Jumat, 02 November 2018

50 Meter di Bawah Rumah


BIASANYA saya senang memberi semacam pengantar bagi puisi. Semacam penyemangat bahwa setiap puisi yang saya tulis ada sejarah di balik penciptaannya. Semisal latar.

Ya, kali ini saya ingin bahas mengenai latar, tempat ilham menjelma puisi. Alam di sekitar saya adalah latar paling menakjubkan. Sebuah kehidupan bermula; bagi hewan, manusia, dan tumbuhan. Ketiganya bersatu-padu, mencipta harmoni yang serasi.


Jadi, jangan heran, di kampung yang sederhana ini, panorama alam bisa menjadi latar yang menggugah kesadaran untuk berpuisi. Bagi siapa pun yang ingin merasakan semacam kesadaran untuk meresapi: bahwa diri senantiasa kecil di bentang penciptaan Allah Yang Maharahman.


Saya menulis sungai sebagai tema utama bagi puisi. Bagi saya sungai adalah titik nadi kehidupan para penghuninya. Sungai bukan sekadar pelengkap alam melainkan bagian utama dari alam. Sungai bukan sekadar saluran bagi alir air dari gunung. Sungai adalah urat nadi bagi kehidupan yang dilintasinya. Dan sungai bukan sekadar benda mati.

Ia punya misi sebagai pembawa visi. Hanya manusia beballah yang tak paham arti sungai, dengan ikut mencemari.


Saya punya banyak kenangan dengan sungai. Ketika kanak hanya melihat sungai sebagai sungai. Dan kala jelang remaja menikmati masa-masa seru bersama teman-teman sepermainan di kampung untuk cebur-cebur riang gembira berkat sungai. Kemudian kala remaja, sungai adalah tempat piknik yang asyik meski sederhana.

Ya, saya anak kota yang bahagia jika berada di kampung kala mudik lalu menetap semi permanen karena rumah ada dua: desa dan kota. Sampai kemudian menetap secara permanen kala remaja karena rumah yang di Bandung dijual ibu saya.

Lalu saat dewasa kini, saya hanya memiliki sungai sebagai bagian nostalgia yang tak akan lekang meski manusia telah mengubah alam. Sungai adalah alur kenangan yang melintas bersama kebahagiaan dan kesedihan.

Jarak sungai dari rumah saya hanya beberapa puluh meter. Tipografi alam telah terbentuk secara ideal. Setelah dataran, lalu lembah, kemudian bagian tebing pemisah yang berundak-undak menuju sungai. Dan bukan manusia yang menyusunnya melainkan hasil bentukan alam berkat campur tangan Sang Pencipta.


Sekarang sungai telah berubah, puluhan tahun telah lewat dari masa kanak. Apakah wajah sungai menjelma asing?

Airnya masih kecokelatan, untuk masa sekarang, entah puluhan tahun ke depan.

Dan jika kemarau, alangkah bedanya dengan masa puluhan tahun lampau, debit air alir sungai mengecil.

Hidup tidak sama. Alam telah berubah karena peran manusia juga.

Maaf, saya memotret bagian bawah sungai dari atas tebing saat minggu kemarin turun ke bawah untuk mengambil air dari cinyusu (mata air) karena air keran desa tak ngocor berhari-hari. Jadi tidak menggambarkan bagaimana wajah utama sungai secara keseluruhan. Hanya sebagian kala hujan enggan datang.

Dan kemarin hujan. Seperti apakah wajah sungai?

Salam puisi.
#Cipeujeuh, 25 Mei 2018


50 Meter di Bawah Rumah


Alir sungai mengalir deras pada setiap musim penghujan,
anakku mendengar gemuruhnya seolah rutinitas irama alam,
sedang padaku tak sampai.

Gemuruh itu hanya datang ketika langit menumpahkan
muatan kubik rindu pada bumi setelah semusim bertahan
dalam kering terik matahari;
membuat tanah rengkah dan tanaman ranggas.

Di sungai itu, kenangan masa kanakku hilang-timbul,
menolak dihanyutkan arus waktu, sebab sungai pernah
karib bagi anak-anak kampung yang pada akhirnya raib
ditelan gulir nasib.

Serakan batu cadas kecil-besar, adalah tempat kami
pernah melangkah, lantas tertawa, ribut menceburkan diri
pada kuyup sungai yang membelah lembah. Tak peduli
badan akan gatal sehabis berenang, karena riang adalah
harga tak ternilai.

Dan sekarang, sungai masih mengalirkan air
dari hulu gunung menuju hilir laut yang menyambut.

Berabad-abad telah lewat, penghuni kampung lahir
lalu mati sesuai garis takdir, sungai masih riang mengalir,
sekaligus melarutkan kecemasan karena cemar
limbah pabrik olahan tapioka di kampung tetangga
berikut zat-zat kimia lainnya telah mengubah warna dan rasa.

Setiap hujan, sungai hanya mengirim debar pada dadaku
dengan gelegak arusnya, sederas basahan hujan yang ditampung.
Sungai adalah batas paling bawah lembah, sebagai penghubung
sekaligus pemisah antara lembah dari setiap wilayah kampung.

50 meter di bawah rumah, ada monumen kenangan
meliuk panjang seperti naga barongsai.
Cipeujeuh, 26 Februari 2018

#Puisi #Sungai #Pegunungan #Kampung #AlamAsri #Kenangan
~Foto hasil jepretan kamera ponsel ANDROMAX PRIME~
~Tambahan foto kala hari Rabu kemarin (27 Juni 2018) melewati sungai bareng anak dan suam























1 komentar:

  1. Mbaaaa, asyik banget pemandangannya.
    Dan saya jadi ikutan membayangkan betapa masa kecil mba Rohyati begitu menyenangkan, bebas mandi di sungai, bersenda gurau ama teman-teman.

    Saya mah boro-boro.
    Keluar pagar aja enggak boleh huuhuhu.

    Rumah ortu saya juga dekat sungai, tapi jaraaaanggg banget kami bisa sekadar dekati sungainya, bapak saya bakalan marah besar kalau kami berani keluar pagar untuk dekat sungai hahaha

    Tapi emang ya, alam Jabar itu indah banget, sejuk bahkan cenderung dingin.

    Beda ama di Sulawesi, panas banget :)

    Baca ini saya kok kangen pengen jalan-jalan ke luar kota lagi ya, pengen ketemu alam, beberapa minggu lalu kami sempat melihat alam yang sejuk kayak gini, meski juga gak sesejuk alam di Jabar :)

    BalasHapus

Terima kasih sudah singgah, silakan tinggalkan jejak komentar sebagai tanda persahabatan agar saya bisa lakukan kunjungan balik. Komentar sebaiknya relevan dengan isi tulisan. Nama komentator tidak langsung mengarah ke URL pos blog agar tidak menambah beban jumlah link pemilik blog ini. Jangan sertakan link hidup dan mati, apalagi iklan karena termasuk spam.Terima kasih banyak. Salam. @rohyatisofjan

Disabilitas Mengelola Komunitas

Arti disabilitas adalah keterbatasan aktivitas dan partisipasi akibat  ketidakmampuan mental atau fisik. Hal itu bisa menjadi stigma dalam m...