Sabtu, 10 November 2018

Adaptasi Naskah Drakor "Because this is My First Life (Episode 1-1)




17 SEPTEMBER 1996
DI sebuah ruang tamu terdengar gema suara bahagia, ada yang menyanyikan lagu selamat ulang tahun.
S’lamat ulang tahun
S’lamat ulang tahun
S’lamat ulang tahun, So Yoon
S’lamat ulang tahun
Saat aku beranjak usia sembilan tahun, aku belajar hal baru. Dari televisi aku menonton adegan sebuah keluarga beranggotakan empat orang yang merayakan ulang tahun putrinya, dan sang ibu bilang pada putrinya yang hendak meniup lilin. “Kau harus buat permohonan dulu.”

“Oh, iya.” So Yoon terlihat senang sekali diingatkan. Ia langsung memejamkan matanya sambil merapatkan kedua tangan  di atas dadanya. Ia menangis bahagia. Adik lelakinya tak mengganggu.
“Sebelum meniup lilin kau harus buat permohonan.” Aku yang sedang duduk menghadap meja menonton adegan tersebut dengan terkesima, turut mengulang ucapan tersebut dalam hati. 

Lalu adegan berubah pada pesta kecil perayaan ulang tahunku di keluarga kami. Hanya berempat. Aku, ayah, ibu, dan adik lelakiku. Ibu dan adikku bernyanyi riang sambil bertepuk tangan, “S’lamat ulang tahun Ji Ho….” sedang ayahku hanya diam menyaksikan. Dari luar ia memang terlihat pendiam namun dalamnya mudah meledak-ledak jika marah.
Dan aku kesal sekali begitu lagu itu usai dinyanyikan, adikku langsung meniup lilinnya, tidak memberiku kesempatan untuk meniup lilin sendiri apalagi membuat permohonan.
“Mari makan!” seru ayahku kaku. Dengan aksennya yang berat seakan aba-aba tentara sedang membentak. Dan aku hanya bisa terpana, memandang asap dari lilin yang barusan ditiup habis adikku. Sembilan lilin dalam beberapa kali tiupan.
Ya, begitulah. Di rumah kami yang mengutamakan laki-laki, keinginanku yang barusan kupelajari dari adegan acara televisi tak mungkin terjadi.

17 September 2001
Kami merayakan lagi acara ulang tahunku. Dan lagi-lagi perulangan adegan khas dalam keluarga kami terjadi. Adikku yang meniup habis semua lilinnya. Ayahku berseru mari makan dengan aksennya lagi, lalu mengambil sendok dan menancapkannya pada kue tar ulang tahunku. Langsung melahapnya dalam satu suapan besar. Kue tar rasa keju yang enak itu bagi ayahku tak lebih dari penutup lagu selamat ulang tahun. Kau tahu, seperti klimaks dari suatu acara. Dan aku tak berdaya, karena dalam keluarga kami yang lebih mengutamakan anak laki-laki, tak mungkin seorang anak perempuan berkesempatan membuat permohonan.
Begitu terus selanjutnya dalam setiap tahun-tahun perayaan ulang tahunku. Adikku akan meniup habis semua lilin, ayahku akan berseru mari makan lalu menancapkan sendok ke permukaan kue tar rasa keju kesukaanku sampai menembus ke bawah, melahapnya dalam suapan besar.

Lalu semuanya berubah kala aku merayakan ulang tahunku yang ke dua puluh, pada tahun 2007. Aku merayakannya dengan dua orang sahabat perempuanku di restoran, Woo Soo Ji dan Yang Ho Rang. Dan akhirnya bisa membuat permohonan sebelum meniup lilinnya. Tak ada lagi adik pengganggu dan ayah yang kaku.
Akhirnya aku bisa membuat permohonan pertamaku. Setiap tahun permohonanku sama. KABULKAN AKU MENJADI PENULIS YANG HEBAT!

Dan 10 tahun berselang, aku sungguh jadi penulis. Aku asisten penulis sebuah melodrama. Aku sudah jadi asisten selama lima tahun. Pengalaman menulis sub-bagianku cukup banyak, tapi dalam adegan yang kubuat aku harus menyertakan produk sponsor yang dipakai para pemain. Semisal gingseng merah yang diminum aktor utama, lipstik warna beludru merah yang tiga kali dipakai aktris utama senilai 30 juta won, sampai otoped canggih.
Begitulah, bagian terpenting dari pekerjaanku adalah menggalang dana. Maka aku harus menulis adegan sambil menyertakan produk sponsor. Aku menerima daftar produk tersebut dan menyusunnya dalam skrip, aku akan mencoreti produk sponsor yang telah selesai kumasukkan dalam skrip sampai beres.
Dan di dalam kamarku, akhirnya selesai juga pekerjaanku. Kulemparkan spidol warna dan lembaran kertas daftar produk ke atas. “Akhirnya, aku bebas!” Aku akan mengemas koperku dan pulang ke rumah untuk berlibur.
Ketika hendak pamit pada penulis utama, di luar ruang kerjanya aku mendengar beliau sedang uring-uringan, bicara entah dengan siapa lewat telefon genggam.

“Bukan salahku begitu banyak iklan sponsor di drama. kalau saja kau sudah pakai iklan itu di episode lain…, aku tidak perlu pakai banyak iklan dalam satu episode sekaligus.
Apa? Tak tahulah, berhenti menelefonku.” Ia gusar lalu mengakhiri percakapan. “Aku sudah sibuk sekali!” Omelnya. Lantas duduk di meja kerjanya kembali menghadap laptop. Mengoceh sendiri. “Setelah berciuman, dia harusnya menamparnya. Atau haruskah dia menamparnya dulu lalu ciuman? Tak tahulah….” Bingungnya.
Di ambang pintu, aku ragu sejenak sampai akhirnya berani menyapa ahjumma pertengahan 40-an, seorang penulis senior yang menjadi bosku. “Bu Penulis.”
“Ya?” Ia sama sekali tak menoleh ke arahku di belakang punggungnya. Serius menekuri laptopnya.
Jadi aku memberanikan diri untuk masuk ruang kerjanya dan menghampiri. “Draf akhirnya sudah kuunggah.”
“Ya.”
“Gingseng merah, kosmetik, dan iklan lainnya sudah kumasukkan.”
“Baiklah. Aku harus hapus ini.” Bos seakan tidak menanggapi ucapanku dengan baik. Pikirannya seakan berada di dimensi lain. Khusuk dengan laptopnya.
“Bu Penulis, aku pamit dulu, ya.”
“Ya, ke mana?”
Aku hanya diam. Sampai ia menengok ke belakang. Memandangku. “Omo, kau mau pulang?”
“Ya.”
“Baik. Terima kasih atas kerja kerasmu.”
Aku hanya mengangguk sambil sedikit merundukkan kepala.
“Apa ini sudah sebulan?” Mulai, deh, pikunnya kumat.
“Tidak, tiga bulan.”
“Sudah selama itu?” Wah, ia malah heran. Memori waktunya mungkin rada galat alias error.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Baiklah. Kau tinggal di Gangdong-gu, bukan?”
“Gangseo-gu yang benar.” Ralatku.
“Gangseo-gu?” Ia tampak malu dan terkejut. Jadi aku hanya mengangguk lagi sambil tersenyum ramah.
“Oh, iya, betul.” Ia mencoba sok akrab, “Kau tinggal dengan kakak perempuanmu?”
“Yang benar tinggal sama adik laki-lakiku,” jawabku canggung. Ia terkejut lagi. Sejenak kami berada dalam atmosfer canggung yang tak nyaman. Rasanya aku ingin segera cepat kabur dari tempat. Namun Bu Penulis dengan konyol malah bertanya lagi.
“Siapa dia?” Ia mengambil sesuatu dari mejanya, lalu malah melanjutkan seakan pertanyaannya tak lebih dari kalimat retoris. “Baiklah, kau boleh pergi.”
“Sampai nanti di pesta kita.” Pamitku, lalu membungkuk dengan sopan sebagai tanda menghargai etika pada seniormu atau yang lebih dihormati. Cara khas orang Korea.

 

Menyenangkan rasanya berada di luar, aku bisa merasakan sinar matahari pagi yang menyiramku dengan hangat. Kurentangkan tangan kananku tepat di atas wajah, merasakan berkas sinar berpendar. “Ada sinar matahari.” Aku hendak menyeberangi zebra cross bersama orang-orang. Tepat ketika lampu merah menyala, telefon genggamku berdering.
“Ya, ini Ji Ho.” Aku menerima telefon sambil menyeberang. “Ya, di mana lagi. Aku lagi jalan pulang.” Yang menelefon adalah Woo Soo Ji, sahabatku dari sejak kami sekelas di SMA Namhae, nun jauh di luar Kota Seoul. Sekarang kami tinggal di Seoul juga, menempuh jalur profesi yang berbeda. Kami terlibat percakapan seru khas gadis muda sampai jalan jauh menuju rumah yang kutempuh dengan kakiku tak terasa melelahkan.
“Sudah tiga bulan lamanya.” Aku menanggapi ucapannya. “Begitu aku sampai di rumah, akan mandi air panas…, terus aku bakal selimutan di tempat tidur…, habis itu, tidur seperti mayat.” Kuseret koper merah jinggaku sambil bercakap.
“Ji Seok itu lagi apa?” sahabatku mengomel. “Jika dia merepotkanmu, setidaknya dia harus datang menjemputmu.”
Aku hanya tertawa, “Aigoo, kau banyak sekali tanya. Aku malah bersyukur dia tidak membakar tempat itu.”
“Pokoknya, kalau sudah sampai rumah langsung tidur. Jangan beres-beres dulu atau cuci pakaian. Terus, jangan angkat telefon dari Ho Rang.”
“Kenapa?”
“Mereka bertengkar lagi. Paling tidak, mereka dua jam bertengkarnya.”
“Baiklah. Ya.” Aku hampir sampai rumah. Kuakhiri percakapan dan kuangkat koperku untuk menaiki tangga menuju rumah, jenis apartemen berlantai tiga di lingkungan menyenangkan dengan jalan lebar yang lengang.

Aku membuka pintu. Rumah sepi. Entah di mana adikku. Rumah berantakan sekali. Musik berdentam nyaring dari speaker digital. Kutaruh koperku lalu menghampiri kamar adikku dan mengetuk pintu. “Aku pulang.” Tak ada tanggapan. Jadi, otomatis aku membereskan ceceran barang yang berantakan di ruang duduk. Meja kopi di depan sofa berantakan dengan bekas makanan dan minuman. Adikku jorok sekali. Kumasukkan semua ke dalam kantung plastik sampai kulihat ceceran baju di lantai. Aku memungutnya.
“Astaga. Pakaian dalamnya…,” kutaruh semua di atas lemari dan melangkah ke depan pintu kamar adikku. “Yoon Ji Seok, aku pulang.” Tak ada tanggapan. Aku hendak membuka gagang pintu, namun ponselku berdering. Kulihat di layar, dari Ho Rang.
Aku lupa pesan Soo Ji tadi. “Ya, ini Ji Ho.” Aku melangkah ke ruang cuci dan malah terlibat obrolan panjang, lebih tepatnya mendengarkan keluh kesah Ho Rang sambil mencuci.
“Jujur, tujuh tahun lalu…, dia saja tak berani membuka omongan denganku. Dia saja dulu mirip beruang dan aku mengubahnya jadi manusia.” Ho Rang meneruskan curhat panjang, saking panjangnya aku menyimak sampai cucianku di mesin beres dan aku tengah menjemur semua di balkon. Mengibaskan pakaian yang hendak kujemur sebelum ditaruh di tempat penjemuran. Banyak sekali baju kotor yang harus dicuci sampai jemuran kecil ini terasa sarat muatan.  

Ho Rang masih sarat masalah untuk di-curhat-kan padaku. “Dan sekarang dia ingin tinggal sama neneknya?”
Aku hanya tertawa kecil, “Kau berlebihan sekali.”
“Kau barusan tertawa, Ji Ho?” Ho Rang malah sewot dan aku terpana. Tidak, bukan karena rengekan Ho Rang melainkan benda warna hitam yang tengah kupegang.
“Tidak.” Aku mengamati dan membolak-balik bra tersebut dengan heran. “Tidak.” Kali ini aku tidak sedang menjawab Ho Rang melainkan merasa bahwa benda asing itu bukan milikku.
Kudengar suara lain di latar belakang ponsel Ho Rang, “Manajer Yang.” Aku spontan mundur.
“Ji Ho, sudah dulu, ya. Nanti kita bicara lagi.”
“Ya.” Kuambil ponsel untuk mengamati layar. Ho Rang, durasi panggilan 41:54. Wow! “Bicara lagi nanti?” gumamku. Apa belum cukup juga Ho Rang menumpahkan curhat pada sahabat? Aku segera mencabut earphone dari telingaku. Mengamati bra hitam campur pink gelap yang kupegang. Apa aku punya bra warna ini? Kutempelkan di dada, ini bukan ukuranku.
“Hei, Yoon Ji Seok!” seruku dari balkon. Tak ada tanggapan. Aku berjalan ke kamarnya sambil ngedumel, “Padahal aku sudah pulang, tapi dia tidak mau menyambutku.” Aku melewati ruang tengah, “Bisa-bisanya kau dengar musik padahal rumah berantakan seperti ini?” Aku mencabut earphone lalu menaruhnya di atas bufet, “’Kan sudah kuperingatkan kau cuci handuk dan pakaian dalammu.”
Tak ada jawaban. Aku kesal. Segera kubuka pintunya. “Kau main game lagi, ya?”
Dan aku terkejut melihat apa yang ada di dalam kamar adikku. Ada adegan tak semestinya yang dilakukan adikku dengan seorang perempuan muda di ranjang.  Ji Seok spontan menoleh mendengar pintu dibuka. Sama terkejutnya denganku, ia segera turun dari atas tubuh pasangannya yang juga memekik kaget sambil berupaya menarik selimut untuk menutup tubuh.
Noona!”
Aish, mataku,” aku menutup wajahku dan segera berbalik menjauhi kamar adikku.
“Tidak, tidak.”
Adikku berseru dari kamarnya, “Tunggu dulu! Noona!”

Bagaimana ini? Di dekatku speaker digital masih berdentam. Aku kebingungan, jadi aku segera melangkah ke luar rumah dengan tergesa-gesa,  diikuti adikku beberapa meter di belakang yang tak henti memanggil sambil mengenakan kausnya.
Noona! Noona! Tunggu!”
“Jangan ikuti aku!” Aku mempercepat lariku, “Jangan ikuti aku!”
“Tunggu!” adikku malah mengejar.
“Jangan kejar aku!”
“Tunggu dulu.”
Aku tak menghiraukan adikku, terus berlari membelok ke jalan lain.
Noona! Tunggu!” adikku tak menyerah.
“Pergi kau!” ulangku sambil terengah-engah kecapaian namun terus berlari seolah adikku makhluk yang harus dihindari gegara peristiwa memalukan yang tak semestinya kulihat tadi. Sampai aku jatuh tersandung kakiku sendiri kala lari. Aku terjerembab dan adikku menghampiri.
Noona, kau tak apa?” Adikku berjongkok di dekatku dengan canggung sekaligus khawatir. “Ada yang luka? Kau keseleo?” repetnya. Aku bangkit dengan kesal.
“Ji Seok, aku tak apa.” Rasanya memalukan sekali, jadi aku ngeles, “Aku lagi ingin sendirian sekarang. Jadi, selesaikan saja tadi urusanmu.” Kugerakkan lenganku ke belakang sebagai penunjuk arah.
Namun adikku malah bilang, “Selesaikan apa?”
Uh, aku harus jawab apa? Rikuh, tahu!
 “Ayo, balik lagi ke rumah. Kau harus menyapa.”
Ha, aku kaget, “Menyapa siapa? Wanita tadi yang bugil itu?” Tidak, tidak! Aku langsung mengibas-ngibaskan lenganku sambil bangkit. Ngeri! “Tak usah,” aku coba memikirkan alasan. “Aku sudah ada janji sama orang. Aku hampir lupa.” Yeah, aku tak yakin juga apa ini bohong karena ada sobat-sobatku yang kurasa harus kutemui meski kami belum janjian.
Kumainkan kedua bola mataku, suatu kebiasaan tanpa-sadar kala aku gugup harus main dalih. “Ingatanku jelek sekali.” Adikku mengaduh, namun aku tak peduli, “Nanti aku pulang telat…, jadi kau bisa suruh dia santai saja sebelum pergi.” Aku tak berani menatap adikku, “Ya. Aku pergi, ya.” Aku hendak meninggalkan adikku, namun ia menahan dengan lengannya seakan portal.
“Ayolah. Dia tak pergi ke mana-mana. Dia tinggal di sini.”
“Kenapa?”
“Dia…. Dia istriku.” Adikku gugup.
Tentu saja aku terkejut, “Sejak kapan?”
“Sudah empat bulan. Kau sebentar lagi akan jadi bibi.”
Hah! Aku tambah terperangah. Kurang ajar betul adikku ini!
“Kau akan menjadi bibi. Dia hamil.”
Aku kehilangan kata. Sepertinya tidak ada orang yang menyadarinya…, tapi hari ini, hari ulang tahunku yang ke-30.

[Episode 1: Karena Ini Hari Ulang Tahunku yang ke-30]


PADA akhirnya, aku harus berkumpul dengan keluargaku. Maksudku, kedua orangtuaku (yang baru datang dari Namhae siang ini), adikku dan istrinya. Aku cemberut. Ibu tengah menata makanan di atas meja kecil tempat kami duduk berkumpul sambil bersila. Ia meletakkan piring berisi ikan di atas meja lalu ke dapur lagi.
Istri adikku memindahkan piring ikan itu ke dekat ayahku, “Pasti ayah kelelahan mengemudi.”
Aku memicing heran. Ayah?
“Tidak juga,” ayahku malah menggeser piring tersebut agar dekat menantunya, “Bukankah kau lelah, Nak?”
“Nak?” Aku memandang ayahku. Sampai ayah menoleh ke arahku dan tampak salah tingkah.
“Pasti kau sudah tahu dari Ji Seok…, tapi ayah tak bisa memberi tahumu sebelumnya karena kau sibuk bekerja.”
Adikku mengerling ke arahku, cuma diam. Aku murung.
“Bagaimanapun, karena kita semua keluarga…, antrelah pakai toilet dan dahulukan yang lebih punya keperluan mendesak,” ayahku malah menasihati. Nasihat yang sepertinya lebih ditujukan untukku, namun istri adikku mengangguk, seakan menyimak dengan sopan. “Salinglah bersikap baik, dan hidup dengan baik, ya?”
“Tinggal bersama?” tanyaku kaget.
“Tinggal bersama.” Ayahku menegaskan.
“Kami bertiga?” adikku tak terima.
“Kenapa? Tak bisa?” Ayahku memandang kami bergantian.
“Tak bisa lah.” Aku kesal.
“Tak bisa.” Adikku tak mau kalah.
“Mereka ‘kan pengantin baru!” aku cemberut.
“Kami pengantin baru!” adikku ngotot.
“Terus bagaimana? Terus bagaimana?” Ayah malah membentakku sambil menggebrak meja, aku terlonjak kaget. Cuma bisa diam, tak berani menjawab.


Begitulah, kala makan malam bertiga dengan sahabatku, aku mengadukan masalah pelik tersebut pada mereka.
Soo Ji menggebrak gelas birnya ke meja, membuat suara gaduh. “Hei, tentu saja Ji Seok yang harus pindah.” Omel gadis berambut lurus-panjang yang paling jangkung, seksi, atletis, sekaligus galak. Rahangnya yang keras seakan menandakan karakternya. “Yang bayar biaya hidup dan perawatan ‘kan kau. Beraninya dia menyuruhmu pindah padahal dia itu pengangguran!”
Ho Rang mengangguk setuju sambil makan camilan. Aku hanya bisa diam, mumet. Kuteguk gelas birku.
“Hei, rumah itu juga ‘kan terdaftar atas namamu.” Soo Ji melanjutkan repetannya, “Lagipula takkan ada masalah hukum.”
“Rumah. Rumah itu atas nama Ji Seok.” Aku merasa getir.
“Apa? Tapi kenapa?” Soo Ji kaget. “Kau kan yang bayar setoran sementara waktu ayahmu beli rumah itu.”
“Kau tak tahu apa-apa karena kau tinggal di Amerika.” Ho Rang menyela, “Ketika orangtua membeli rumah anak-anak mereka di Korea…, otomatis rumah itu jadi milik anak lelaki.” Ho Rang bicara sambil memainkan garpunya. Aku lebih suka membaringkan kepalaku di atas meja. “Itu semacam membayar demi generasi masa depan mereka…, dan ritual leluhur masa depan setelah orangtua meninggal dunia.”

Soo Ji tampak mumet mendengarkan penjelasan Ho Rang, dan aku harus setuju pada paparan Ho Rang tentang sistem patriarki yang tak kusetujui.
Ho Rang melanjutkan, “Ji Seok bertanggung jawab melanjutkan keturunan keluarga mereka. Ayahnya bahkan tak mempertimbangkan berapa banyak bayarannya.”
“Hei, itu pemikiran kolot,” Soo Ji nyolot. Ho Rang cuma mengedik, melanjukan makannya. Gadis itu paling doyan makan anehnya tetap langsing.
“Ji Ho,” Soo Ji memanggilku yang tengah suntuk, aku memandang ke seberang meja, ke arah Soo Ji yang duduk di sebelah Ho Rang. “Kau harus hamil malam ini juga.” Saran gila yang sebaiknya tak kupertimbangkan karena aku bukan penganut seks bebas ala dua sahabatku. “Berdiri, ayo kita ke kelab.”
Ho Rang melonjak senang, sedang aku masih merasa mengawang. Soo Ji bicara padaku sambil berdiri, “Kau harus hamil buat membuktikan kalau kau juga bisa melanjutkan keturunan keluarga.” Tegasnya sambil menyingsingkan bagian atas lengan bajunya.
“Baiklah.” Kurasa aku agak mabuk, dan mendadak ingat adegan kala membuka pintu kamar adikku. Aku malah membayangkan yang tidak-tidak. Aah! Kupegang kepalaku. “Sebentar.”
Soo Ji menyibakkan rambut panjangnya lalu menghempaskan pantat di kursi. Menyimak apa yang akan kukatakan. “Bisa tidak, jangan menyinggung hal-hal seperti itu di hadapanku?” kataku lemah, kedua sahabatku mencondongkan badan. “Aku sebenarnya… melihat Ji Seok melakukannya. Membuat istrinya hamil.” Aku merasa malu. Kedua sahabatku sampai kaget.
Ho Rang menutup mulutnya.
What the…,” ucapan Soo Ji kusela sebelum ia melanjutkan.
“Makanya. Kuharap aku tak melihatnya…,” aku menggoyangkan kepalaku, “tapi karena sudah telanjur, aku tidak bisa tinggal sama mereka.”
Kedua sahabatku cuma saling berpandangan dan tersenyum.
“Tapi bagaimana bisa?” tanya Ho Rang.
“Aku lagi ada di balkon dan telefonan denganmu. Jadi dia tidak tahu aku sudah ada di rumah.”
“Berapa lama kalian telefonan?” tanya Soo Ji.
“Sekira 40 menit.”
Kedua sahabatku terkejut. Soo Ji menutup mulutnya, “Berarti melakukannya selama 40 menit juga.”
Aku menatap Soo Ji dengan kesal, Ho Rang cuma cengengesan. Soo Ji melanjutkan, “Tak kusangka dia sekuat itu,” lebay-nya.
“Apa?” Ho Rang langsung menggebuk bahunya sambil tertawa. Aku jadi kehilangan selera, kupegang kepalaku yang pening dengan dua tanganku. Dan tepat saat itu terdengar suara keras dari meja di seberang, hingga kami sama terlonjak kaget, menoleh ke arah mereka untuk tahu ada apa. Tiga orang lelaki sedang duduk berseberangan. Lelaki bersetelan biru duduk di sebelah lelaki berkemeja biru lengan panjang tanpa dasi. Dan di depan mereka duduk lelaki berkemeja putih lengan panjang tanpa dasi pula.

Lelaki berkemeja biru itu telah menggebrak meja dengan gelas birnya hingga isinya menciprati meja. “Apa? Kau ingin aku pindah? Maaf, ya, bagiku kau sudah seperti adikku. Aku ingin menjagamu layaknya seorang kakak.”
Lelaki yang berkemeja putih rapi itu malah menyeka wajahnya yang ikut tepercik bir dan memanggil pramusaji yang segera menghampiri. “Bisa ambilkan dua tetes cuka?”
Lelaki berkemeja biru itu segera menyela sebelum pramusaji pergi. “Aku sungguh menganggapmu sebagai adik kandungmu. Kukira kita sudah bagaikan kakak beradik.” Sewotnya lagi, “Brothers, tahu tidak apa maksudku?” Lelaki bersetelan biru cuma diam saja namun mengangguk seakan mengiyakan ucapan temannya. Dan lelaki berkemeja biru itu melanjutkan, “Mengerti?”
Namun lelaki berkemeja putih malah dengan kaku menanggapi, “Tak tahu. Aku ‘kan anak tunggal.” Lantas ia mengambil sehelai kertas dari tasnya. “Ini kontrak pertama yang kita tulis.” Diletakkannya kertas berplastik itu di atas meja, tepat menghadap lawan bicaranya yang tadi sewot.
 “Aturannya sudah tertulis di sini. Sewaktu pihak kedua tinggal di rumah pemilik…, pihak kedua harus mengikuti aturan.” Maka di atas kepalanya mendadak muncul tulisan mengenai aturan tersebut: a, b, dan c. “Kau tidak mengikuti aturan pertama.” Tanda silang merah mencoret a. “Kau juga tidak mengikuti aturan ke-2 dan ke-3.” Lagi-lagi tanda silang mencoreti pasal b dan c.
“Kalau begitu, kembalikan uang sewaku bulan ini.” Lawan bicaranya tak mau kalah, gaya bicaranya marah-marah. Tepat saat itu pramusaji menghampiri lelaki berkemeja putih dan menyerahkan kain kecil terlipat rapi yang sudah ditetesi cuka lantas berlalu.
“Kau pulang ke rumah dalam keadaan mabuk Jumat malam lalu.”
Lelaki berkemeja biru menunjukkan reaksi kaget, dan lelaki berkemeja putih melanjutan sambil menyeka lengan kemejanya yang tepercik bir dengan kain tersebut, “Kau lupa kata sandi dan menendang pintu depan selama 10 menit. Kau makan lima kaleng makanan kucingku, dan salah mengira kalau itu kaleng tuna.” Kedua lelaki di depannya cuma menghela nafas. Dan lelaki berkemeja putih melanjutkan, “Dan kau buang air kecil di depan kulkas.”


Lelaki bersetelan menoleh ke arah kawan di sebelahnya dengan heran, namun lelaki berkemeja biru malah cuek bilang, “Jadi waktu itu, kau ada di rumah? Kukira hari itu kau lagi dinas.”
“Lalu polisi datang ke rumahku.”
“Oh, betul. Ada orang yang melaporkanku ke polisi.”
“Aku yang melapornya, dari kamarku,” kalemnya.
Dua lelaki di depannya bereaksi kaget lagi. Si kemeja biru langsung bangkit dari kursi dan memaki, “Si sialan ini, kau gila, ya? Hei, berengsek!” Ia melesat hendak menyerang lelaki berkemeja putih, namun kawannya yang bersetelan menahan dengan menarik bahunya agar menjauh. Kami dan para pengunjung restoran serentak memperhatikan mereka.
“Kalau kau waktu itu ada di rumah…,” kawan mereka yang bersetelan angkat bicara sambil menahan si kemeja biru agar tak menyerang dengan merangkul bahunya, “kenapa kau tidak keluar dan bicara denganku dulu?”
Lelaki berkemeja putih cuma diam, lelaki bersetelan kerepotan menahan kawannya yang mengamuk dan hendak menendang sampai menaiki kursi. Pramusaji yang tadi segera datang melerai namun sama ikut kewalahan.
“Bukankah begitu seharusnya?” Si setelan menahan amukan si kemeja biru sekaligus berupaya melanjutkan ceramahnya.
Dia memang tak waras.
Namun si kemeja putih cuma menjawab dengan memampangkan surat perjanjian lantas menyobeknya jadi dua bagian.
***

DUA orang lelaki yang tadi di restoran barusan keluar lift dan hendak memasuki kantor mereka. Si setelan biru menegur kawannya, “Teganya kau melaporkan teman sekamarmu ke polisi?”
Si kemeja putih mengabaikan dan membuka pintu kantor, “Dia harusnya malah bersyukur aku tidak menuntutnya. Sampaikan itu ke seniormu itu.” Mereka memasuki ruangan luas yang dibagi dalam beberapa sekat berkaca sebagai semacam pemisahan ruang kerja, beberapa orang karyawan tengah bekerja di depan komputer. Kedua lelaki tadi mengelola perusahaan startup, membuat perangkat aplikasi untuk gawai.
“Tapi dia itu pria yang baik. Kau mungkin tidak tahu tapi ada hal yang manusiawi. Kau tahu apa artinya manusiawi?”
Si kemeja putih menghentikan langkahnya dan bilang, “Bukankah itu artinya tidak beradab ke orang itu?”
No,” sanggah kawannya dengan kedua tangan sedikit terentang sebagai aksen dari gaya bicara, “yang kumaksud manusiawi menjadi manusia biasa.”
Si kemeja putih terlihat kesal, “Aku jadi ingat ini. Sampaikan ke dia kalau kaleng yang dimakannya itu kaleng impor mahal.” Lantas ia mengambil tas jinjingnya.
“Kau mau ke mana?” kawannya menahan.
“Rumah.”
“Apa maksudmu? Kau harus menstabilkan situs hari ini. Pembaruan untuk versi baru dijadwalkan minggu depan.”
“Ada pendauran ulang hari ini…, dan aku harus kasih makan kucingku layaknya manusia.” Lantas ia berlalu.
Kawannya yang semula terpana setelah ditinggal si kemeja putih mendadak berteriak, “Tidak!” Sampai lima kepala yang sibuk berkutat di mejanya menoleh heran melihat ulah bos mereka, seorang CEO muda pendiri perusahaan startup bernama Gyeol Mal Ae.
“Maaf, silakan bekerja lagi.” Katanya, lantas ngeloyor menuju ruangannya.
***

MALAM ini aku pulang sendirian, berjalan kaki mendekati rumahku dengan perasaan muram. Jalanan lengang. Aku akhirnya tiba di depan rumah dan memilih duduk sebentar di tangga depan, berpikir langkah apa yang harus kuperbuat. Aku merasa nelangsa. Kuhela nafas dan kucoba kukumpulkan keberanian, mengingat saran Soo Ji di restoran tadi.
 “Baiklah. Selama lima tahun…, aku bertanggung jawab mengelola rumah… dan mengurus semuanya. Untuk itu…, situasi sekarang ini di mana aku harus diperlakukan seperti tamu… sungguh…. Sungguh….
Sungguh melanggar hak-hak fundamentalku. Suara Soo Ji bergema. “Akulah yang membayar setoran sementara. Akulah yang membeli kulkas dengan gaji pertamaku. Aku jugalah yang mengganti alat pemanas tahun lalu, bukan?” Demikianlah Soo Ji bersemangat mengajarkan kalimat apa yang harus kuucapkan. Dan si tegas itu setengah berteriak bilang, “Sampaikan itu ke ayahmu…, dan perjuangkan hak-hakmu.” Lalu ia mengangguk.


Aku membuka pintu, ayah dan adikku lagi menonton TV sambil tertawa, sedang ibu mengupas apel. “Ayah.” Mereka serempak menoleh, kubuka sepatuku dan masuk ruangan, aku bicara dengan semangat yang diajarkan Soo Ji tadi, “Ada yang harus….”
Ucapanku disela adik ipar yang berlari menghampiri mereka lantas duduk dekat ayahku, “Ada yang harus kukatakan pada ayah.”
“Oh, ya. Ada apa, Nak?” Ayah mengabaikanku dan malah bicara pada menantunya.
“Hari ini tadi aku ke RS…,” ucapnya manis.
Menyadari bahaya terselubung dari ucapan adik iparku aku segera berlari mendekati mereka, “Tunggu, Ayah.”
Ucapanku disela lagi dan mereka pada mengabaikanku. “Perkiraannya anak laki-laki.”
Aku dan ayahku terkejut. “Laki-laki?” Ayahku bicara dengan mulut berisi ikan pari kering yang tadi dikunyahnya.
Game… sudah selesai. Aku terpana dalam kekalahan telak. Sementara ayah, adik dan istrinya tertawa bahagia. Ibuku cuma menghela nafas tanpa kata.
Coba lihat. Bagus! Bagus! Tawa mereka bergema sambil melihat ponsel berisi foto hasil USG. Foto janin itu seakan bertangan mungil yang melambai-lambai ke arahku. Mengucap selamat tinggal!*** (Bersambung….)
Cipeujeuh, Desember 2017

#BecauseThisIsMyFirstLife #AdaptasiNaskahDrakor #Drakor #KisahPenulis #Favorit 

~Foto hasil capture dari filmnya pakai GOM Player~

Catatan:
Naskah ini merupakan hasil adaptasi dari drakor "Because this is My First Life", memindahkan isi film berikut sulih teksnya ke dalam bentuk narasi secara utuh, seperti semacam novel. Tidak mudah, memang. Saya harus memainkan tombol play dan pause pada setiap pergantian gambar. Itu memakan waktu sangat lama dan butuh kesabaran.

Terima kasih pada Artha Regina atas hasil terjemahan yang bagus dan rapi pada sulih teks/subtitelnya. Memang ada beberapa perubahan sesuai kaidah kebahasaan yang saya lakukan namun itu tak terlalu berpengaruh, hanya sekadar pelengkap.

Saya suka drakor ini, tema penulis adalah hal yang sangat dekat dengan keseharian, meski saya bukan penulis drama hanya penulis apa saja yang tak mengkhususkan pada satu bidang tertentu. Namun saya sangat meminati bahasa Indonesia.

Naskahnya dibagi dalam beberapa bagian karena per episode sangat panjang. Sayangnya saya tak selesaikan sampai akhir karena suatu hal, saya ragu apakah mengadaptasikan drakor ke dalam narasi termasuk tindakan legal.

Jika Anda suka membacanya, silakan sumbang saran di kolom komentar. Terima kasih banyak.

Cipeujeuh, 10 November 2018
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah singgah, silakan tinggalkan jejak komentar sebagai tanda persahabatan agar saya bisa lakukan kunjungan balik. Komentar sebaiknya relevan dengan isi tulisan. Nama komentator tidak langsung mengarah ke URL pos blog agar tidak menambah beban jumlah link pemilik blog ini. Jangan sertakan link hidup dan mati, apalagi iklan karena termasuk spam.Terima kasih banyak. Salam. @rohyatisofjan

Disabilitas Mengelola Komunitas

Arti disabilitas adalah keterbatasan aktivitas dan partisipasi akibat  ketidakmampuan mental atau fisik. Hal itu bisa menjadi stigma dalam m...