17
SEPTEMBER 1996
DI sebuah ruang tamu
terdengar gema suara bahagia, ada yang menyanyikan lagu selamat ulang tahun.
S’lamat ulang tahun
S’lamat ulang tahun
S’lamat ulang tahun, So Yoon
S’lamat ulang tahun
Saat
aku beranjak usia sembilan tahun, aku belajar hal baru. Dari televisi aku
menonton adegan sebuah keluarga beranggotakan empat orang yang merayakan ulang
tahun putrinya, dan sang ibu bilang pada putrinya yang hendak meniup lilin. “Kau harus buat permohonan dulu.”
“Oh, iya.” So Yoon terlihat
senang sekali diingatkan. Ia langsung memejamkan matanya sambil merapatkan
kedua tangan di atas dadanya. Ia
menangis bahagia. Adik lelakinya tak mengganggu.
“Sebelum meniup lilin kau
harus buat permohonan.” Aku yang sedang duduk menghadap meja
menonton adegan tersebut dengan terkesima, turut mengulang ucapan tersebut
dalam hati.
Lalu
adegan berubah pada pesta kecil perayaan ulang tahunku di keluarga kami. Hanya
berempat. Aku, ayah, ibu, dan adik lelakiku. Ibu dan adikku bernyanyi riang
sambil bertepuk tangan, “S’lamat ulang tahun Ji Ho….” sedang ayahku hanya diam
menyaksikan. Dari luar ia memang terlihat pendiam namun dalamnya mudah
meledak-ledak jika marah.
Dan
aku kesal sekali begitu lagu itu usai dinyanyikan, adikku langsung meniup
lilinnya, tidak memberiku kesempatan untuk meniup lilin sendiri apalagi membuat
permohonan.
“Mari
makan!” seru ayahku kaku. Dengan aksennya yang berat seakan aba-aba tentara
sedang membentak. Dan aku hanya bisa terpana, memandang asap dari lilin yang
barusan ditiup habis adikku. Sembilan lilin dalam beberapa kali tiupan.
Ya,
begitulah. Di rumah kami yang mengutamakan laki-laki, keinginanku yang barusan
kupelajari dari adegan acara televisi tak mungkin terjadi.
17 September 2001
Kami
merayakan lagi acara ulang tahunku. Dan lagi-lagi perulangan adegan khas dalam
keluarga kami terjadi. Adikku yang meniup habis semua lilinnya. Ayahku berseru
mari makan dengan aksennya lagi, lalu mengambil sendok dan menancapkannya pada
kue tar ulang tahunku. Langsung melahapnya dalam satu suapan besar. Kue tar
rasa keju yang enak itu bagi ayahku tak lebih dari penutup lagu selamat ulang
tahun. Kau tahu, seperti klimaks dari suatu acara. Dan aku tak berdaya, karena
dalam keluarga kami yang lebih mengutamakan anak laki-laki, tak mungkin seorang
anak perempuan berkesempatan membuat permohonan.
Begitu
terus selanjutnya dalam setiap tahun-tahun perayaan ulang tahunku. Adikku akan
meniup habis semua lilin, ayahku akan berseru mari makan lalu menancapkan
sendok ke permukaan kue tar rasa keju kesukaanku sampai menembus ke bawah,
melahapnya dalam suapan besar.
Lalu
semuanya berubah kala aku merayakan ulang tahunku yang ke dua puluh, pada tahun
2007. Aku merayakannya dengan dua orang sahabat perempuanku di restoran, Woo
Soo Ji dan Yang Ho Rang. Dan akhirnya bisa membuat permohonan sebelum meniup
lilinnya. Tak ada lagi adik pengganggu dan ayah yang kaku.
Akhirnya
aku bisa membuat permohonan pertamaku. Setiap tahun permohonanku sama. KABULKAN
AKU MENJADI PENULIS YANG HEBAT!
Dan
10 tahun berselang, aku sungguh jadi penulis. Aku asisten penulis sebuah
melodrama. Aku sudah jadi asisten selama lima tahun. Pengalaman menulis
sub-bagianku cukup banyak, tapi dalam adegan yang kubuat aku harus menyertakan
produk sponsor yang dipakai para pemain. Semisal gingseng merah yang diminum
aktor utama, lipstik warna beludru merah yang tiga kali dipakai aktris utama
senilai 30 juta won, sampai otoped canggih.
Begitulah,
bagian terpenting dari pekerjaanku adalah menggalang dana. Maka aku harus
menulis adegan sambil menyertakan produk sponsor. Aku menerima daftar produk
tersebut dan menyusunnya dalam skrip, aku akan mencoreti produk sponsor yang
telah selesai kumasukkan dalam skrip sampai beres.
Dan
di dalam kamarku, akhirnya selesai juga pekerjaanku. Kulemparkan spidol warna
dan lembaran kertas daftar produk ke atas. “Akhirnya, aku bebas!” Aku akan
mengemas koperku dan pulang ke rumah untuk berlibur.
Ketika
hendak pamit pada penulis utama, di luar ruang kerjanya aku mendengar beliau
sedang uring-uringan, bicara entah dengan siapa lewat telefon genggam.
“Bukan
salahku begitu banyak iklan sponsor di drama. kalau saja kau sudah pakai iklan
itu di episode lain…, aku tidak perlu pakai banyak iklan dalam satu episode
sekaligus.
Apa?
Tak tahulah, berhenti menelefonku.” Ia gusar lalu mengakhiri percakapan. “Aku
sudah sibuk sekali!” Omelnya. Lantas duduk di meja kerjanya kembali menghadap
laptop. Mengoceh sendiri. “Setelah berciuman, dia harusnya menamparnya. Atau
haruskah dia menamparnya dulu lalu ciuman? Tak tahulah….” Bingungnya.
Di
ambang pintu, aku ragu sejenak sampai akhirnya berani menyapa ahjumma pertengahan 40-an, seorang penulis senior yang menjadi bosku. “Bu Penulis.”
“Ya?”
Ia sama sekali tak menoleh ke arahku di belakang punggungnya. Serius menekuri
laptopnya.
Jadi
aku memberanikan diri untuk masuk ruang kerjanya dan menghampiri. “Draf
akhirnya sudah kuunggah.”
“Ya.”
“Gingseng
merah, kosmetik, dan iklan lainnya sudah kumasukkan.”
“Baiklah.
Aku harus hapus ini.” Bos seakan tidak menanggapi ucapanku dengan baik.
Pikirannya seakan berada di dimensi lain. Khusuk dengan laptopnya.
“Bu
Penulis, aku pamit dulu, ya.”
“Ya,
ke mana?”
Aku
hanya diam. Sampai ia menengok ke belakang. Memandangku. “Omo, kau mau pulang?”
“Ya.”
“Baik.
Terima kasih atas kerja kerasmu.”
Aku
hanya mengangguk sambil sedikit merundukkan kepala.
“Apa
ini sudah sebulan?” Mulai, deh,
pikunnya kumat.
“Tidak,
tiga bulan.”
“Sudah
selama itu?” Wah, ia malah heran.
Memori waktunya mungkin rada galat alias error.
Aku
hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Baiklah.
Kau tinggal di Gangdong-gu, bukan?”
“Gangseo-gu
yang benar.” Ralatku.
“Gangseo-gu?”
Ia tampak malu dan terkejut. Jadi aku hanya mengangguk lagi sambil tersenyum
ramah.
“Oh,
iya, betul.” Ia mencoba sok akrab, “Kau tinggal dengan kakak perempuanmu?”
“Yang
benar tinggal sama adik laki-lakiku,” jawabku canggung. Ia terkejut lagi.
Sejenak kami berada dalam atmosfer canggung yang tak nyaman. Rasanya aku ingin
segera cepat kabur dari tempat. Namun Bu Penulis dengan konyol malah bertanya
lagi.
“Siapa
dia?” Ia mengambil sesuatu dari mejanya, lalu malah melanjutkan seakan
pertanyaannya tak lebih dari kalimat retoris. “Baiklah, kau boleh pergi.”
“Sampai
nanti di pesta kita.” Pamitku, lalu membungkuk dengan sopan sebagai tanda
menghargai etika pada seniormu atau yang lebih dihormati. Cara khas orang
Korea.
Menyenangkan
rasanya berada di luar, aku bisa merasakan sinar matahari pagi yang menyiramku
dengan hangat. Kurentangkan tangan kananku tepat di atas wajah, merasakan
berkas sinar berpendar. “Ada sinar matahari.” Aku hendak menyeberangi zebra cross bersama orang-orang. Tepat ketika
lampu merah menyala, telefon genggamku berdering.
“Ya,
ini Ji Ho.” Aku menerima telefon sambil menyeberang. “Ya, di mana lagi. Aku
lagi jalan pulang.” Yang menelefon adalah Woo Soo Ji, sahabatku dari sejak kami
sekelas di SMA Namhae, nun jauh di luar Kota Seoul. Sekarang kami tinggal di
Seoul juga, menempuh jalur profesi yang berbeda. Kami terlibat percakapan seru
khas gadis muda sampai jalan jauh menuju rumah yang kutempuh dengan kakiku tak
terasa melelahkan.
“Sudah
tiga bulan lamanya.” Aku menanggapi ucapannya. “Begitu aku sampai di rumah,
akan mandi air panas…, terus aku bakal selimutan di tempat tidur…, habis itu,
tidur seperti mayat.” Kuseret koper merah jinggaku sambil bercakap.
“Ji Seok itu lagi apa?”
sahabatku mengomel. “Jika dia merepotkanmu, setidaknya dia harus datang
menjemputmu.”
Aku
hanya tertawa, “Aigoo, kau banyak
sekali tanya. Aku malah bersyukur dia tidak membakar tempat itu.”
“Pokoknya, kalau sudah
sampai rumah langsung tidur. Jangan beres-beres dulu atau cuci pakaian. Terus,
jangan angkat telefon dari Ho Rang.”
“Kenapa?”
“Mereka bertengkar lagi.
Paling tidak, mereka dua jam bertengkarnya.”
“Baiklah.
Ya.” Aku hampir sampai rumah. Kuakhiri percakapan dan kuangkat koperku untuk
menaiki tangga menuju rumah, jenis apartemen berlantai tiga di lingkungan
menyenangkan dengan jalan lebar yang lengang.
Aku
membuka pintu. Rumah sepi. Entah di mana adikku. Rumah berantakan sekali. Musik
berdentam nyaring dari speaker
digital. Kutaruh koperku lalu menghampiri kamar adikku dan mengetuk pintu. “Aku
pulang.” Tak ada tanggapan. Jadi, otomatis aku membereskan ceceran barang yang
berantakan di ruang duduk. Meja kopi di depan sofa berantakan dengan bekas
makanan dan minuman. Adikku jorok sekali. Kumasukkan semua ke dalam kantung
plastik sampai kulihat ceceran baju di lantai. Aku memungutnya.
“Astaga.
Pakaian dalamnya…,” kutaruh semua di atas lemari dan melangkah ke depan pintu
kamar adikku. “Yoon Ji Seok, aku pulang.” Tak ada tanggapan. Aku hendak membuka
gagang pintu, namun ponselku berdering. Kulihat di layar, dari Ho Rang.
Aku
lupa pesan Soo Ji tadi. “Ya, ini Ji Ho.” Aku melangkah ke ruang cuci dan malah
terlibat obrolan panjang, lebih tepatnya mendengarkan keluh kesah Ho Rang
sambil mencuci.
“Jujur, tujuh tahun lalu…,
dia saja tak berani membuka omongan denganku. Dia saja dulu mirip beruang dan
aku mengubahnya jadi manusia.” Ho Rang meneruskan curhat panjang, saking panjangnya aku
menyimak sampai cucianku di mesin beres dan aku tengah menjemur semua di
balkon. Mengibaskan pakaian yang hendak kujemur sebelum ditaruh di tempat
penjemuran. Banyak sekali baju kotor yang harus dicuci sampai jemuran kecil ini
terasa sarat muatan.
Ho
Rang masih sarat masalah untuk di-curhat-kan
padaku. “Dan sekarang dia ingin tinggal
sama neneknya?”
Aku
hanya tertawa kecil, “Kau berlebihan sekali.”
“Kau barusan tertawa, Ji Ho?”
Ho
Rang malah sewot dan aku terpana. Tidak,
bukan karena rengekan Ho Rang melainkan benda warna hitam yang tengah kupegang.
“Tidak.”
Aku mengamati dan membolak-balik bra tersebut dengan heran. “Tidak.” Kali ini
aku tidak sedang menjawab Ho Rang melainkan merasa bahwa benda asing itu bukan
milikku.
Kudengar
suara lain di latar belakang ponsel Ho Rang, “Manajer Yang.” Aku spontan mundur.
“Ji Ho, sudah dulu, ya.
Nanti kita bicara lagi.”
“Ya.”
Kuambil ponsel untuk mengamati layar. Ho Rang, durasi panggilan 41:54. Wow!
“Bicara lagi nanti?” gumamku. Apa belum cukup juga Ho Rang menumpahkan curhat pada sahabat? Aku segera mencabut
earphone dari telingaku. Mengamati
bra hitam campur pink gelap yang kupegang. Apa aku punya bra warna ini?
Kutempelkan di dada, ini bukan ukuranku.
“Hei,
Yoon Ji Seok!” seruku dari balkon. Tak ada tanggapan. Aku berjalan ke kamarnya
sambil ngedumel, “Padahal aku sudah
pulang, tapi dia tidak mau menyambutku.” Aku melewati ruang tengah,
“Bisa-bisanya kau dengar musik padahal rumah berantakan seperti ini?” Aku
mencabut earphone lalu menaruhnya di
atas bufet, “’Kan sudah kuperingatkan kau cuci handuk dan pakaian dalammu.”
Tak
ada jawaban. Aku kesal. Segera kubuka pintunya. “Kau main game lagi, ya?”
Dan
aku terkejut melihat apa yang ada di dalam kamar adikku. Ada adegan tak
semestinya yang dilakukan adikku dengan seorang perempuan muda di ranjang. Ji Seok spontan menoleh mendengar pintu
dibuka. Sama terkejutnya denganku, ia segera turun dari atas tubuh pasangannya
yang juga memekik kaget sambil berupaya menarik selimut untuk menutup tubuh.
“Noona!”
“Aish, mataku,” aku menutup wajahku dan
segera berbalik menjauhi kamar adikku.
“Tidak,
tidak.”
Adikku
berseru dari kamarnya, “Tunggu dulu! Noona!”
Bagaimana
ini? Di dekatku speaker digital masih
berdentam. Aku kebingungan, jadi aku segera melangkah ke luar rumah dengan
tergesa-gesa, diikuti adikku beberapa
meter di belakang yang tak henti memanggil sambil mengenakan kausnya.
“Noona! Noona! Tunggu!”
“Jangan
ikuti aku!” Aku mempercepat lariku, “Jangan ikuti aku!”
“Tunggu!”
adikku malah mengejar.
“Jangan
kejar aku!”
“Tunggu
dulu.”
Aku
tak menghiraukan adikku, terus berlari membelok ke jalan lain.
“Noona! Tunggu!” adikku tak menyerah.
“Pergi
kau!” ulangku sambil terengah-engah kecapaian namun terus berlari seolah adikku
makhluk yang harus dihindari gegara peristiwa memalukan yang tak semestinya
kulihat tadi. Sampai aku jatuh tersandung kakiku sendiri kala lari. Aku
terjerembab dan adikku menghampiri.
“Noona, kau tak apa?” Adikku berjongkok
di dekatku dengan canggung sekaligus khawatir. “Ada yang luka? Kau keseleo?”
repetnya. Aku bangkit dengan kesal.
“Ji
Seok, aku tak apa.” Rasanya memalukan sekali, jadi aku ngeles, “Aku lagi ingin sendirian sekarang. Jadi, selesaikan saja
tadi urusanmu.” Kugerakkan lenganku ke belakang sebagai penunjuk arah.
Namun
adikku malah bilang, “Selesaikan apa?”
Uh,
aku harus jawab apa? Rikuh, tahu!
“Ayo, balik lagi ke rumah. Kau harus menyapa.”
Ha,
aku kaget, “Menyapa siapa? Wanita tadi yang bugil itu?” Tidak, tidak! Aku langsung
mengibas-ngibaskan lenganku sambil bangkit. Ngeri! “Tak usah,” aku coba
memikirkan alasan. “Aku sudah ada janji sama orang. Aku hampir lupa.” Yeah, aku tak yakin juga apa ini bohong
karena ada sobat-sobatku yang kurasa harus kutemui meski kami belum janjian.
Kumainkan
kedua bola mataku, suatu kebiasaan tanpa-sadar kala aku gugup harus main dalih.
“Ingatanku jelek sekali.” Adikku mengaduh, namun aku tak peduli, “Nanti aku
pulang telat…, jadi kau bisa suruh dia santai saja sebelum pergi.” Aku tak berani
menatap adikku, “Ya. Aku pergi, ya.” Aku hendak meninggalkan adikku, namun ia
menahan dengan lengannya seakan portal.
“Ayolah.
Dia tak pergi ke mana-mana. Dia tinggal di sini.”
“Kenapa?”
“Dia….
Dia istriku.” Adikku gugup.
Tentu
saja aku terkejut, “Sejak kapan?”
“Sudah
empat bulan. Kau sebentar lagi akan jadi bibi.”
Hah!
Aku tambah terperangah. Kurang ajar betul adikku ini!
“Kau
akan menjadi bibi. Dia hamil.”
Aku
kehilangan kata. Sepertinya tidak ada
orang yang menyadarinya…, tapi hari ini, hari ulang tahunku yang ke-30.
[Episode 1: Karena Ini Hari Ulang Tahunku yang ke-30]
PADA akhirnya,
aku harus berkumpul dengan keluargaku. Maksudku, kedua orangtuaku (yang baru
datang dari Namhae siang ini), adikku dan istrinya. Aku cemberut. Ibu tengah
menata makanan di atas meja kecil tempat kami duduk berkumpul sambil bersila.
Ia meletakkan piring berisi ikan di atas meja lalu ke dapur lagi.
Istri
adikku memindahkan piring ikan itu ke dekat ayahku, “Pasti ayah kelelahan
mengemudi.”
Aku
memicing heran. Ayah?
“Tidak
juga,” ayahku malah menggeser piring tersebut agar dekat menantunya, “Bukankah
kau lelah, Nak?”
“Nak?” Aku
memandang ayahku. Sampai ayah menoleh ke arahku dan tampak salah tingkah.
“Pasti
kau sudah tahu dari Ji Seok…, tapi ayah tak bisa memberi tahumu sebelumnya
karena kau sibuk bekerja.”
Adikku
mengerling ke arahku, cuma diam. Aku murung.
“Bagaimanapun,
karena kita semua keluarga…, antrelah pakai toilet dan dahulukan yang lebih
punya keperluan mendesak,” ayahku malah menasihati. Nasihat yang sepertinya lebih
ditujukan untukku, namun istri adikku mengangguk, seakan menyimak dengan sopan.
“Salinglah bersikap baik, dan hidup dengan baik, ya?”
“Tinggal
bersama?” tanyaku kaget.
“Tinggal
bersama.” Ayahku menegaskan.
“Kami
bertiga?” adikku tak terima.
“Kenapa?
Tak bisa?” Ayahku memandang kami bergantian.
“Tak
bisa lah.” Aku kesal.
“Tak
bisa.” Adikku tak mau kalah.
“Mereka
‘kan pengantin baru!” aku cemberut.
“Kami
pengantin baru!” adikku ngotot.
“Terus
bagaimana? Terus bagaimana?” Ayah malah membentakku sambil menggebrak meja, aku
terlonjak kaget. Cuma bisa diam, tak berani menjawab.
Begitulah,
kala makan malam bertiga dengan sahabatku, aku mengadukan masalah pelik
tersebut pada mereka.
Soo
Ji menggebrak gelas birnya ke meja, membuat suara gaduh. “Hei, tentu saja Ji
Seok yang harus pindah.” Omel gadis berambut lurus-panjang yang paling
jangkung, seksi, atletis, sekaligus galak. Rahangnya yang keras seakan
menandakan karakternya. “Yang bayar biaya hidup dan perawatan ‘kan kau.
Beraninya dia menyuruhmu pindah padahal dia itu pengangguran!”
Ho
Rang mengangguk setuju sambil makan camilan. Aku hanya bisa diam, mumet.
Kuteguk gelas birku.
“Hei,
rumah itu juga ‘kan terdaftar atas namamu.” Soo Ji melanjutkan repetannya,
“Lagipula takkan ada masalah hukum.”
“Rumah.
Rumah itu atas nama Ji Seok.” Aku merasa getir.
“Apa?
Tapi kenapa?” Soo Ji kaget. “Kau kan yang bayar setoran sementara waktu ayahmu
beli rumah itu.”
“Kau
tak tahu apa-apa karena kau tinggal di Amerika.” Ho Rang menyela, “Ketika
orangtua membeli rumah anak-anak mereka di Korea…, otomatis rumah itu jadi
milik anak lelaki.” Ho Rang bicara sambil memainkan garpunya. Aku lebih suka
membaringkan kepalaku di atas meja. “Itu semacam membayar demi generasi masa
depan mereka…, dan ritual leluhur masa depan setelah orangtua meninggal dunia.”
Soo
Ji tampak mumet mendengarkan penjelasan Ho Rang, dan aku harus setuju pada
paparan Ho Rang tentang sistem patriarki yang tak kusetujui.
Ho
Rang melanjutkan, “Ji Seok bertanggung jawab melanjutkan keturunan keluarga
mereka. Ayahnya bahkan tak mempertimbangkan berapa banyak bayarannya.”
“Hei,
itu pemikiran kolot,” Soo Ji nyolot.
Ho Rang cuma mengedik, melanjukan makannya. Gadis itu paling doyan makan
anehnya tetap langsing.
“Ji
Ho,” Soo Ji memanggilku yang tengah suntuk, aku memandang ke seberang meja, ke
arah Soo Ji yang duduk di sebelah Ho Rang. “Kau harus hamil malam ini juga.”
Saran gila yang sebaiknya tak kupertimbangkan karena aku bukan penganut seks
bebas ala dua sahabatku. “Berdiri, ayo kita ke kelab.”
Ho
Rang melonjak senang, sedang aku masih merasa mengawang. Soo Ji bicara padaku
sambil berdiri, “Kau harus hamil buat membuktikan kalau kau juga bisa
melanjutkan keturunan keluarga.” Tegasnya sambil menyingsingkan bagian atas
lengan bajunya.
“Baiklah.”
Kurasa aku agak mabuk, dan mendadak ingat adegan kala membuka pintu kamar
adikku. Aku malah membayangkan yang tidak-tidak. Aah! Kupegang kepalaku. “Sebentar.”
Soo
Ji menyibakkan rambut panjangnya lalu menghempaskan pantat di kursi. Menyimak
apa yang akan kukatakan. “Bisa tidak, jangan menyinggung hal-hal seperti itu di
hadapanku?” kataku lemah, kedua sahabatku mencondongkan badan. “Aku sebenarnya…
melihat Ji Seok melakukannya. Membuat istrinya hamil.” Aku merasa malu. Kedua
sahabatku sampai kaget.
Ho
Rang menutup mulutnya.
“What the…,” ucapan Soo Ji kusela sebelum ia melanjutkan.
“Makanya.
Kuharap aku tak melihatnya…,” aku menggoyangkan kepalaku, “tapi karena sudah
telanjur, aku tidak bisa tinggal sama mereka.”
Kedua
sahabatku cuma saling berpandangan dan tersenyum.
“Tapi
bagaimana bisa?” tanya Ho Rang.
“Aku
lagi ada di balkon dan telefonan denganmu. Jadi dia tidak tahu aku sudah ada di
rumah.”
“Berapa
lama kalian telefonan?” tanya Soo Ji.
“Sekira
40 menit.”
Kedua
sahabatku terkejut. Soo Ji menutup mulutnya, “Berarti melakukannya selama 40
menit juga.”
Aku
menatap Soo Ji dengan kesal, Ho Rang cuma cengengesan. Soo Ji melanjutkan, “Tak
kusangka dia sekuat itu,” lebay-nya.
“Apa?”
Ho Rang langsung menggebuk bahunya sambil tertawa. Aku jadi kehilangan selera,
kupegang kepalaku yang pening dengan dua tanganku. Dan tepat saat itu terdengar
suara keras dari meja di seberang, hingga kami sama terlonjak kaget, menoleh ke
arah mereka untuk tahu ada apa. Tiga orang lelaki sedang duduk berseberangan. Lelaki
bersetelan biru duduk di sebelah lelaki berkemeja biru lengan panjang tanpa
dasi. Dan di depan mereka duduk lelaki berkemeja putih lengan panjang tanpa
dasi pula.
Lelaki
berkemeja biru itu telah menggebrak meja dengan gelas birnya hingga isinya
menciprati meja. “Apa? Kau ingin aku pindah? Maaf, ya, bagiku kau sudah seperti
adikku. Aku ingin menjagamu layaknya seorang kakak.”
Lelaki
yang berkemeja putih rapi itu malah menyeka wajahnya yang ikut tepercik bir dan
memanggil pramusaji yang segera menghampiri. “Bisa ambilkan dua tetes cuka?”
Lelaki
berkemeja biru itu segera menyela sebelum pramusaji pergi. “Aku sungguh
menganggapmu sebagai adik kandungmu. Kukira kita sudah bagaikan kakak beradik.”
Sewotnya lagi, “Brothers, tahu tidak
apa maksudku?” Lelaki bersetelan biru cuma diam saja namun mengangguk seakan
mengiyakan ucapan temannya. Dan lelaki berkemeja biru itu melanjutkan,
“Mengerti?”
Namun
lelaki berkemeja putih malah dengan kaku menanggapi, “Tak tahu. Aku ‘kan anak
tunggal.” Lantas ia mengambil sehelai kertas dari tasnya. “Ini kontrak pertama
yang kita tulis.” Diletakkannya kertas berplastik itu di atas meja, tepat
menghadap lawan bicaranya yang tadi sewot.
“Aturannya sudah tertulis di sini. Sewaktu
pihak kedua tinggal di rumah pemilik…, pihak kedua harus mengikuti aturan.”
Maka di atas kepalanya mendadak muncul tulisan mengenai aturan tersebut: a, b,
dan c. “Kau tidak mengikuti aturan pertama.” Tanda silang merah mencoret a.
“Kau juga tidak mengikuti aturan ke-2 dan ke-3.” Lagi-lagi tanda silang mencoreti
pasal b dan c.
“Kalau
begitu, kembalikan uang sewaku bulan ini.” Lawan bicaranya tak mau kalah, gaya
bicaranya marah-marah. Tepat saat itu pramusaji menghampiri lelaki berkemeja
putih dan menyerahkan kain kecil terlipat rapi yang sudah ditetesi cuka lantas
berlalu.
“Kau
pulang ke rumah dalam keadaan mabuk Jumat malam lalu.”
Lelaki
berkemeja biru menunjukkan reaksi kaget, dan lelaki berkemeja putih melanjutan
sambil menyeka lengan kemejanya yang tepercik bir dengan kain tersebut, “Kau
lupa kata sandi dan menendang pintu depan selama 10 menit. Kau makan lima
kaleng makanan kucingku, dan salah mengira kalau itu kaleng tuna.” Kedua lelaki
di depannya cuma menghela nafas. Dan lelaki berkemeja putih melanjutkan, “Dan
kau buang air kecil di depan kulkas.”
Lelaki
bersetelan menoleh ke arah kawan di sebelahnya dengan heran, namun lelaki
berkemeja biru malah cuek bilang,
“Jadi waktu itu, kau ada di rumah? Kukira hari itu kau lagi dinas.”
“Lalu
polisi datang ke rumahku.”
“Oh,
betul. Ada orang yang melaporkanku ke polisi.”
“Aku
yang melapornya, dari kamarku,” kalemnya.
Dua
lelaki di depannya bereaksi kaget lagi. Si kemeja biru langsung bangkit dari
kursi dan memaki, “Si sialan ini, kau gila, ya? Hei, berengsek!” Ia melesat
hendak menyerang lelaki berkemeja putih, namun kawannya yang bersetelan menahan
dengan menarik bahunya agar menjauh. Kami dan para pengunjung restoran serentak
memperhatikan mereka.
“Kalau
kau waktu itu ada di rumah…,” kawan mereka yang bersetelan angkat bicara sambil
menahan si kemeja biru agar tak menyerang dengan merangkul bahunya, “kenapa kau
tidak keluar dan bicara denganku dulu?”
Lelaki
berkemeja putih cuma diam, lelaki bersetelan kerepotan menahan kawannya yang
mengamuk dan hendak menendang sampai menaiki kursi. Pramusaji yang tadi segera
datang melerai namun sama ikut kewalahan.
“Bukankah
begitu seharusnya?” Si setelan menahan amukan si kemeja biru sekaligus berupaya
melanjutkan ceramahnya.
Dia memang tak waras.
Namun
si kemeja putih cuma menjawab dengan memampangkan surat perjanjian lantas
menyobeknya jadi dua bagian.
***
DUA orang
lelaki yang tadi di restoran barusan keluar lift dan hendak memasuki kantor
mereka. Si setelan biru menegur kawannya, “Teganya kau melaporkan teman
sekamarmu ke polisi?”
Si
kemeja putih mengabaikan dan membuka pintu kantor, “Dia harusnya malah
bersyukur aku tidak menuntutnya. Sampaikan itu ke seniormu itu.” Mereka
memasuki ruangan luas yang dibagi dalam beberapa sekat berkaca sebagai semacam
pemisahan ruang kerja, beberapa orang karyawan tengah bekerja di depan
komputer. Kedua lelaki tadi mengelola perusahaan startup, membuat perangkat aplikasi untuk gawai.
“Tapi
dia itu pria yang baik. Kau mungkin tidak tahu tapi ada hal yang manusiawi. Kau
tahu apa artinya manusiawi?”
Si
kemeja putih menghentikan langkahnya dan bilang, “Bukankah itu artinya tidak
beradab ke orang itu?”
“No,” sanggah kawannya dengan kedua
tangan sedikit terentang sebagai aksen dari gaya bicara, “yang kumaksud
manusiawi menjadi manusia biasa.”
Si
kemeja putih terlihat kesal, “Aku jadi ingat ini. Sampaikan ke dia kalau kaleng
yang dimakannya itu kaleng impor mahal.” Lantas ia mengambil tas jinjingnya.
“Kau
mau ke mana?” kawannya menahan.
“Rumah.”
“Apa
maksudmu? Kau harus menstabilkan situs hari ini. Pembaruan untuk versi baru
dijadwalkan minggu depan.”
“Ada
pendauran ulang hari ini…, dan aku harus kasih makan kucingku layaknya
manusia.” Lantas ia berlalu.
Kawannya
yang semula terpana setelah ditinggal si kemeja putih mendadak berteriak,
“Tidak!” Sampai lima kepala yang sibuk berkutat di mejanya menoleh heran
melihat ulah bos mereka, seorang CEO muda pendiri perusahaan startup bernama Gyeol Mal Ae.
“Maaf,
silakan bekerja lagi.” Katanya, lantas ngeloyor menuju ruangannya.
***
MALAM ini
aku pulang sendirian, berjalan kaki mendekati rumahku dengan perasaan muram.
Jalanan lengang. Aku akhirnya tiba di depan rumah dan memilih duduk sebentar di
tangga depan, berpikir langkah apa yang harus kuperbuat. Aku merasa nelangsa.
Kuhela nafas dan kucoba kukumpulkan keberanian, mengingat saran Soo Ji di
restoran tadi.
“Baiklah. Selama lima tahun…, aku bertanggung
jawab mengelola rumah… dan mengurus semuanya. Untuk itu…, situasi sekarang ini
di mana aku harus diperlakukan seperti tamu… sungguh…. Sungguh….
Sungguh melanggar hak-hak
fundamentalku. Suara Soo Ji bergema. “Akulah yang membayar
setoran sementara. Akulah yang membeli kulkas dengan gaji pertamaku. Aku
jugalah yang mengganti alat pemanas tahun lalu, bukan?” Demikianlah Soo Ji
bersemangat mengajarkan kalimat apa yang harus kuucapkan. Dan si tegas itu
setengah berteriak bilang, “Sampaikan itu ke ayahmu…, dan perjuangkan
hak-hakmu.” Lalu ia mengangguk.
Aku
membuka pintu, ayah dan adikku lagi menonton TV sambil tertawa, sedang ibu
mengupas apel. “Ayah.” Mereka serempak menoleh, kubuka sepatuku dan masuk
ruangan, aku bicara dengan semangat yang diajarkan Soo Ji tadi, “Ada yang
harus….”
Ucapanku
disela adik ipar yang berlari menghampiri mereka lantas duduk dekat ayahku,
“Ada yang harus kukatakan pada ayah.”
“Oh,
ya. Ada apa, Nak?” Ayah mengabaikanku dan malah bicara pada menantunya.
“Hari
ini tadi aku ke RS…,” ucapnya manis.
Menyadari
bahaya terselubung dari ucapan adik iparku aku segera berlari mendekati mereka,
“Tunggu, Ayah.”
Ucapanku
disela lagi dan mereka pada mengabaikanku. “Perkiraannya anak laki-laki.”
Aku
dan ayahku terkejut. “Laki-laki?” Ayahku bicara dengan mulut berisi ikan pari
kering yang tadi dikunyahnya.
Game…
sudah selesai. Aku terpana dalam kekalahan telak. Sementara ayah, adik dan
istrinya tertawa bahagia. Ibuku cuma menghela nafas tanpa kata.
Coba lihat. Bagus! Bagus! Tawa
mereka bergema sambil melihat ponsel berisi foto hasil USG. Foto janin itu
seakan bertangan mungil yang melambai-lambai ke arahku. Mengucap selamat tinggal!*** (Bersambung….)
Cipeujeuh, Desember 2017
#BecauseThisIsMyFirstLife
#AdaptasiNaskahDrakor #Drakor #KisahPenulis #Favorit
~Foto hasil capture dari
filmnya pakai GOM Player~
Catatan:
Naskah ini merupakan hasil adaptasi
dari drakor "Because this is My First Life", memindahkan isi
film berikut sulih teksnya ke dalam bentuk narasi secara utuh, seperti semacam
novel. Tidak mudah, memang. Saya harus memainkan tombol play dan pause
pada setiap pergantian gambar. Itu memakan waktu sangat lama dan butuh
kesabaran.
Terima kasih pada Artha Regina atas
hasil terjemahan yang bagus dan rapi pada sulih teks/subtitelnya. Memang ada
beberapa perubahan sesuai kaidah kebahasaan yang saya lakukan namun itu tak
terlalu berpengaruh, hanya sekadar pelengkap.
Saya suka drakor ini, tema penulis
adalah hal yang sangat dekat dengan keseharian, meski saya bukan penulis drama
hanya penulis apa saja yang tak mengkhususkan pada satu bidang tertentu. Namun
saya sangat meminati bahasa Indonesia.
Naskahnya dibagi dalam beberapa
bagian karena per episode sangat panjang. Sayangnya saya tak selesaikan sampai
akhir karena suatu hal, saya ragu apakah mengadaptasikan drakor ke dalam narasi
termasuk tindakan legal.
Jika Anda suka membacanya, silakan
sumbang saran di kolom komentar. Terima kasih banyak.
Cipeujeuh, 10 November 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah singgah, silakan tinggalkan jejak komentar sebagai tanda persahabatan agar saya bisa lakukan kunjungan balik. Komentar sebaiknya relevan dengan isi tulisan. Nama komentator tidak langsung mengarah ke URL pos blog agar tidak menambah beban jumlah link pemilik blog ini. Jangan sertakan link hidup dan mati, apalagi iklan karena termasuk spam.Terima kasih banyak. Salam. @rohyatisofjan