Senin, 05 November 2018

Angga Wijaya, Puisi, dan Skizofrenia


 


DATA BUKU      : CATATAN PULANG
PENULIS            : ANGGA WIJAYA
PENERBIT          : PUSTAKA EKSPRESI
CETAKAN           : PERTAMA, JANUARI 2018
TEBAL                : iv + 89 HALAMAN
ISBN                    : 978-602-5408-17-5

SKIZOFRENIA adalah suatu penyakit jiwa yang ditandai oleh ketidakacuhan, halusinasi, waham untuk menghukum, dan merasa berkuasa, tetapi daya pikir tidak berkurang.

Paparan di atas saya kutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai pengantar bagi ulasan terhadap antologi puisi Catatan Pulang karya Angga Wijaya.
Membaca Catatan Pulang akan membawa kita pada dimensi arus kesadaran dan ketidaksadaran penyairnya. Angga cenderung muram, dan sebagaian besar sajaknya memaparkan kegelisahan berikut luka yang dialaminya. Ia berbagi luka itu dengan kita pembacanya agar bisa memahami dan berempati pada lakon hidup yang dijalaninya. 


Tak ada yang ingin beroleh stigma hanya karena diri harus menanggung beban skizofrenia. Hidup sudah terasa berat karena ada yang salah dalam sel-sel otak, dan itu bukan hal yang diinginkannya. Ditambah perlakuan buruk dari sekitar berupa penghakiman atau pengucilan (“De Nerso”, “Insomnia”, “Rumah”, “Skizofrenia”, “Skizofrenia 2”, “Skizofrenia 3”, dan “Kenangan di Rumah Sakit Jiwa”).
Dalam “Skizofrenia 4”, Angga bercerita tentang upaya suicide. Anda yang merasa normal mungkin tak akan paham, lantas melakukan penghakiman, namun adakah sedikit saja kesadaran dan empati bahwa perilaku tersebut merupakan akumulasi dari rasa sakit tak tertanggungkan yang tak dikehendaki?
Suara-suara itu berbisik di telingaku. Aku tak kuat lagi,/ kegilaan ini menyiksaku. Tokoh dalam bukuku seakan/ hidup dan aku ada di dalamnya. Kau dengar, aku mulai/ berbicara sendiri, meracau tentang sesuatu yang tak/ kumengerti. Aku berpikir untuk bunuh diri. Maafkan/ aku. Mungkin ini jalan terbaik untuk mengakhiri semua.// Jalan menuju desa sepi pagi itu. Daun-daun gugur,/ burung berkicau dengan riang. Sungai di dekat rumah/ kita mengalir deras. Air berwarna kecokelatan, hujan/ semalam membawa lumpur dan keruh. Aku bergegas/ memakai jaketku dan membuka pintu menuju ke sana./ Bisikan di telingaku makin keras dan menyuruhku/ mengakhiri hidup. Aku tak tahan lagi. Menuju sungai,/ aku mengambil batu dan kumasukkan ke kantong/ jaketku lalu masuk ke dalam air. Sesaat aku tercenung,/ sebelum tenggelam ke dasar sungai. Kesunyian yang/ amat sangat.// (2017)
Puisi di atas ditujukan untuk Virginia Woolf, sastrawan  yang suicide dengan cara menenggelamkan diri. Apakah itu merupakan semacam penggambaran keinginan bawah sadar Angga untuk melakukan hal serupa? Atau sekadar memaparkan bagaimana saat-saat terakhir Woolf sendiri sebelum meniadakan diri?


67 puisi yang Angga torehkan selama 16 tahun dalam Catatan Pulang adalah riwayat hidupnya untuk bangkit dari kelam. Ia kerap menulis baris yang pendek dalam baitnya. Baris-baris pendek semacam itu adalah esensi dari sunya yang ia rasai.
Jika kita ingin membuat perbandingan tentang gaya berpuisi Angga, mengapa seakan kurang memainkan rima atau irama? Puisi Angga bisa jadi semacam saripatinya kala menangkap momen puitik. Ia lebih memandang esensi daripada majas atau permainan bahasa. Momen puitik yang ia tangkap adalah sesuatu di balik peristiwanya.


Namun Angga membuat saya merinding kala pertama kali baca “Euforia”, ada keindahan di balik peristiwa yang dibidiknya. Pilihan kata yang bergema karena merupakan hasil renung dari siklus perulangan tahun.
Penghujung tahun, kita menyalakan kembang api dan/ mercon, menciptakan kegaduhan entah untuk apa./ Jalanan dipenuhi deru kendaraan, mengantar jutaan/ orang pada ketiadaan dan kesia-siaan. Terompet/ dibunyikan, kita bersenang-senang dalam semalam,/ tanpa tahu esok kita masih berada di sini ataukah mati/ dijemput maut.//
Angga memaparkan perilaku euforia semacam itu kerap membuat kita lupa diri. Namun ia yang divonis skizofrenia masih memiliki ruang untuk sadar diri: Di sudut sunyi, seseorang berdoa dan berterima kasih/ atas keberuntungan dan kegagalan. Ia tak banyak/ menuntut, sebab ia percaya bencana dan keberuntungan/ sama saja, seperti sebuah sajak yang ia pernah baca.//


Luka memang kerap membuat kita pesimis menjalani hidup, namun Angga banyak menyiratkan optimismenya dalam beberapa puisi di Catatan Pulang ini. Layakkah insan sepertinya terus beroleh stigma padahal jauh dalam dirinya ia ingin bersikap positif?
Pada saat-saat tertentu, yang ia butuhkan kala “serangan” skizofrenia menghantam adalah pendampingan selain obat-obatan. Kau tak akan memahami sikap halusinatif atau delusional seseorang jika bukan pelaku. Dan Angga berupaya memaparkan hal tersebut dalam puisinya, bukan sekadar terapi diri melainkan mengajak orang awam untuk belajar berempati.
Puisi adalah medium kita untuk mengungkap rasa, atau hal-hal tergelap dalam diri.(*)
Cipeujeuh, Januari 2018
          ~Dimuat di koran Denpasar Post, 11 Maret 2018
#Resensi #Buku #Puisi #AnggaWijaya #ODGJ #CatatanPulang #Skizofrenia #Muram #PustakaEkspresi #DenpasarPost #2018
~Foto-foto kiriman Angga Wijaya~













7 komentar:

  1. Sepertinya writing adalah healing bagi Angga ...dan ini pas sekali. Karena dengan menuliskan apa yang dirasakan yang jika dikatakan orang tak bisa memahami akan membuat diri terlepas dari beban. Apalagi bagi penderiat skizofrenia sepertinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Mbak Dian. Dan Angga kerap menulis dalam status Facebook-nya bahwa ia menjadikan menulis sebagai terapi, dengan demikian ia bisa beroleh kepuasan kala mengekspresikan diri, segala ganjalan yang ada bisa dimuntahkan keluar. Karena tak baik memendam semuanya dalam kepala. Ia kerap terjaga dan gelisah tanpa sebab maka menulislah sebagai terapinya yang lebih mudah.

      Hapus
  2. Andai saja saya bisa berpuisi menumpahkan segala rasa dengan kata-kata bermakna, salut sama Angga wijaya yg dalam kondisinya masih sempat berpuisi dgn indahnya :)

    BalasHapus
  3. Saya menggarisbawahibagian ini:

    Anda yang merasa normal mungkin tak akan paham, lantas melakukan penghakiman, namun adakah sedikit saja kesadaran dan empati bahwa perilaku tersebut merupakan akumulasi dari rasa sakit tak tertanggungkan yang tak dikehendaki?

    Betul ... saya pernah membaca buku memoar seorang mantan pengidap skizofrenia. Saya baca sampai habis. Tentang apa yang menyebabkannya, lalu apa yang iaalami, lihat, dan rasakan, sampai proses penyembuhannya. Luar biasa perjuangannya. Kasihan sekali bila kita seenaknya menghakimi.

    BalasHapus
  4. Belum pernah membaca puisi Angga Wijaya. Tapi membaca ulasan Teh Rohjati saya tertarik bahwa ia menuliskan puisi-puisi untuk menghapus stigma dan menuntun orang berempati kepada penderita skizofrenia.

    Menulis menyembuhkan itu memang benar. Buat orang dari segala kalangan, yang luka fisik hingga luka batin, bahkan skizofrenia. Plus dia menuliskan optimismenya di tengah skizofrenia. Biasanya orang hanya sekadar menulis luka kan ya. Ini ia melangkah beberapa jejak lebih maju. Semoga bisa menemukan bukunya kalau pas ke toko buku.

    BalasHapus
  5. Kasihan juga ya mbak jika seseorang terkena penyakit ini. Siapa yang mau coba menderita sakit seperti ini. Jika dengan menulis bisa mengurangi sakitnya maka teruslah menulis

    BalasHapus
  6. waaah keren nih, sudah lama sekali ggak baca-baca puisii :)

    BalasHapus

Terima kasih sudah singgah, silakan tinggalkan jejak komentar sebagai tanda persahabatan agar saya bisa lakukan kunjungan balik. Komentar sebaiknya relevan dengan isi tulisan. Nama komentator tidak langsung mengarah ke URL pos blog agar tidak menambah beban jumlah link pemilik blog ini. Jangan sertakan link hidup dan mati, apalagi iklan karena termasuk spam.Terima kasih banyak. Salam. @rohyatisofjan

Disabilitas Mengelola Komunitas

Arti disabilitas adalah keterbatasan aktivitas dan partisipasi akibat  ketidakmampuan mental atau fisik. Hal itu bisa menjadi stigma dalam m...