Rabu, 07 November 2018

Tomi dan Ayam Ajaib




AKU dikutuk jadi ayam,” kata seekor ayam yang sedang dikurung di kandang. Ayam betina muda dengan bulu hitam berkilauan di seluruh tubuhnya. Saat ini Tomi sedang ngobrol dengan sang ayam dengan santai. Padahal sebelumnya ia nyaris semaput ketakutan kala seekor ayam menyapanya dalam bahasa manusia, bukan berkokok atau kukuruyuk petok-petok-petok!

“Bagaimana bisa?” Meski heran Tomi ingin tahu. Apakah ayam ini ayam sungguhan yang sedang membual dan kebetulan memahami bahasa manusia? Atau memang manusia yang dikutuk jadi ayam?

Betapa terkutuknya hidup, kok bisa ada kutuk-kutukan segala. Di zaman modern ini, bukan pada dahulu kala seperti dalam dongeng-dongeng yang biasa ia baca. Tomi garuk-garuk keningnya.

 Si Ayam mengepakkan sayapnya, lalu berujar, “Dahulu kala....”

“Stop!” seru Tomi. Apa ia sedang mengkhayal bicara dengan ayam? Kok ayam ini bisa bilang, dahulu kala? Seperti kata pembuka dalam dongeng saja, apalagi itu barusan dipikirkannya. “Apa maksudmu dengan dahulu kala?” Tomi agak sewot.

“Habis mau gimana lagi? Memang dahulu kala. Itu bahkan terjadi sebelum kota besar ini berdiri. Itu sudah terjadi waktu hutan-hutan berupa rimba raya tak terjamah manusia. Dan peradaban belum semaju sekarang.”

“Berarti usiamu sangat tua sekali?” Tomi asal menanggapi. Ia berharap Ibu ke belakang dan turut menjadi saksi bahwa Tomi tak terkena halusinasi: ditenung ayam agar paham bahasa binatang yang ngoceh dengan cara manusia! 

Sayang tak ada siapa-siapa. Tomi tak berani berteriak memanggil Ibu, salah-salah disangka gila jika memang ayam ini pada akhirnya berhenti bicara. Dan bersuara seperti pada umumnya kaum ayam. Tapi ayam ini memang aneh, waktu baru dibeli Ibu dari pasar sama sekali tak pernah bersuara. Saat sedang bersama Tomi, untuk kesekian kalinya, kala diberi makan, mendadak ayam ini bersuara. Dan suaranya di luar dugaan!

“Dengar, anak muda. Aku dikutuk agar wujudku berubah jadi ayam. Makan dan hidup dengan cara ayam!”

“Tapi apa bisa kawin dan beranak-pinak pula sebagai ayam?” sela Tomi jahil.

Si Ayam tertawa, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku tak bisa seperti itu karena pada dasarnya wujud asalku manusia.”

“Pernah disembelih, lalu digoreng atau disate?” Tomi sangsi. Ayam ini kok bisa panjang umur amat.

Si Ayam terbahak. “Anak pintar!” serunya riang. “Sayangnya aku selalu berhasil kabur. Dan mereka tak bisa mencederaiku.”

“Apakah kamu berniat kabur juga?” Tomi sungguh takut jika hal itu terjadi. Ibu bisa marah dan kecewa. Padahal ia sudah dipercaya untuk mengurus dan merawat ayam ini. Dan tugas itu sudah dilakukannya dengan baik selama sebulan.

“Bergantung situasi,” jawab Si Ayam dengan santai, tak memedulikan reaksi Tomi yang pucat pasi memikirkan bagaimana caranya agar ayam betah dan tak kabur dari kandang. 





Tomi takut Si Ayam punya ilmu sulap, simsalabim langsung lenyap tak berjejak. Atau dengan mudah membuka pintu kandang, lalu mengepakkan sayap dan terbang sejauh-jauhnya sebagai ayam ajaib bebas merdeka.


“Ssi.. tuasi apa?” Tomi sungguh gugup dan gelisah. Pagi ini cerah tapi kok dirinya seperti habis dikutuk saja. Mengobrol dengan ayam yang bilang selalu bisa kabur. Tomi yang duduk di dingklik kayu kecil menghadap kandang rasanya ingin ambruk saja.

“Apakah aku akan diperlakukan dengan baik atau sebaliknya.” Si Ayam berjalan mondar-mandir. Kandang itu kecil namun cukup luas dan bersih baginya.

“Apakah aku berlaku buruk?” Tomi waswas.

“Belum!” jawab Si Ayam tegas. “Kamu berlaku baik dan tak lalai mengurusku.”

“Aku mengurusmu karena diminta Ibu. Ibu berniat memeliharamu agar bisa berkembang biak,” Tomi merasa harus berterus terang, ia takut Si Ayam tersinggung, tapi ia tak ingin Si Ayam kabur.

Ayam jantan belum dibeli. Ibu sedang mengumpulkan uang dulu untuk itu. Ibu Tomi bekerja sebagai penjahit di konveksi tak jauh dari rumah mereka. Ayahnya sudah lama tiada setelah didera sakit parah yang menggerogoti: kanker paru-paru!

“Terima kasih.”

“Kamu marah?”

“Tidak.”

“Kalau begitu, apa yang kamu inginkan. Bahkan kamu belum melanjutkan ceritamu?”


“Itu karena kamu sela terus!” kata Si Ayam sebal.


“Habis aku bingung dan penasaran, sih.” Tomi membela diri. Siapa yang tidak bingung sekaligus penasaran jika berada dalam situasi seperti ini?

Si Ayam terkekeh. Suaranya merdu sekali, seperti suara perempuan muda. Tomi baru menyadarinya. “Ya, pada suatu ketika, berabad-abad lampau. Hiduplah seorang putri cantik yang sombong. Karena kecantikannya itu, ada seorang pangeran yang tertarik padanya. Namun Sang Putri terlalu sombong untuk menerima pinangan pangeran sebab wajahnya buruk rupa bekas penyakit, yang di abad ini kalian sebut sebagai cacar.” Si Ayam berhenti sejenak. Ia menghela napas berat. Dan Tomi tegang menunggu kelanjutannya. Ia seperti sedang memasuki dunia dongeng yang nyata dan seekor, eh, seorang manusia yang dikutuk dalam wujud ayam, sebagai penuturnya. 


 

“Putri itu menolak pinangan Sang Pangeran dengan kata-kata yang tak sepatutnya. Membuat Sang Pangeran murka, mengutuk Putri berubah wujud seketika. Dan menjelmalah ia... sebagai ayam....” Si Ayam mendadak menangis tersedu-sedu. Tomi hanya bisa diam tak percaya.

“Ayam itu kamu?” kata Tomi hati-hati, setelah ada jeda panjang di antara mereka. Setelah Si Ayam berhenti menangis.

“Ya, ayam itu aku sekarang. Baginda Raja dan Ratu, kedua orang tuaku, yang mengetahui itu mohon ampun. Berharap wujudku bisa kembali. Namun Sang Pangeran bilang kutuk itu abadi. Dan tugasku sebagai ayam menjadi pengingat betapa kesombongan bisa merendahkan derajat.”

“Tiada maaf?”

“Tiada maaf bagiku.”

“Mengapa?” Tomi bingung. Siapa yang tidak bingung, coba?

“Anak Muda, aku telah hidup tak terhitung waktu, menyaksikan peristiwa demi peristiwa bergulir di muka bumi ini. Aku tidak tahu. Tapi kini aku menjelma ayam abadi yang tak bisa mati-mati.”

“Apa yang kamu inginkan?” Tomi merasa sedih.

“Memenuhi takdirku sebagai ayam.”

“Apakah kamu akan bersamaku?” Tomi sungguh sangat takut kehilangan.

“Aku tak bisa selalu bersamamu, Manis. Tolong panggil ibumu. Ia kesulitan keuangan ‘kan?”

“Bagaimana kamu tahu?” Tomi heran. Ya, ibunya sedang kesulitan karena harus membayar utang bekas berobat almarhum Bapak dulu. Jumlah utang itu sangat besar, ibunya sampai harus kerja keras banting tulang agar bisa menghidupi mereka berdua, sekaligus membayar utang yang sulit juga lunasnya.

“Karena aku ayam ajaib. Dan aku mau memberi hadiah untuk kalian. Tapi sebelumnya panggil dulu ibumu!”


“Begitulah ceritanya, Bu.” Kata Tomi lirih. Saat ini senja baru saja turun.

“Ibu tak mengerti.” Kata Ibu muram. “Bagaimana bisa ada ayam ajaib, penjelmaan seorang putri yang cantik pula?”

“Tomi juga tak mengerti, Bu. Tapi ia telah menghadiahi kita sesuatu yang sangat berharga.” Kedua anak beranak itu saling berpandangan, lalu melihat tiga helai bulu ayam, bukan sembarang bulu melainkan emas murni berbentuk helai bulu ayam.

Maka inilah lintasan kilas balik kejadian pagi tadi yang membuat ibunya pingsan sampai sore. Tomi memanggil ibunya yang baru datang dari pasar. Mengajaknya ke kandang. Mempertemukannya dengan Si Ayam. Ibunya ambruk, jatuh terduduk di rumputan kala disapa ayam.

Si Ayam minta izin untuk keluar dan pergi meninggalkan mereka. Ibunya yang ketakutan dengan gugup langsung mengiyakan. Si Ayam berterima kasih dan bilang sebelum pergi akan memberi hadiah. Dimintanya Tomi mencabut tiga helai saja bulu di tubuhnya. Tomi dengan sedih memenuhi permintaan itu. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, takut kehilangan namun merasa tak berdaya mencegah Si Ayam mengembarai takdirnya.

Begitu bulu ketiga selesai dicabut, Si Ayam mendadak berubah wujud. Menjelma seorang putri yang sungguh sangat cantik jelita. Tomi dan ibunya sampai terkesima.

“Terimalah ini.” Kata Putri yang sampai sekarang tak Tomi tahu namanya.

“Te.. te.. rima kaa.. sih....” Ibu Tomi menerima tiga helai bulu ayam itu dengan gemetar. Dan tahu-tahu bulu tersebut berubah kuning keemasan. Ibu Tomi yang kaget dengan perubahan wujud di tangannya langsung pingsan.

Tomi sungguh bingung. Namun Sang Putri lalu membopong ibunya ke kamar, diiringi Tomi yang panik.

“Ia akan baik-baik saja,” kata Sang Putri. “Sekarang aku harus pamit. Apakah kamu ikhlas?”

“Aku akan kehilanganmu.”

“Kamu tak akan kehilanganku. Ada kenangan untukmu, Anak Baik.” Seraya berkata itu, Sang Putri memberikan sesuatu untuk Tomi. Sehelai bulu aslinya! “Ini bukan emas, namun jauh lebih berharga daripada emas. Persahabatan dan perlakuan baik. Simpanlah.”

Setelah itu Sang Putri kembali berubah wujud, menjelma ayam betina muda dengan bulu hitam berkilauan. “Selamat tinggal dan terima kasih!” Lalu ia melesat terbang meninggalkan Tomi yang terpana. Tak percaya akan perjumpaannya dengan ayam ajaib, dan bisa terbang pula dengan cara luar biasa seperti burung saja.***

Loji, 9 Juni 2012
*Dimuat di majalah Aku Anak Saleh edisi Tahun XIX, November-Desember 2013
#Dongeng #Ayam #Majalah #AkuAnakSaleh #2013
~Foto koleksi pribadi~







1 komentar:

  1. JAdi ayam itu bakalan berubah bentuk kalau dicabut 3 helai dan jadi ayam lagi kalau dicabut lagi ya mba, hahahhahaa

    Menjelang buka puasa, semacam ngabuburit baca ini.

    Suka banget mbaaa, tulisan lamanya keren2.
    JAdi betah berkunjung ke sini dan mengubek-ubek artikel lama hahahaha.

    Kereeennn banget ya mba, sejak dulu emang suka dunia tulis menulis ya mba.
    Terlihat banget tulisannya berbobot banget :D

    Semacam baca cerpen yang mengasyikan di sebuah koran.
    Saya soalnya cuman suka baca cerpen kalau buka koran hahahahaha

    BalasHapus

Terima kasih sudah singgah, silakan tinggalkan jejak komentar sebagai tanda persahabatan agar saya bisa lakukan kunjungan balik. Komentar sebaiknya relevan dengan isi tulisan. Nama komentator tidak langsung mengarah ke URL pos blog agar tidak menambah beban jumlah link pemilik blog ini. Jangan sertakan link hidup dan mati, apalagi iklan karena termasuk spam.Terima kasih banyak. Salam. @rohyatisofjan

Disabilitas Mengelola Komunitas

Arti disabilitas adalah keterbatasan aktivitas dan partisipasi akibat  ketidakmampuan mental atau fisik. Hal itu bisa menjadi stigma dalam m...