Sabtu, 10 November 2018

Liliwetan, Upaya Saling Mengakrabkan Diri Sehari Sebelum Saum Dimulai





HARI terakhir semua orang bebas makan dan minum karena besok akan mulai saum, ada semacam kebiasaan di antara para tetangga dekat rumah saya. Masak dan makan bersama di hawu (tungku kayu bakar) seadanya yang terbuat dari susunan batu bata atau batu kali. Hal itu disebut liliwetan karena cara memasak nasinya dengan di-liwet pakai kastrol.
Kastrol itu semacam belangga (panci khusus terbuat dari logam yang tebal) untuk menanak nasi secara langsung dengan takaran air yang sudah ditentukan agar nasinya bisa matang secara merata dan pengapian yang pas pula. Dan memasak nasi dengan cara diliwet lebih praktis dari segi waktu dan rasa. Yang penting harus memahami benar bagaimana memberi takaran airnya agar tak lembek karena kebanyakan air, atau keras jika kekurangan air.
Pun pengapian, bagaimana cara mengatur susunan kayu bakar agar tak membuat nasi cepat kehabisan air padahal belum matang benar. Mula-mula susun kayu dengan api besar, dan begitu telah berhenti mendidih, kecilkan apinya agar bara api kayu bakar tak membuat nasi gosong.
Saya sendiri biasa menanak nasi dengan cara diliwet di kompor gas, kadang hawu jika gas habis dan tak ada uang pembelinya atau stok gas di warung-warung kampung pada kosong.
Karena itulah tradisi masak nasi secara diliwet di kampung tidak punah meski sudah ada magic com atau rice cooker sebagai alat penanak nasi modern. Dan liliwetan kerap jadi acara menyenangkan untuk kumpul bersama siapa saja yang ingin melakukan kebersamaan dengan cara makan-makan secara patungan bahan atau mentahannya (uang).
Para tetangga dekat rumah saya di RT 07 ini sudah menjadikan liliwetan sebagai semacam tradisi kebersamaan untuk mengeratkan persaudaraan. Dan khusus sehari sebelum saum, para tetangga akan berkumpul di tanah kosong yang cukup lapang untuk memasak bahan, lantas ramai-ramai menyantapnya jika semua sudah siap saji.
Liliwetan diadakan sebagai semacam cara untuk menghibur dan menyemangati anak-anak bahwa besok adalah hari yang istimewa. Sekarang semua bebas makan dan minum karena besok merupakan hari besar untuk segala macam pantangan: makan, minum, perbuatan tak menyenangkan, atau amarah yang diumbar.
Diharapkan anak-anak bersemangat jika besok memulai hari dengan ibadah saum Ramadan, karena itu kerap pula para ibu tetangga ramai-ramai melakukan semacam kebersamaan dengan cara sederhana dan biasa yang mereka bisa: masak besar secara gotong royong. lalu makan beramai-ramai.
Masak besar itu adalah semua nasi dan lauknya ditaruh di alas daun pisang bersih yang dihamparkan. Lantas ramai-ramai makan dengan perasaan riang gembira sekaligus lahap karena dilakukan secara bersama. Nilai afeksi dan interaksi sosial diharapkan tetap terjaga baik, bahwa kepedulian antartetangga tidak luntur digerus zaman yang kian individualis dan mengedepankan egoisme diri karena kontaminasi teknologi.


Menu lauk tak perlulah mahal apalagi mewah, bahkan cenderung seadanya dan sederhana. Yang penting nikmat disantap. Selain nasi, biasanya terdiri dari tumis kangkung, ikan asin peda goreng, tahu dan tempe goreng, potongan jengkol goreng, kerupuk, lalap dan sambalnya. Itu tahun kemarin. Dan tadi cuma bala-bala dan gehu goreng dari warung Bi Ai, tumis kangkung, tempe dan ikan asin goreng, kerupuk, petai, lalap dan sambal. Itu saja.
Kala acara itu diadakan, saya tak ikut dulu karena sibuk di depan komputer. Cuma Palung yang ikut dan patungan uang 6 ribu saja karena adanya di dompet cuma sisa 8.000 rupiah dipotong jajan. Tadi pagi suami tak memberi uang belanja. Uang di dompet adalah sisa kemarin. Saya bahkan tak bisa belanja ke warung, menunggu suami pulang kerja nanti sore.
Dan ketika mati lampu sehingga komputer dimatikan karena tiada daya untuk tetap tersambung dengan charger ke stop kontak, saya malah ketiduran, masih ada sisa lelah dan kantuk dari begadang semalaman sampai dini hari. Tak meliput acara masak dan makan liliwetan-nya. Semuanya terlewat. 


Sampai ketika listrik kembali menyala kala saya sudah dari tadi terjaga, Palung datang dengan sepiring seng isi nasi hangat berikut lauk tempe goreng, bala-bala dari warung Bi Ai, plus sedikit sambal terasi yang ditumis.
Rupanya itu hidangan liliwetan untuk saya. Palung sudah makan banyak di sana dari sejak tadi kala saya ketiduran. Palung bilang kenyang kala saya mengajaknya makan. Isi piring seng pun dipindahkan ke piring beling. Piring sengnya kepunyaan tetangga yang masak liliwetan. Saya minta Palung segera mengembalikan. Duh, tak dicuci dulu karena ia ingin segera kembali main di tempat kumpul semula bersama teman-temannya.
Ketika saya makan nasi dengan lauk sederhana karena lapar dan sudah jam makan siang, saya besyukukur ada rezeki tak terduga sehingga tak perlu masak lagi siang ini. Cukup nantilah kalau suami pulang bawa uang,
Saya cuma sempat jepret piring berisi nasi liliwetan-nya. Inilah hasil akhir dari acara demikian yang sudah usai gegara kelalaian saya. Namun semoga Allah masih memberi usia untuk kelak bisa meliput acara demikian dan nimbrung masak bareng para ibu tetangga. Tidak ketiduran karena badan remuk redam bekas begadang menulis semalaman.
Akhir kata, karena besok saatnya kita menunaikan ibadah saum ramadan, saya ucapkan mohon maaf lahir batin jikalau ada kata salah yang terucap dalam tulisan bahkan di kolom komentar siapa saja. Semoga selama sebulan penuh ini kita tidak termasuk orang yang merugi dalam beribadah saum Ramadan.
Wassalam,
Rohyati Sofjan
Cipeujeuh, 16 Mei 2018

#Liliwetan #MakanBersama #Kuliner #TradisiKampung #Sunda #Ramadan
 
~Foto di bagian atas merupakan kiriman sahabat dari Batusangkar yang mendesain dari Canva untuk saya. Berasa spesial saja~
~Foto lainnya jepretan kamera ponsel ANDROMAX PRIME~

1 komentar:

  1. Mbaaa... ini tulisan dari blog lama ya? masha Allah, saya bacanya pas di bulan Ramadhan :D

    betewe masak-masaknya bikin saya teringat masa kecil, saya masih ingat waktu kami baru pindah dari Manado ke Buton, kami masaknya pakai kayu bakar gitu.

    Ingat banget, bapak saya ngajarin kakak masak nasi karena mama harus sekolah lagi, trus apinya harus dijaga biar merata.

    Setelah matang pun bara apinya kudu di sebar biar hangatnya masih bisa membuat nasi matang sempurna.

    Emang makanan terasa lebih enak ya kalau masak kayak gitu.

    Saking terbiasa masak gitu, sampai sekarang, mama saya punya dapur spesial buat masak pakai kayu bakar gitu.

    Meskipun sekarang hanya dipakai buat bakar ikan atau masak air minum.

    Mama saya ga suka masak di kompor, aneh rasanya katanya hahaha

    Tapi ya gitu, asapnya bikin dapur menghitam hahahaah

    BalasHapus

Terima kasih sudah singgah, silakan tinggalkan jejak komentar sebagai tanda persahabatan agar saya bisa lakukan kunjungan balik. Komentar sebaiknya relevan dengan isi tulisan. Nama komentator tidak langsung mengarah ke URL pos blog agar tidak menambah beban jumlah link pemilik blog ini. Jangan sertakan link hidup dan mati, apalagi iklan karena termasuk spam.Terima kasih banyak. Salam. @rohyatisofjan

Disabilitas Mengelola Komunitas

Arti disabilitas adalah keterbatasan aktivitas dan partisipasi akibat  ketidakmampuan mental atau fisik. Hal itu bisa menjadi stigma dalam m...