“AKU dikutuk jadi ayam,” kata seekor ayam yang sedang
dikurung di kandang. Ayam betina muda dengan bulu hitam berkilauan di seluruh
tubuhnya. Saat ini Tomi sedang ngobrol dengan sang ayam dengan santai. Padahal
sebelumnya ia nyaris semaput ketakutan kala seekor ayam menyapanya dalam bahasa
manusia, bukan berkokok atau kukuruyuk petok-petok-petok!
“Bagaimana
bisa?” Meski heran Tomi ingin tahu. Apakah ayam ini ayam sungguhan yang sedang
membual dan kebetulan memahami bahasa manusia? Atau memang manusia yang dikutuk
jadi ayam?
Betapa
terkutuknya hidup, kok bisa ada kutuk-kutukan segala. Di zaman modern
ini, bukan pada dahulu kala seperti dalam dongeng-dongeng yang biasa ia baca. Tomi
garuk-garuk keningnya.
Si Ayam
mengepakkan sayapnya, lalu berujar, “Dahulu kala....”
“Stop!”
seru Tomi. Apa ia sedang mengkhayal bicara dengan ayam? Kok ayam ini
bisa bilang, dahulu kala? Seperti kata pembuka dalam dongeng
saja, apalagi itu barusan dipikirkannya. “Apa maksudmu dengan dahulu kala?”
Tomi agak sewot.
“Habis
mau gimana lagi? Memang dahulu kala. Itu bahkan terjadi sebelum kota besar ini
berdiri. Itu sudah terjadi waktu hutan-hutan berupa rimba raya tak terjamah
manusia. Dan peradaban belum semaju sekarang.”
“Berarti
usiamu sangat tua sekali?” Tomi asal menanggapi. Ia berharap Ibu ke belakang
dan turut menjadi saksi bahwa Tomi tak terkena halusinasi: ditenung ayam agar
paham bahasa binatang yang ngoceh dengan cara manusia!
Sayang
tak ada siapa-siapa. Tomi tak berani berteriak memanggil Ibu, salah-salah
disangka gila jika memang ayam ini pada akhirnya berhenti bicara. Dan bersuara
seperti pada umumnya kaum ayam. Tapi ayam ini memang aneh, waktu baru dibeli Ibu
dari pasar sama sekali tak pernah bersuara. Saat sedang bersama Tomi, untuk
kesekian kalinya, kala diberi makan, mendadak ayam ini bersuara. Dan suaranya
di luar dugaan!
“Dengar,
anak muda. Aku dikutuk agar wujudku berubah jadi ayam. Makan dan hidup dengan
cara ayam!”
“Tapi
apa bisa kawin dan beranak-pinak pula sebagai ayam?” sela Tomi jahil.
Si Ayam
tertawa, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku tak bisa seperti itu karena
pada dasarnya wujud asalku manusia.”
“Pernah
disembelih, lalu digoreng atau disate?” Tomi sangsi. Ayam ini kok bisa
panjang umur amat.
Si Ayam
terbahak. “Anak pintar!” serunya riang. “Sayangnya aku selalu berhasil kabur.
Dan mereka tak bisa mencederaiku.”
“Apakah
kamu berniat kabur juga?” Tomi sungguh takut jika hal itu terjadi. Ibu bisa
marah dan kecewa. Padahal ia sudah dipercaya untuk mengurus dan merawat ayam ini.
Dan tugas itu sudah dilakukannya dengan baik selama sebulan.
“Bergantung
situasi,” jawab Si Ayam dengan santai, tak memedulikan reaksi Tomi yang pucat
pasi memikirkan bagaimana caranya agar ayam betah dan tak kabur dari kandang.
Tomi
takut Si Ayam punya ilmu sulap, simsalabim langsung lenyap tak berjejak. Atau
dengan mudah membuka pintu kandang, lalu mengepakkan sayap dan terbang sejauh-jauhnya
sebagai ayam ajaib bebas merdeka.
“Ssi..
tuasi apa?” Tomi sungguh gugup dan gelisah. Pagi ini cerah tapi kok
dirinya seperti habis dikutuk saja. Mengobrol dengan ayam yang bilang selalu
bisa kabur. Tomi yang duduk di dingklik kayu kecil menghadap kandang rasanya
ingin ambruk saja.
“Apakah
aku akan diperlakukan dengan baik atau sebaliknya.” Si Ayam berjalan
mondar-mandir. Kandang itu kecil namun cukup luas dan bersih baginya.
“Apakah
aku berlaku buruk?” Tomi waswas.
“Belum!”
jawab Si Ayam tegas. “Kamu berlaku baik dan tak lalai mengurusku.”
“Aku
mengurusmu karena diminta Ibu. Ibu berniat memeliharamu agar bisa berkembang
biak,” Tomi merasa harus berterus terang, ia takut Si Ayam tersinggung, tapi ia
tak ingin Si Ayam kabur.
Ayam
jantan belum dibeli. Ibu sedang mengumpulkan uang dulu untuk itu. Ibu Tomi bekerja
sebagai penjahit di konveksi tak jauh dari rumah mereka. Ayahnya sudah lama
tiada setelah didera sakit parah yang menggerogoti: kanker paru-paru!
“Terima
kasih.”
“Kamu
marah?”
“Tidak.”
“Kalau
begitu, apa yang kamu inginkan. Bahkan kamu belum melanjutkan ceritamu?”
“Itu
karena kamu sela terus!” kata Si Ayam sebal.
“Habis
aku bingung dan penasaran, sih.” Tomi membela diri. Siapa yang tidak
bingung sekaligus penasaran jika berada dalam situasi seperti ini?
Si Ayam
terkekeh. Suaranya merdu sekali, seperti suara perempuan muda. Tomi baru
menyadarinya. “Ya, pada suatu ketika, berabad-abad lampau. Hiduplah seorang
putri cantik yang sombong. Karena kecantikannya itu, ada seorang pangeran yang
tertarik padanya. Namun Sang Putri terlalu sombong untuk menerima pinangan
pangeran sebab wajahnya buruk rupa bekas penyakit, yang di abad ini kalian
sebut sebagai cacar.” Si Ayam berhenti sejenak. Ia menghela napas berat. Dan
Tomi tegang menunggu kelanjutannya. Ia seperti sedang memasuki dunia dongeng
yang nyata dan seekor, eh, seorang manusia yang dikutuk dalam wujud ayam,
sebagai penuturnya.
“Putri
itu menolak pinangan Sang Pangeran dengan kata-kata yang tak sepatutnya.
Membuat Sang Pangeran murka, mengutuk Putri berubah wujud seketika. Dan
menjelmalah ia... sebagai ayam....” Si Ayam mendadak menangis tersedu-sedu.
Tomi hanya bisa diam tak percaya.
“Ayam
itu kamu?” kata Tomi hati-hati, setelah ada jeda panjang di antara mereka.
Setelah Si Ayam berhenti menangis.
“Ya,
ayam itu aku sekarang. Baginda Raja dan Ratu, kedua orang tuaku, yang
mengetahui itu mohon ampun. Berharap wujudku bisa kembali. Namun Sang Pangeran
bilang kutuk itu abadi. Dan tugasku sebagai ayam menjadi pengingat betapa
kesombongan bisa merendahkan derajat.”
“Tiada
maaf?”
“Tiada
maaf bagiku.”
“Mengapa?”
Tomi bingung. Siapa yang tidak bingung, coba?
“Anak
Muda, aku telah hidup tak terhitung waktu, menyaksikan peristiwa demi peristiwa
bergulir di muka bumi ini. Aku tidak tahu. Tapi kini aku menjelma ayam abadi
yang tak bisa mati-mati.”
“Apa
yang kamu inginkan?” Tomi merasa sedih.
“Memenuhi
takdirku sebagai ayam.”
“Apakah
kamu akan bersamaku?” Tomi sungguh sangat takut kehilangan.
“Aku
tak bisa selalu bersamamu, Manis. Tolong panggil ibumu. Ia kesulitan keuangan
‘kan?”
“Bagaimana
kamu tahu?” Tomi heran. Ya, ibunya sedang kesulitan karena harus membayar utang
bekas berobat almarhum Bapak dulu. Jumlah utang itu sangat besar, ibunya sampai
harus kerja keras banting tulang agar bisa menghidupi mereka berdua, sekaligus
membayar utang yang sulit juga lunasnya.
“Karena
aku ayam ajaib. Dan aku mau memberi hadiah untuk kalian. Tapi sebelumnya
panggil dulu ibumu!”
“Begitulah
ceritanya, Bu.” Kata Tomi lirih.
Saat ini senja baru saja turun.
“Ibu
tak mengerti.” Kata Ibu muram. “Bagaimana bisa ada ayam ajaib, penjelmaan
seorang putri yang cantik pula?”
“Tomi
juga tak mengerti, Bu. Tapi ia telah menghadiahi kita sesuatu yang sangat
berharga.” Kedua anak beranak itu saling berpandangan, lalu melihat tiga helai
bulu ayam, bukan sembarang bulu melainkan emas murni berbentuk helai bulu ayam.
Maka
inilah lintasan kilas balik kejadian pagi tadi yang membuat ibunya pingsan
sampai sore. Tomi memanggil ibunya yang baru datang dari pasar.
Mengajaknya ke kandang. Mempertemukannya dengan Si Ayam.
Ibunya ambruk, jatuh terduduk di rumputan kala disapa ayam.
Si Ayam
minta izin untuk keluar dan pergi meninggalkan mereka. Ibunya yang ketakutan
dengan gugup langsung mengiyakan. Si Ayam berterima kasih dan bilang sebelum
pergi akan memberi hadiah. Dimintanya Tomi mencabut tiga helai saja bulu di
tubuhnya. Tomi dengan sedih memenuhi permintaan itu. Ia tidak tahu apa yang
akan terjadi, takut kehilangan namun merasa tak berdaya mencegah Si Ayam
mengembarai takdirnya.
Begitu
bulu ketiga selesai dicabut, Si Ayam mendadak berubah wujud. Menjelma seorang
putri yang sungguh sangat cantik jelita. Tomi dan ibunya sampai terkesima.
“Terimalah
ini.” Kata Putri yang sampai sekarang tak Tomi tahu namanya.
“Te..
te.. rima kaa.. sih....” Ibu Tomi menerima tiga helai bulu ayam itu dengan
gemetar. Dan tahu-tahu bulu tersebut berubah kuning keemasan. Ibu Tomi yang
kaget dengan perubahan wujud di tangannya langsung pingsan.
Tomi
sungguh bingung. Namun Sang Putri lalu membopong ibunya ke kamar, diiringi Tomi
yang panik.
“Ia
akan baik-baik saja,” kata Sang Putri. “Sekarang aku harus pamit. Apakah kamu
ikhlas?”
“Aku
akan kehilanganmu.”
“Kamu
tak akan kehilanganku. Ada kenangan untukmu, Anak Baik.” Seraya berkata itu,
Sang Putri memberikan sesuatu untuk Tomi. Sehelai bulu aslinya! “Ini bukan
emas, namun jauh lebih berharga daripada emas. Persahabatan dan perlakuan baik.
Simpanlah.”
Setelah
itu Sang Putri kembali berubah wujud, menjelma ayam betina muda dengan bulu hitam
berkilauan. “Selamat tinggal dan terima kasih!” Lalu ia melesat terbang
meninggalkan Tomi yang terpana. Tak percaya akan perjumpaannya dengan ayam
ajaib, dan bisa terbang pula dengan cara luar biasa seperti burung saja.***
Loji, 9
Juni 2012
*Dimuat di majalah Aku Anak Saleh edisi Tahun XIX,
November-Desember 2013
#Dongeng #Ayam #Majalah #AkuAnakSaleh #2013
~Foto koleksi pribadi~
JAdi ayam itu bakalan berubah bentuk kalau dicabut 3 helai dan jadi ayam lagi kalau dicabut lagi ya mba, hahahhahaa
BalasHapusMenjelang buka puasa, semacam ngabuburit baca ini.
Suka banget mbaaa, tulisan lamanya keren2.
JAdi betah berkunjung ke sini dan mengubek-ubek artikel lama hahahaha.
Kereeennn banget ya mba, sejak dulu emang suka dunia tulis menulis ya mba.
Terlihat banget tulisannya berbobot banget :D
Semacam baca cerpen yang mengasyikan di sebuah koran.
Saya soalnya cuman suka baca cerpen kalau buka koran hahahahaha