PENYAIR Beni R. Budiman,
almarhum, pernah menulis soal ketakjubannya pada Pasar Malangbong, Garut, di
kolom koran Pikiran Rakyat.
Malangbong adalah kampung halaman Nenden Lilis Aisyah, istrinya. Aktivitas
perdagangan, sampai politik rencana penggusuran pasar yang berujung pada
kebakaran, menyebabkan mertuanya kehilangan kios/jongko yang strategis dalam
menjaring pembeli.
Nenden Lilis
menuangkan kenangan masa kecilnya tentang kecintaan pada Pasar Malangbong dalam
cerpen “Hari Pasar” (kumcer Ruang Belakang,
Penerbit Kompas). Ketika itu Pasar Malangbong belum seperti sekarang. Aktivitas
dan ragam penghuninya yang unik, menjadi tempat berkumpul orang-orang gunung
sekaligus pusat hiburan bagi siapa saja dengan hadirnya atraksi tukang obat.
Mengingatkan saya pada
suasana Pasar Limbangan kala masih kecil pada tahun ‘80-an dan ibu mengajak
pulang kampung, tidak ada kios tertutup; semua jongko serba terbuka dan berupa
bangunan panggung dengan lantai papan atau jalinan bambu; kalau usai berdagang,
biasanya Zuhur, pedagang akan mengemas kembali barangnya.
Isinya pun tak
selengkap Pasar Kiaracondong di dekat rumah. Betapa membosankannya pasar
demikian dalam pandangan seorang anak kecil yang terbiasa dengan suasana
pasar-pasar kota besar. Betapa pasar sangat besar pengaruhnya pada kita.
Pasar Cigombong lebih ramai dan besar
daripada Pasar Limbangan yang cuma separuh ukurannya atau Pasar Kiaracondong
yang masa keemasannya tersaingi pasar swalayan dan mini market di sekitar.
Selama 2 bulan lebih ini sejak hijrah ke Kampung Loji, Desa Pasir Jaya,
Kecamatan Cigombong; saya belum menjelajahi keseluruhannya.
Suami yang selalu
menyertai sambil menggendong anak kami jenis lelaki yang tak suka keluyuran
mutar-mutar untuk belanja, apalagi sambil menenteng barang yang dirasa angkaribung. Toh, saya menikmati
keragaman isinya yang berbeda dengan Pasar Limbangan.
Brokoli, aneka jamur,
paprika, seafood segar, sampai bawang lokio yang biasa
untuk campuran sayur atau asinan melimpah. Keanekaragaman isinya memang luar
biasa, namun saya belum menemu dage
dan cabe gendot. Itu membingungkan.
Pasar besar, meski
isinya lengkap, bagi perantau ada rasa tidak nyaman jika belum cukup waktu
adaptasi. Pun pertama diajak ke sana oleh Bu Yanie dengan mobilnya, ada rasa
khawatir karena jaraknya dari rumah sangat jauh. Itu rasanya sama seperti jarak
dari rumah di Kampung Cipeujeuh, Limbangan sampai ke Pasar Leuwigoong.
Jalan sempit
berkelak-kelok mendaki dan menurun seperti Ciwidey. Angkot yang ada untuk
jurusan Pasar Cigombong - Pasar Cijeruk sejenis carry dan
ongkosnya melegakan karena cuma 3 ribu.
Namun sore jarang ada
(dan sebaiknya jangan kesorean jika tak ingin kehujanan sebab cuaca Bogor susah
ditebak, kami pernah terpaksa pulang naik ojek dan berbasah-basah, ongkosnya
kala itu 20 ribu untuk bertiga). Berbeda
dengan di kampung, naik ojek 5 ribu per orang dan disambung sado 2 ribu per
orang.
Setiap wilayah punya
karakter pasar yang berbeda, seolah standardisasi ditentukan oleh selera
setempat. Di Cigombong tidak perlu khawatir pada kuliner, ada banyak tempat
makan di sekitar pasar yang unik dan enak. Namun perut suami pernah tersesat
pada soto campur isi ayam, usus, babat, bihun, dan irisan kol yang
sebenarnya sedap.
Ia tak suka makanan
terlalu berempah, pun Palung yang masih batita. Barangkali inilah citarasa soto
khas Bogor, kuning harum dengan santan dan campuran daun jeruk purut, enak
disantap panas-panas. Rasa mantap yang tidak cocok bagi suami dan anak,
sebaiknya makan soto khas Bandung yang bening dan tak berat. Isinya daging
ayam/sapi, bihun, kol, kacang kedelai, dan lobak. Namun kami belum menemukan
tempatnya.
Sejauh-jauhnya
merantau, ada rasa kehilangan pada Pasar Limbangan. Pasar kecil namun setiap
sudutnya sudah saya jelajahi sampai detail. Keramahan Teh Alis pemilik kios
kelontong yang kecil namun sabar melayani.
Barangkali yang paling
kehilangan adalah Palung karena ia biasa merasakan keriuhan pasar sebagai
hiburan dengan banyaknya sado di Limbangan. Ia tergila-gila pada kuda. Dan di
sini selalu memaksa saya menghidupkan notebook agar
bisa menonton kuda-kuda berseliweran di film “Legends of The Fall”.***
Loji, 30 Mei 2012
Dimuat di koran Tribun Jabar, Juni 2012
#Pasar #PasarLimbangan
#PasarKiaracondong #PasarCigombong #Opini
~Foto dari
https://jabar.pojoksatu.id/bandung/2016/10/02/2017-ridwan-kamil-pastikan-pasar-kiaracondong-kota-bandung-direnovasi/
Waaahhh, saya terpesona bacanya mba, dari atas sampai bawah, semacam baca artikel di koran atau majalah gitu, eh ternyata pernah dimuat di koran beneran ya hahaha
BalasHapusSaya tuh kagum banget ama orang-orang yang beneran mencintai menulis, pandai merangkai kata.
Beda banget ama saya, yang nulisnya kayak ngomong, gak peduli bahasa dan semacamnya hahaha.
Padahal tema di atas itu sederhana, tapi jadinya menarik karena susunan kata2nya :D