KETIKA nomor dan nama saya
mendadak masuk ke dalam group WA Limbangan
Ngadaun Ngora (LNN), saya heran namun menerimanya. Rupanya Bu Ani Suhartini
(Deudeuh Art) yang sudah saya kenal dari remaja (karena sedesa meski beda
kampung) telah memasukkan saya ke dalam group itu.
Saya
tidak tahu apa arti Limbangan Ngadaun
Ngora dan tentang apa, namun yang dibahas terasa berat bagi saya yang cuma
ikut satu group saja, Alumni SMU Al Fatah, Balubur Limbangan, Garut. Butuh
waktu untuk memahaminya karena saya sempat kesal ada pembahasan soal politik
dan membersihkan semua isi chat.
Dan
karena ada nama Pak Usep Romli H.M. yang sudah bertahun saya kenal sebagai
sastrawan dan budayawan Sunda sebagai adminnya, maka saya coba bertahan untuk
memahami LNN. Menyimak setiap diskusi. Dan syukurnya postingan soal politik
sudah dihilangkan admin jadi saya bisa menikmati diskusinya.
Saya dan Bu Ani mengapit Bu Enok (Elok Salon), foto hasil jepretan Bu Enok Sempil
Pada
dasarnya saya tertarik pada sejarah dari kecil dan beroleh kenikmatan bergabung
di LNN, ternyata sebagai orang Limbangan saya tak tahu banyak mengenai
sejarahnya. Tak banyak literatur mengenai Limbangan yang saya tahu, dan di LNN
semua dipaparkan secara mendetail atau sepenggal-penggal dalam bentuk dialog atau
postingan di group.
Sejarah
Limbangan ternyata sangat panjang dan kalaupun jarang disebut dalam literatur,
ada sebabnya. Kekuasaan dan politik yang menyebabkan demikian, itu bermula dari
perlawanan bupati dan tokoh masyarakat beserta rakyatnya untuk menentang tanam
paksa kopi yang dilakukan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
Aksi
heroisme mereka diberangus VOC dengan cara licik, sehingga ibukota pemerintahan
dipindahkan ke bagian Garut Selatan. Ya, pada mulanya Limbangan adalah ibukota
pemerintahan untuk seluruh wilayah Garut (Utara dan Selatan).
Diskusi serius
Makanya, saya pernah bingung karena seakan berada dalam suasana déjà vu, ada
banyak jejak sejarah di sekitar yang sudah saya endus kala kecil. Tempat ini
seakan strategis bagi sesuatu yang entah apa namanya. Saya merasakan namun tak
bisa mendefinisikan.
Ya,
berabad-abad silam, Limbangan hidup dengan segala dinamikanya. Dari zaman
pemerintahan kerajaan demi kerajaan yang barangkali masih menganut animisme
lalu Hindu dan Islam. Sayangnya ada banyak jejak yang hilang. Sang bangsa
penjajah lewat tangan VOC telah meniadakan jejak sejarah. Bangunan peradaban
pun dimusnahkan. Sehingga tak ada jejak di manakah istana berada, bahkan
pendopo kabupaten.
Tidak
heran, bahkan dalam buku pelajaran sejarah di sekolah yang pernah saya baca,
tak ada kontribusi penguasa dan rakyat Limbangan dalam melawan penjajahan.
Jejaknya seakan telah dihapus karena bisa jadi perlawanan tersebut sangat
heroik dan merugikan VOC. Sebuah contoh nyata dari perlawanan pada pihak asing
yang menjajah kedaulatan suatu bangsa dan negara.
Sebagai
orang Limbangan sekarang, meski saya kelahiran Bandung dengan aneka darah suku
yang mengalir (Sunda-Jawa-Bali-dan mungkin sedikit Bugis), saya seakan telah
kehilangan jejak sejarah, ada akar yang hilang dari Limbangan. Atau benang
merah yang menautkan setiap sejarah dengan kebenaran.
Dan
di LNN ada banyak insan yang memahami soal itu, mereka punya misi dan visi ke
depan. Melanjutkan kembali perjuangan dalam membentuk DOB (daerah otonomi baru)
yang sudah dideklarasikan di lapangan Sunan Cipancar 7 tahun silam.
Mengapa membentuk DOB sangat penting?
Mari
kita melihat artinya dalam versi Wikipedia: Daerah otonom diartikan
sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, yang
berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Bu Cucu Rodiah anggota DPRD pun hadir, beliau adalah istri dari guru SMU saya
Jadi,
daerah otonomi baru (DOB) berupa pembentukan daerah otonomi yang dikehendaki
sebagian besar masyarakat yang berada atau berasal dari daerah tersebut untuk
kepentingan pemekaran wilayah dan tata administrasi ruang.
Alasan
utamanya berupa aspirasi masyarakat demi pemerataan dalam segala bidang yang
menyangkut hajat hidup orang banyak dan kemakmuran.
Para ibu pun antusias menyimak diskusi
Ternyata
tidak mudah mewujudkan DOB meski para tokoh masyarakat yang mewakili Garut
Utara sudah mengajukan usulan tersebut sejak 7 tahun silam. Ada birokrasi yang
mengadang, selain pihak-pihak yang menentang.
Karena
itulah, dalam acara pertemuan PM GATRA (Paguyuban Masyarakat Garut Utara), 12
Juni lalu, para tokoh masyarakat dari berbagai kalangan mendukung kelanjutan
perjuangan tersebut.
Itu
pertemuan pertama saya dalam kegiatan sosial politik. Saya tak hendak bahas
bagaimana acaranya karena terasa berat. Adapun dari pertemuan tersebut para
tokoh telah menyampaikan aspirasinya pada puluhan orang hadirin. Tentang
mengapa DOB penting diagendakan bagi Balubur Limbangan, juga pemilihan ketua
umum dan pengurusnya.
Nasi kotak yang isinya spesial
Acara
dimulai jam 4 sore, dan diskusi terbuka usai kala azan magrib berkumandang.
Saatnya bukber (buka bersama). Nasi
kotak pun dibagikan Bu Enok dan Bu Ani pada para undangan.
Bale-bale
terbuka di luar pendopo menjadi tempat makan yang akrab dan hangat bagi
semuanya. Saya dan Palung menikmati sepiring soto hangat mengepul sebagai
pembuka. Jujur, ini pertama kalinya bagi kami untuk ikut acara bukber, gratis lagi, entah siapa
donaturnya. Yang penting barangkali kontribusi para undangan karena mereka
punya tujuan sama demi membangun Balubur Limbangan.
Para bapak pun makan bersama
Saya
tidak tahu kontribusi apa yang akan diberikan, hanya bisa menulis. Berharap
sedikit demi sedikit bisa menyingkap sejarah Balubur Limbangan.
Di
Wikipedia saja ternyata hanya beberapa paragraf mengenai sejarah Balubur
Limbangan. Seakan ada banyak kabut misteri yang melingkupinya sehingga data
tertulis mengenai itu tidak banyak. Hanya berupa cuplikan-cuplikan dan tak
lengkap.
Soto yang menghangatkan badan sebagai menu pembuka
Makanya
saya iri pada Majapahit karena banyak penulis yang menjadikannya sebagai latar
bagi tulisan fiksi sejarah dalam balutan isi cerita dan bahasa menawan. Seperti
yang dilakukan Langit Kriesna Hariadi.
Sedang
Balubur Limbangan?
Entah,
ya. Jejaknya seakan sulit ditelusuri maka tak banyak literatur mengenai itu. Atau
bisa jadi literaturnya ada dan banyak namun tidak dipublikasikan ke masyarakat
umum. Tidak heran saya merasa sangat awam mengenai Limbangan.
Bahkan
beberapa jejak sejarah yang terang-terangan ada di depan mata saya seperti
makam Sunan Cipancar, pun sebelumnya saya tak tahu siapa beliau. Saya seakan
lebih karib dengan jejak sejarah para sunan penyebar agama Islam yang walisanga
daripada wali di lembur sendiri.
Dan
Limbangan Ngadaun Ngora membukakan
mata saya.
Selesai di Cipeujeuh, 25
Juni 2018 gegara capek kukurilingan
usai lebaran dan mudik ke Bandung sebentar
#Bukber #LimbanganNgadaunNgora #DOB
#BaluburLimbangan #PMGatra #GarutUtara #Sejarah #SunanCipancar
~Foto-foto dokumentasi
pribadi dan jepretan anggota PM GATRA~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah singgah, silakan tinggalkan jejak komentar sebagai tanda persahabatan agar saya bisa lakukan kunjungan balik. Komentar sebaiknya relevan dengan isi tulisan. Nama komentator tidak langsung mengarah ke URL pos blog agar tidak menambah beban jumlah link pemilik blog ini. Jangan sertakan link hidup dan mati, apalagi iklan karena termasuk spam.Terima kasih banyak. Salam. @rohyatisofjan