BIASANYA
saya senang memberi semacam pengantar bagi puisi. Semacam penyemangat bahwa
setiap puisi yang saya tulis ada sejarah di balik penciptaannya. Semisal latar.
Ya,
kali ini saya ingin bahas mengenai latar, tempat ilham menjelma puisi. Alam di
sekitar saya adalah latar paling menakjubkan. Sebuah kehidupan bermula; bagi
hewan, manusia, dan tumbuhan. Ketiganya bersatu-padu, mencipta harmoni yang
serasi.
Jadi,
jangan heran, di kampung yang sederhana ini, panorama alam bisa menjadi latar
yang menggugah kesadaran untuk berpuisi. Bagi siapa pun yang ingin merasakan
semacam kesadaran untuk meresapi: bahwa diri senantiasa kecil di bentang
penciptaan Allah Yang Maharahman.
Saya
menulis sungai sebagai tema utama bagi puisi. Bagi saya sungai adalah titik
nadi kehidupan para penghuninya. Sungai bukan sekadar pelengkap alam melainkan
bagian utama dari alam. Sungai bukan sekadar saluran bagi alir air dari gunung.
Sungai adalah urat nadi bagi kehidupan yang dilintasinya. Dan sungai bukan sekadar
benda mati.
Ia
punya misi sebagai pembawa visi. Hanya manusia beballah yang tak paham arti
sungai, dengan ikut mencemari.
Saya
punya banyak kenangan dengan sungai. Ketika kanak hanya melihat sungai sebagai
sungai. Dan kala jelang remaja menikmati masa-masa seru bersama teman-teman
sepermainan di kampung untuk cebur-cebur riang gembira berkat sungai. Kemudian
kala remaja, sungai adalah tempat piknik yang asyik meski sederhana.
Ya,
saya anak kota yang bahagia jika berada di kampung kala mudik lalu menetap semi
permanen karena rumah ada dua: desa dan kota. Sampai kemudian menetap secara
permanen kala remaja karena rumah yang di Bandung dijual ibu saya.
Lalu
saat dewasa kini, saya hanya memiliki sungai sebagai bagian nostalgia yang tak
akan lekang meski manusia telah mengubah alam. Sungai adalah alur kenangan yang
melintas bersama kebahagiaan dan kesedihan.
Jarak
sungai dari rumah saya hanya beberapa puluh meter. Tipografi alam telah
terbentuk secara ideal. Setelah dataran, lalu lembah, kemudian bagian tebing
pemisah yang berundak-undak menuju sungai. Dan bukan manusia yang menyusunnya
melainkan hasil bentukan alam berkat campur tangan Sang Pencipta.
Sekarang
sungai telah berubah, puluhan tahun telah lewat dari masa kanak. Apakah wajah
sungai menjelma asing?
Airnya
masih kecokelatan, untuk masa sekarang, entah puluhan tahun ke depan.
Dan
jika kemarau, alangkah bedanya dengan masa puluhan tahun lampau, debit air alir
sungai mengecil.
Hidup
tidak sama. Alam telah berubah karena peran manusia juga.
Maaf,
saya memotret bagian bawah sungai dari atas tebing saat minggu kemarin turun ke
bawah untuk mengambil air dari cinyusu (mata air) karena air keran desa tak
ngocor berhari-hari. Jadi tidak menggambarkan bagaimana wajah utama sungai
secara keseluruhan. Hanya sebagian kala hujan enggan datang.
Dan
kemarin hujan. Seperti apakah wajah sungai?
Salam
puisi.
#Cipeujeuh, 25 Mei 2018
50 Meter di Bawah Rumah
Alir
sungai mengalir deras pada setiap musim penghujan,
anakku
mendengar gemuruhnya seolah rutinitas irama alam,
sedang
padaku tak sampai.
Gemuruh
itu hanya datang ketika langit menumpahkan
muatan
kubik rindu pada bumi setelah semusim bertahan
dalam
kering terik matahari;
membuat
tanah rengkah dan tanaman ranggas.
Di
sungai itu, kenangan masa kanakku hilang-timbul,
menolak
dihanyutkan arus waktu, sebab sungai pernah
karib
bagi anak-anak kampung yang pada akhirnya raib
ditelan
gulir nasib.
Serakan
batu cadas kecil-besar, adalah tempat kami
pernah
melangkah, lantas tertawa, ribut menceburkan diri
pada
kuyup sungai yang membelah lembah. Tak peduli
badan
akan gatal sehabis berenang, karena riang adalah
harga
tak ternilai.
Dan
sekarang, sungai masih mengalirkan air
dari
hulu gunung menuju hilir laut yang menyambut.
Berabad-abad
telah lewat, penghuni kampung lahir
lalu
mati sesuai garis takdir, sungai masih riang mengalir,
sekaligus
melarutkan kecemasan karena cemar
limbah
pabrik olahan tapioka di kampung tetangga
berikut
zat-zat kimia lainnya telah mengubah warna dan rasa.
Setiap
hujan, sungai hanya mengirim debar pada dadaku
dengan
gelegak arusnya, sederas basahan hujan yang ditampung.
Sungai
adalah batas paling bawah lembah, sebagai penghubung
sekaligus
pemisah antara lembah dari setiap wilayah kampung.
50
meter di bawah rumah, ada monumen kenangan
meliuk
panjang seperti naga barongsai.
Cipeujeuh, 26 Februari 2018
#Puisi #Sungai #Pegunungan #Kampung
#AlamAsri #Kenangan
~Foto hasil jepretan kamera ponsel
ANDROMAX PRIME~
~Tambahan foto kala hari Rabu kemarin
(27 Juni 2018) melewati sungai bareng anak dan suam
Mbaaaa, asyik banget pemandangannya.
BalasHapusDan saya jadi ikutan membayangkan betapa masa kecil mba Rohyati begitu menyenangkan, bebas mandi di sungai, bersenda gurau ama teman-teman.
Saya mah boro-boro.
Keluar pagar aja enggak boleh huuhuhu.
Rumah ortu saya juga dekat sungai, tapi jaraaaanggg banget kami bisa sekadar dekati sungainya, bapak saya bakalan marah besar kalau kami berani keluar pagar untuk dekat sungai hahaha
Tapi emang ya, alam Jabar itu indah banget, sejuk bahkan cenderung dingin.
Beda ama di Sulawesi, panas banget :)
Baca ini saya kok kangen pengen jalan-jalan ke luar kota lagi ya, pengen ketemu alam, beberapa minggu lalu kami sempat melihat alam yang sejuk kayak gini, meski juga gak sesejuk alam di Jabar :)