost #2018
~Foto-foto
kiriman Angga Wijaya~
Sepertinya writing adalah healing bagi Angga ...dan ini pas sekali. Karena dengan menuliskan apa yang dirasakan yang jika dikatakan orang tak bisa memahami akan membuat diri terlepas dari beban. Apalagi bagi penderiat skizofrenia sepertinya.
BalasHapusBetul, Mbak Dian. Dan Angga kerap menulis dalam status Facebook-nya bahwa ia menjadikan menulis sebagai terapi, dengan demikian ia bisa beroleh kepuasan kala mengekspresikan diri, segala ganjalan yang ada bisa dimuntahkan keluar. Karena tak baik memendam semuanya dalam kepala. Ia kerap terjaga dan gelisah tanpa sebab maka menulislah sebagai terapinya yang lebih mudah.
HapusAndai saja saya bisa berpuisi menumpahkan segala rasa dengan kata-kata bermakna, salut sama Angga wijaya yg dalam kondisinya masih sempat berpuisi dgn indahnya :)
BalasHapusSaya menggarisbawahibagian ini:
BalasHapusAnda yang merasa normal mungkin tak akan paham, lantas melakukan penghakiman, namun adakah sedikit saja kesadaran dan empati bahwa perilaku tersebut merupakan akumulasi dari rasa sakit tak tertanggungkan yang tak dikehendaki?
Betul ... saya pernah membaca buku memoar seorang mantan pengidap skizofrenia. Saya baca sampai habis. Tentang apa yang menyebabkannya, lalu apa yang iaalami, lihat, dan rasakan, sampai proses penyembuhannya. Luar biasa perjuangannya. Kasihan sekali bila kita seenaknya menghakimi.
Belum pernah membaca puisi Angga Wijaya. Tapi membaca ulasan Teh Rohjati saya tertarik bahwa ia menuliskan puisi-puisi untuk menghapus stigma dan menuntun orang berempati kepada penderita skizofrenia.
BalasHapusMenulis menyembuhkan itu memang benar. Buat orang dari segala kalangan, yang luka fisik hingga luka batin, bahkan skizofrenia. Plus dia menuliskan optimismenya di tengah skizofrenia. Biasanya orang hanya sekadar menulis luka kan ya. Ini ia melangkah beberapa jejak lebih maju. Semoga bisa menemukan bukunya kalau pas ke toko buku.
Kasihan juga ya mbak jika seseorang terkena penyakit ini. Siapa yang mau coba menderita sakit seperti ini. Jika dengan menulis bisa mengurangi sakitnya maka teruslah menulis
BalasHapuswaaah keren nih, sudah lama sekali ggak baca-baca puisii :)
BalasHapus